Bisa ngaji langsung kepada Yai Ma’ruf Khozin merupakan anugerah. Yang semula hanya bisa ngaji kepada beliau melalui sosial media, akhirnya bisa ngaji langsung serta bisa menyaksikan kedalaman ilmu yang beliau miliki dengan mendengarkan materi yang beliau sampaikan.
Sekilas Biografi Kiai Ma’ruf Khozin.
Secara jejak historis, pengembaraan beliau dalam menuntut ilmu “hanya” di pesantren, tak lain di PP. Al-Falah, Ploso, kurang lebih selama 8 tahun (dari 1994-2002). Namun di pesantren beliau ditempa sedemikian rupa, hingga menjadi manusia yang sebenarnya; alim dan banyak bermanfaat bagi masyarakat luas.
Di curriculum vitae tertera “Universitas Sunan Giri”. Beliau menyampaikan, bukan lulus dari kampus tersebut, tapi lolos. Dari itu, tak ada gelar mentereng yang beliau sandang. Namun keilmuan yang beliau peroleh dari pesantren tidak perlu diragukan, bahkan melebihi ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah.
Kendati hanya dari pesantren, namun beliau memiliki “gelar” khusus, yaitu: M.Si. “gelar” tersebut beliau sampaikan kepada penulis ketika sowan sebelum acara. Awalnya dalam sangkaan, mungkin beliau pernah kuliah di kampus ternama, baik di dalam negeri atau luar negeri, namun “gelar” M. Si tersebut tidak sesuai dengan sangkaan. M. Si yang pada umumnya bermakna Master Of Sains (Magister di bidang Sains) atau semacamnya, namun “gelar” M. Si yang disandang beliau memiliki makna unik. Bukan karena diperoleh dari bangku perkuliahan, namun dari menikahi satu istri, akhirnya mendapat gelar M. Si (masih satu istri).
Kiai Ma’ruf Khozin dan Nurul Jadid
Hubungan beliau dengan PP. Nurul Jadid sarat tak ada hubungan khusus, bisa dikatakan Yai Ma’ruf Khozin pertama kalinya diundang di Nurul Jadid, tepatnya di acara stadium general Ma’had Aly Nurul Jadid. Usut punya usut, ternyata ada hubungan spesial antara beliau dengan Nurul Jadid. Hubungan tersebut adalah dari abah beliau yang ketika mondok di Peterongan, Jombang, pernah ngaji langsung kepada KH. Moh. Hasyim Zaini (Pengasuh ke-II PP. Nurul Jadid), juga termasuk kolega KH. Abdul Wahid Zaini (Pengasuh ke-III PP. Nurul Jadid). Oleh karena itu, beliau menyampaikan hadist dalam kitab shahih muslim aw kama qola:
ﺇﻥ ﻣﻦ ﺃﺑﺮ اﻟﺒﺮ ﺻﻠﺔ اﻟﺮﺟﻞ ﺃﻫﻞ ﻭﺩ ﺃﺑﻴﻪ
Artinya: “Sesungguhnya termasuk dari paling berbaktinya seorang anak kepada orang tua (birrul walidain), ialah memperekat hubungan mereka (silaturrahim) kepada orang-orang yang dicintai oleh orang tuanya”. (Shahih Muslim 4/1979). Dari hadist tersebut, beliau memberikan contoh bahwa termasuk dari memperekat hubungan tersebut adalah hubungan anak kepada guru-guru dari orang tuanya.
Ngaji Kepada Kiai Ma’ruf Khozin
Di sesi pematerian dengan tema “at-Tafaqquh fi ad-Din; Mengaji, Mengkaji dan Mengaktualisasi Fiqih di Era Milenial Perspektif Aswaja an-Nahdliyah“. Selaku moderator, penulis ekstraksikan beberapa materi yang beliau sampaikan, sebagai berikut:
Seseorang yang berusaha memahami ilmu agama (Tafaqquh fi ad-Din) merupakan hamba yang diberikan kebaikan (khoir) oleh Allah, sebagaimana dalam hadist. Dan termasuk tanda seseorang diberi kebaikan oleh-Nya ialah bersikap diam kecuali untuk kebaikan agama, bisa menjaga lisan, tahu keadaan masyaratakat dan fokus terhadap urusannya. (Al-ibanah al-Kubro li Ibn baththah 2/596). Ini perbedaan faqih (ahli fikih) dengan mufti. Ahli fikih, ketika dihadapkan dengan permasalahan umat, biasanya hanya melirik kepada kitab-kitab hukum fikih, namun berbeda dengan mufti yang berusaha mengkompromikan hukum fikih dengan hal ihwal masyarakat. Pungkas beliau.
