Laduni.ID, Jakarta – Ajaran Islam terdiri dari tiga, yaitu: Aqidah, Akhlak Tasawuf, Syariat. Ajaran aqidah adalah ajaran yang bersifat ilmiah. Lalu akhlak tasawuf bersifat Qolbiyah. Sedangkan syariah itu bersifat amaliah.
Pada dasarnya Aswaja adalah ajaran yang bersifat ilmiah. Seperti tentang pandangan terhadap dosa besar. Ada orang yang memiliki paham bahwa dosa besar bisa kafir, nah ini sebenarnya ada di dalam konteks ajaran ilmiah. Seperti halnya Khawarij. Lalu apakah seseorang itu memiliki kekuasaan dan ikhtiar ini juga dalam koridor ilmiah, i’tiqodiyah, nahdhoriyah.
Di Indonesia kita mengenal Aswaja An-Nahdliyah, atau Ahlussunah wal jamaah An-Nahdliyah. Di dalam aqidah mengikuti Madzhab Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Lalu ada yang bertanya ini Manhaj atau Madzhab? Kita ketahui bahwa Manhaj adalah wasilah atau metodologi sarana untuk mencapai Natijah, sedangkan Madzhab adalah natijah atau kesimpulan dari Manhaj.
Manhaj Asy’ari adalah Manhaj Wasaty. Lalu Manhaj Asy’ari ini ada dua, yaitu adalah kebenaran wahyu dan logika akal sehat. Sehingga di sini akal sehat dapat memperkuat agama yang benar.
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari lahir pada saat terjadi pergolakan dua kelompok yang tak bisa bertemu secara pemikiran. Yaitu kelompok kirinya ada Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan kelompok kanannya adalah Hanabilah Muttasajjidah yang mengharamkan logika akal di dalam menafsiri nash.
Lalu kedua kelompok ini dihadapi dengan sangat tegas oleh Imam Asy’ari. Meskipun sebelumnya Imam Asy’ari ini juga termasuk pentolan Mu’tazilah dibidang intelektualitas keislamannya. Ia menghadapi dengan mudah kedua kelompok ini. Beliau meyakini masdarul aqidah adalah Al-Quran dan As-Sunnah, maksudnya meyakini bahwa sumber aqidah adalah Al-Quran dan As-Sunah dengan ditopang menggunakan bahasa sesuai logika-logika di zamannya, argumentasi, bahkan filsafat. Tapi yang jelas semua ilmu ini bisa tetap digunakan. Ini adalah gambaran Manhaj Wasaty secara garis besar.
Selanjutnya, sebagaimana diketahui secara umum bahwa Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat bagi Allah. Menurut mereka Allah itu Qodirun bi Nafsihi, Alimun bi Nafsishi. Sebenarnya, pada akhirnya secara garis besar bisa ditarik benang merah bahwa tidak ada perbedaan antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyah. Hakikatnya, Allah itu Qodirun, Allah itu Alimun. Perbedaannya menurut Asy’ariyah adalah bahwa Allah itu Qodirun bi Qudrotihi, sedangkan menurut Mu’tazilah Qodirun bi Nafsihi.
Lalu pertanyaannya, kenapa Mu’tazilah mengingkari adanya sifat bagi Allah?
Karena sifat itu bukan disifati. Allah adalah Allah, Sifat Allah adalah sifat Allah. Kalau Allah Qodim tentu sifat Allah juga pasti Qodim. Berarti akan ada qodim lebih dari dua. Namanya ta’dudul qudoma’. Nah, pemahaman ini yang dihindari oleh Mu’tazilah.
Sebenarnya yang dipersoalkan itu kan dua Qodim; satunya Dzat, yang satunya sifat. Nah mestinya hal ini tak menjadi masalah. Tapi yang jadi masalah kan kalau ada dua Dzat, sama-sama Qodim. Lalu Hanabilah Mutajassimah itu terjebak dengan Tajsim atau men-jism kan Allah.
Lalu Asy’ari itu juga berada di tengah-tengah antara Khawarij dan Syiah. Dimana Khawarij mengkafirkan Sayyidina Ali, sementara Syiah terlalu mengagungkan Sayyidina Ali. Sedangkan, Asy’ari ada di tengah.
Tapi pada hakikatnya, bagaimanakah Madzhab Asy’ari itu? Untuk mengetahui ini, bisa langsung saja dilihat dan ditelaah keterangan yang ada di dalam kitab-kitab tauhid seperti Aqidatul Awam, Kifayatul Awam, Jauharut tauhid, dll. Artinya bisa dikonfirmasikan dengan kitab-kitab produk Asy’ari yang lahir dari pemikiran Asy’ariyah.
Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari pernah berkata kepada santrinya, dan ini juga merupakan pegangan Aswaja An-Nahdliyah tentang tawassuth, toleransi, bahwa beliau tidak mengkafirkan kepada siapapun yang termasuk dalam Ahli Kiblat.
Diceritakan bahwa Ibnu Taimiyah diakhir hayatnya juga seperti itu. Banyak cerita juga setelah debat dengan Ibnu Atho’illah, beliau menjadi Sufi juga. Salah satu tandanya adalah bahwa beliau ketika wafat dikuburkan di Maqom Sufiyyah. Begitu juga dengan Ibnul Qayyim yang awalnya Salafiy menjadi seorang Sufi, buktinya adalah kitab karangan beliau yang berjudul Madarijus Salikin. []
Sumber: Tulisan ini adalah catatan dari materi kajian yang disampaikan oleh KH. Afifuddin Muhajir dalam agenda Uji Publik Materi Kaderisasi Menengah Pendidikan Menengah Kepemimpinan NU (PMKNU) di Gedung PBNU Jakarta, 27 Agustus 2022. Tim redaksi melakukan pengolahan materi dan penyuntingan atau penyelarasan bahasa.
___________
Penulis: Athallah Hareldi
Editor: Hakim