LADUNI.ID, Jakarta – Mungkin kita sering bertanya-tanya, bagaimana hukumnya keluarga mayit menyediakan atau memberi makanan untuk mereka yang datang untuk bertakziah pada hari meninggalnya si mayit atau pada hari-hari berikutnya?
Untuk Persoalan hukum memberi makan kepada orang yang sedang bertakziah di rumah keluarga si mayit ini pernah dibahas secara tuntas dalam sebuah forum keilmuan yang pesertanya merupakan tokoh-tokoh pilihan yang terbukti akan intelektualitasnya. Yaitu Muktamar Nahdlatul Ulama pertama di Surabaya pada tanggal 13 Rabiuts Tsani tahun 1345 H/21 Oktober 1926 M.
Bagaimana hukum menjamu tamu yang sedang bertakziah, atau menyediakan makanan dan minuman kepada mereka yang datang untuk bertakziah?
Dengan maksud bersedekah kepada mayit tersebut? Lalu apakah si keluarga mayit memperoleh pahala atas sedekah tersebut? Berikut jawabannya.
Menyediakan makanan pada hari wafatnya mayit hukumnya adalah boleh. Begitu juga pada hari ketiga, ketujuh, tetapi hukum boleh tersebut dimakruhkan.
Meskipun menggunakan cara berkumpul bersama-sama pada hari-hari tertentu, hukumnya adalah makruh. Sedangkan makruh tersebut tidak menghalangi pahala atas sedekah tersebut.
Dijelaskan dalam Kitab I’anah At-Thalibin Juz 1 :
وَيُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسُ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قَالَ كُنَّا نَعُدُّ اْلإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Makruh hukumnya bagi keluarga si mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk melakukan takziah dan membuat makanan bagi mereka, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi atau memberi makanan kepada mereka, setelah si mayit dimakamkan, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”.
Dijelaskan pula dalam Kitab Al-Fatwa Al-Kubra Al-Fiqhiyah[2],
(وَسُئِلَ) أَعَادَ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكاَتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أُكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَآءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ اللاَّتِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَلَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَى أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَهُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَئُوْنَ بِهِ وَهَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِيْ غَيْرِ اْلأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ. وَهَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنِ الْمَبِيتِ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ ِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمْيِعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَحَوْضِهِمْ فِيْ عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ r مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَعَلَّلُوْا بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ
“Beliau Ibnu Hajar Al-Haitami pernah ditanya tentang hewan yang disembelih lalu diasinkan (diberi garam) kemudian dibawa menuju pemakaman untuk disedekahkan kepada penggali kubur saja.
Dan tentang yang dilakukan pada hari ke-3 sejak kematian si mayit, keluarga korban menyediakan makanan atau suguhan untuk para fakir dan warga sekitarnya.
Begitu juga pada hari ketujuh sejak meninggalnya si mayit, serta 30 hari (1 bulan) sejak meninggalnya si mayit, mereka membagikan roti ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi takziah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat atau budaya setempat.
Sehingga, bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan.
Kalau mereka melaksanakan semua itu dengan tujuan mengikuti adat dan dengan tujuan sedekah, bagaimana hukumnya? Boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan itu ikut dibagi pada bagian harta dari ahli waris dalam pembagian tirkah (harta yang ditinggalkan mayit), walaupun sebagian ahli waris yang lainnya tidak menyetujui?
Kemudian dari kasus menginap bersama keluarga si mayit selama 1 bulan dari kematiannya. Sebab, tradisi tersebut menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti wajib, Bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab, “Semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk Bid’ah yang tercela, tetapi tidak sampai haram “MAKRUH”.
Kecuali jika proses Penghormatan kepada si mayit di rumah ahli waris bertujuan untuk meratapi atau memuji secara berlebihan, maka hukumnya haram.
Seseorang yang melakukan tradisi di atas dengan tujuan menangkal gunjingan orang-orang awam, dan agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya,
gara-gara dia tidak mau melakukan tradisi di atas, maka dia mendapatkan pahala. Karena mengambil kesimpulan dari perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
terhadap seseorang yang batal shalatnya (karena hadas saat berjamaah untuk keluar) menutup hidungnya dengan tangan.
Para ulama mengambil kesimpulan illat hukum dari perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut,
yaitu menjaga kehormatan diri dari gunjingan orang awam ketika ia tidak melakukan cara tersebut (adat masyarakat).
Dan tidak diperbolehkan membiayai tradisi di atas dengan tirkah (harta peninggalan mayit) apabila terdapat ahli waris yang mahjur alaih atau semua ahli waris sudah cukup pintar
( boleh membelanjakan harta sendiri dengan kuasa bebas) tetapi sebagian dari mereka tidak menyetujuinya.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai Hukum menyediakan makanan kepada Penta’ziyah,
semoga kita tidak salah kaprah ketika ingin menebas pertanyaan-pertanyaan masyarakat seputar hukum makan dan minum di rumah duka,
atau dalam bahasa lain hukum makan makanan selamatan orang meninggal dengan menggunakan dalil-dalil hadis yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sumber : Kitab I’anah At-Thalibin. (Karya Al-Bakri Muhammad Syatha Al-Dimyathi).
Kitab Al-Fatwa Al-Kubra Al-Fiqhiyah. Jilid II, h. 7. (Karya Ibnu Hajar Al-Haitami).
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 9 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo
Senin Legi, 15 Mei 2023
Senin : 4
Legi : 5