Masih sering ada pertanyaan: mengapa di masa nabi tidak ada Madzhab Fiqh, seperti Madzhab Syafi’i? Tidak adanya madzhab di zaman Rasulullah, karena pada waktu itu masih bisa bertanya langsung kepada sumber syariat (Rasulullah) dan para sahabat bisa berijtihad secara independen.
Madzhab mulai muncul dari dua kubu; Madzhab dari negeri hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas yang merupakan ahli Hadist dan Mazhab dari negeri Iraq yang dikomandoi oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan rasionalis. Kehadiran Imam Syafi’i untuk mengkompromikan antara keduanya (ahlu al-hadist dan ahlu ar-ra’yi) yang kemudian melahirkan anak ideologis bernama Imam Ahmad bin Hambal. Sebagaimana pengakuan dari santri kinasihnya Imam Syafi’i tersebut bahwa zaman dahulu antara ahli hadist dan ahli ra’yi saling gontok-gontokan, namun imam Syafi’i berhasil mengkompromikan antara keduanya. (Tartib Al-Madarik Wa Tarqib Al-Masalik 1/22)
Dari sinilah menunjukkan bahwa betapa pentingnya bermadzhab, dengan alasan tidak semua orang bisa mengolah dalil al-quran dan hadist melalui disiplin ilmu yang akrab disapa dengan “Ushul Fikih”. Yang memiliki kredibilitas serta reliabel dalam mengolah dalil tersebut hanyalah para ulama’ madzhab yang kemudian 4 madzhab berhasil dikodifikasi pemikirannya dan sampai kepada kita hingga detik ini.
Yai Ma’ruf Khozin memberikan analogi sederhana tentang keharusan adanya pengolahan dalil al-quran dan hadist. Perlunya ada olahan khusus terkait dalil al-quran dan hadist, beliau analogikan dengan minyak bumi yang digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Tidak mungkin minyak yang diperoleh dari belahan bumi langsung digunakan untuk bahan bakar kendaraan, namun harus ada olahan khusus, demikian juga dalil al-quran dan hadist. Maka tak benar jika ada sebuah kelompok yang mengatakan: “kita tidak perlu bermadzhab, langsung merujuk kepada al-quran dan hadist”. Jika pernyataan ini diafirmasi, sama halnya minyak bumi –tanpa ada olahan- digunakan langsung untuk bahan bakar kendaraan. Tentunya hal tersebut tidak akan bisa.
Antara dalil dan peristiwa memang ada kesenjangan. Dalil sudah selesai bersamaan dengan wafatnya Rasulullah, sedangkan peristiwa terus terbaharukan. Namun bukan berarti problem kiwari tidak ada landasan dalilnya, sebagaimana imam Syafi’i mengatakan: “Tidak ada sebuah kejadian yang dialami oleh umat pemeluk agamanya Allah kecuali di dalam al-Qur’an tertera jawabannya secara implisit” (ar-Risalah, 1/20). Pernyataan Imam Syafi’i ini menunjukkan bahwa tidak cukup hanya mengaji (mempelajari dan memahami al-Qur’an dan Hadist), namun harus ada aktivitas mengkaji (melakukan studi mendalam dengan melibatkan analisis kritis terhadap sumber-sumber hukum Islam). Tak kalah penting bagaimana hukum-hukum tersebut bersifat aktual, seperti mengaktualisasi hukum fikih.
Beliau mencontohkan akan perlunya aktualisasi fikih; penerapan hukum fikih dengan cara yang relevan dengan keadaan masyarakat, seperti: jual beli online, nikah online, sholat jumat jamaah secara online dan jual beli di alam meta.
Secara eksplisit dalam al-quran dan hadist bahkan fikih klasik tidak membahas akan permasalahan-permasalahan tersebut, namun secara implisit tentu hal tersebut bisa ditemukan jawabannya. Caranya harus memahami mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum), turuq al-istidlal (metode penarikan dalil hukum) dan memahami problem-problem kiwari yang berseliweran di masyarakat.
Dari sini menjadi jelas bahwa tidak hanya sebatas mengaji (mempelajari) fikih tapi harus mengkaji (melakukan studi mendalam serta melibatkan analisis kritis) terhadap sumber-sumber hukum dan metode penarikan dalil hukum fikih. Tidak cukup hanya itu, ending-nya bagaimana hukum fikih bisa menyapa secara menyeluruh terhadap problem-problem masyatakat.