Laduni.ID, Jakarta – Ciri khasnya Ahli Sunnah itu adalah; jika ada orang berdosa sebesar apapun itu tetap dianggap Islam. Tapi, ada Islam yang berpandangan ekstrem, seperti Madzhab Khawarij. Mereka itu memiliki anggapan kalau ada orang berbuat dosa besar akan dianggapnya kafir. Jelas Itu efeknya luar biasa bahasa dari madzhab tersebut, bahkan mengancam keberlangsungan Islam.
Kita tahu ada madzhab atau cara pandang Imam Abul Hasan As-Syadzili yang berpendapat, bahwa hakikatnya orang ber-Islam itu sangat mudah. Seorang yang kafir selama 70 tahun, lalu ia mengucapkan Kalimat Syahadat, maka ia bisa dianggap Islam dengan sekejap, meski hanya dengan sekali mengucapkannya.
Lalu bagaimana mungkin dengan kalimat yang sama, orang muslim lantas divonis menjadi kafir hanya karena tradisi baca tahlil. Kalau begitu, jelas pandangan seperti ini tidak masuk akal sama sekali. Orang Khawarij itu tidak ada pegangan yang kuat.
Sekali lagi, jelas benarnya bahwa orang kafir itu bisa menjadi muslim dengan mengucapkan Kalimat Syahadat, bagaimana mungkin lalu orang yang asalnya Islam itu bisa menjadi kafir hanya karena melakukan tahlilan di kuburan, karena dianggap meminta-minta dikuburan.
Karena pandangan yang salah inilah, lalu ada seorang ulama besar Makkah, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki yang menyatakan dengan tegas di dalam kitabnya; “Orang yang mengkafirkan itu cobalah sekali-kali ikut!” ini bermakna agar orang-orang berpaham tersebut agar ikut melihat apa sebenarnya yang dilakukan ketika ada orang bertahlilan.
Soal tradisi tahlilannya orang jawa, ini dirasa ada yang agak aneh. Di dalamnya ada kalimat doa yang seakan-akan seperti ‘merendahkan’ orang yang didoakan.
Hal ini sepertinya kurang tepat, apalagi jika sedang mendoakan seorang guru atau orang tuanya. Bagian yang perlu dikoreksi ini berada di kalimat doa beriku; “Allahumma in kana muhsinan fajazihi fi ihsanihi wa in kana musi’an fatajawaz ‘anhu”. Kalimat ini perlu dipertanyakan kepantasannya, karena jika menggunakan in kana (andaikan) seakan-akan tidak percaya diri kalau gurunya tersebut adalah orang baik. Seharusnya kita sebagai murid atau santrinya menggunakan (qod kana) yaitu artinya benar-benar (orang baik), sebagai penegasan kita dan keta’dhiman terhadap guru dan orang tua di mata kita. Tapi dari sini, justru bisa diyakini ada satu kepastian, bahwa tahlil itu bukanlah meminta ke kuburan, tetapi justru untuk mendoakan si mayit agar diampuni.
Perlu ditegaskan bahwa paham ‘takfiri’ yang terlalu mudah menkafirkan orang lain itu adalah paham yang salah. Karena itu berdampak sangat bahaya. Secara fiqih pun itu jelas bahayanya. Orang yang Islam sholat, itu bisa tiba-tiba tidak jadi sholat kalau menggunakan pandangan hukum madzhab takfiri itu.
Ada satu anekdot terkait kritikan terhadap orang yang bermadzhab takfiri itu. Suatu saat ada seorang narasumber di sebuah seminar yang memiliki paham mudah mengkafirkan. Lalu ketika akan memasuki sholat Dhuhur, setengah jamaahnya hilang dan tidak ikut sholat Dhuhur. Kemudaian sang narasumber ini bertanya kepada para peserta yang tidak mengikuti sholat Dhuhur; “Kenapa tidak sholat Dhuhur?” Mereka lalu menjawab; “Ya kan kami dianggap kafir!?”
Dari sini kita bisa melihat paham takfiri ini efeknya panjang dan berbahaya sekali. Jika seorang sudah kafir, maka tidak sholat, dan tidak masuk masjid. []
Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian Gus Baha. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.
___________
Penulis: Athallah Hareldi
Editor: Hakim