Kisah Ajaib Fathullah Gulen Saat Haji dalam Kitab Audah Al-Fursan

Saat itu, sekitar tahun 1968 M, Fathullah Gulen sudah berusia sekitar 30 tahun. Meskipun usianya masih cukup muda, namun kerinduan dan keinginannya untuk haji sangat kuat. Akan tetapi, ia tahu bahwa tak ada cara baginya untuk pergi haji. Ia tidak punya cukup uang untuk mencapai haji. Jangankan berangkat sampai ke tanah haram, misalnya separuh perjalanan berangkat menuju tanah haram ia tak mampu.

Alih-alih tak mampu, justru uang yang ia miliki hanya cukup untuk kebutuhan sehari-harinya dan urusan dakwah. Pendek kata, ia melewatkan malam-malamnya tanpa tidur dengan perut dalam keadaan lapar. Bagaimana seseorang seperti Fathullah Gulen bercita-cita menunaikan haji, sementara ia sendiri membutuhkan apa yang dibutuhkannya.

Karena uang tak mencukupnya, Gulen hanya bisa melihat orang-orang yang berangkat haji dengan mata berkaca-kaca, dan hatinya dipenuhi kerinduan untuk mengunjungi Masjid Rasulullah. Hingga akhirnya ia berdoa: “Semoga Allah menjawab doaku untuk segera berangkat haji dan bisa berziarah ke maqbarah Nabi.”

Dengan kerinduan yang sangat dahsyat, ia pun menulis surat kepada Kanjeng Nabi melalui pelantara orang yang berangkat haji. Akan tetapi, dalam suratnya, Gulen menarik kerinduannya dan nyala hati nuraninya, berharap dengan surat yang isinya begitu, Allah mengabulkan doanya untuk segera menunaikan ibadah haji ke rumah sucinya.

Memang, pada tahun itu (1968 M), proses langganan haji berlangsung di seluruh bagian Turki dengan lancar, dan Gulen hanya bisa menatapnya dengan gembira serta membalut luka ketidakmampuannya dengan air mata dan kesedihan.

Suatu waktu, saat ia sedang memberikan pelajaran kepada murid-muridnya di Sekolah Pasar Al-Kastana’, dan salah satu murid mengejutkannya dengan sebuah pertanyaan: Apakah engkau tidak ingin pergi haji wahai ustadz? Dengan mata yag berkaca-kaca, Gulen menjawab Siapakah aku, agar aku mendapat kehormatan haji?

Akhirnya, ia segera meninggalkan kantornya dan menutup pintu sendirian. Ia lalu duduk di kursinya seraya meletakkan kepalanya di tangannya sambil menangis teringat akan pertanyaan muridnya tadi. Rupanya, di tempat ia beristirahat ada gambar Masjid Nabawi. Ia menatap dengan hormat dan nangisnya semakin menjadi-jadi.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (18): Sufi yang Dekat dengan Pemerintah

Tiap hari tangisnya Gulen selalu dan semakin terisak-isak. Seolah-olah dia sedang menyiarkan kesedihan dan keluhannya. Dia tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu dalam keadaan ini. Tiba-tiba saja telepon dari Lutfi Dogan (kepala urusan agama) berbunyi, ia bergegas mengangkatnya.

Sebuah kejutan dan keajaiban besar. Tak ada angin dan hujan, lewat teleponnya, Lutfi  berkata kepada Gulen “Kami telah memutuskan di Kepresidenan Urusan Agama untuk mengirim tiga mentor bersama para peziarah. Pertama adalah: Tuan Ibrahim Dagir Munji (Mufti dari Denizli), kedua Tuan Ahmed Baltaji (Mufti Provinsi Eskisehir), dan ketiga adalah sampean Fethullah Gulen. Setelah nelpon, Gulen masih tidak mempercayainya. Apakah aku bermimpi sehingga Kepresidenan Urusan Agama mengimkanku untuk menjadi mentor bagi peziarah, gumamnya.

Syahdan, sesampainya di Makkah Al-Mukarramah, beliau sama sekali tidak keluar Masjidil Haram kecuali karena keperluan. Ia mengasing diri di depan Ka’bah siang dan malam. Sesekali, jika perutnya diliputi rasa lapar, dia makan beberapa kurma, lalu kembali ke shalat dan dzikir.

Kemudian, saat waktunya umrah, ia berumrah atas nama orang-orang yang memiliki hak dari hak-hak Islam. Jadi dia melakukan umrah atas nama utusan Tuhan, kemudian atas nama Khalifah yang diberi petunjuk. Kemudian, ia juga melakukan umrah atas nama kerabatnya dan gurunya yaitu, Badi’ al-Zaman Saeed al-Nursi. Tak terkecuali ia berumrah atas nama ibu, ayah, dan kakeknya. Ia terus melakukan umrah setiap hari (umrah sebanyak tiga kali sehari). Ini tentu saja, yang membuat Gulen melakukan itu semua karena kecintaannya pada Kanjeng Nabi.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (15): Syekh Ahmad Ar-Rifai dan Mahar yang Belum Lunas

Atas nama keluarga, orang tua dan kerabatnya, Gulen bersyukur kepada Allah karena tidak mengenal lelah dan lemah, terutama saat melakukan ibadah haji dan umrah, dan selama umrahnya atas nama kakeknya yang sangat terhormat Shamil Agha.

Masih tentang hajinya Fathullah Gulen. Ternyata, selama pencariannya antara Shafa dan Marwah dia merasakan perasaan-perasaan yang aneh. Dia menemukan dirinya seolah-olah terbang 100 kali dan merasa kakinya terangkat di atas tanah saat dia berjuang, sehingga seluruh anggota tubuhnya menggigil.

Akibatnya, tubuhnya demam dengan gemetar yang parah sehinngga tidak bisa melakukan apa-apa. Anehnya, meski dalam keadaan tubuhnya gemetar, dia mendapati dirinya dalam keadaan ekstasi dan kerinduan-kerinduan, sejauh mana hanya Tuhan yang tahu dalam pancaran spiritual atau kesaksian yang tulus itu.

Setelah sembuh, Fathallah Gulen menyebutkan bahwa dirinya waktu itu hidup dalam kondisi yang membuatnya berada dalam kerinduan. Akan tetapi, situasi yang dia jalani selama hidupnya atas nama kakeknya, Shamil Agha, tidak pernah bisa dijelaskan dan diungkapkan dengan kata-kata. Dia mencatat tanggal hari itu di buku hariannya, dan itu adalah hari yang tidak akan pernah dia lupakan.

Alhasil, setelah datang dari haji, dia diterima di bandara Ankara oleh Mufti Izmir, ditemani oleh salah satu imam masjid, kemudian mereka semua pergi ke Izmir. Setelah beberapa saat, Gulen memutuskan untuk pergi ke Erzurum untuk mengunjungi keluarganya. Di sana, ibunya menceritakan sebuah penglihatan yang dia lihat saat dia sedang haji, dia melihat seolah-olah kakeknya adalah Shamil Agha terbang di atas awan seperti bidadari.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (3): Alasan kenapa Nabi Ibrahim Diperintah Menyembelih Putranya

Ketika Gulen menyelidiki cerita penglihatan sang ibu, dia menemukannya pada hari yang sama di mana dia mengenakan pakaiannya atas nama kakeknya, dan dia ingat bahwa dia sendiri telah membumbung tinggi dengan jiwanya di cakrawala negara itu. Bahkan, ia merasakan tubuhnya seolah-olah sedang berenang di antara Shafa dan Marwah. Hingga akhirnya Gulen berdoa, “Semoga kejadian ini, saat haji dan umrah, pahalanya sampai kepada kakek Shamil.”

Selain itu, Fathallah Gulen tidak melupakan murid-muridnya di Sekolah Pasar Al-Kastana’ di Izmir. Gulen memandang semua muridnya selain sebagai keistimewaan yang mendalam dan mendalam, juga sebagai bagian dari penyelamatan dunia Islam yang besar ini. Karena itu, tak heran jika Gulen membawa semua daftar nama-nama muridnya ke Makkah. Ia berdoa untuk mereka satu persatu semoga segara berangkat haji. Gulen juga membelikan mereka masing-masing hadiah kecil yang terdiri dari beberapa kurma, air zam-zam, dan cincin perak kecil. Wallahu a’lam bisshawab.

https://alif.id/read/safa/kisah-ajaib-fathullah-gulen-saat-haji-dalam-kitab-audah-al-fursan-b247812p/