Laduni.ID, Jakarta – Seyogyanya seseorang mengenang kehormatan pendahulunya itu bukan untuk menunjukkan ketenaran tapi yang paling penting adalah untuk meneladani kesholehan dan mengikuti jejak-jejak kebaikannya. Misalkan seperti nasab keturunan pengasuh pesantren Al-Fakhriyah, Jawa Tengah, yakni Mbah KH. Abdullah bin Umar. Beliau ini mempunyai keturunan yang juga meneladani kesholehannya, yakni KH. Abdul Hamid, atau yang sering kita sebut Mbah Hamid Pasuruan. Selain itu, salah satu dzuriyyahnya adalah Gus Baha. Memang benar nasab itu perlu diperhatikan tapi tidak cukup sekadar untuk kebanggaan, melainkan untuk diteladani.
Lalu misalkan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan. Kakek beliau ini bernama Habib Salim bin Ahmad bin Jindan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim. Habib Salim ini merupakan salah satu ulama yang termasuk guru dari Sayyid Muhammad bin Alawi, Makkah. Di antara ulama Indonesia yang disebut oleh Sayyid Muhammad bin Alawi sebagi gurunya adalah Habib Ali Bin Abdurrahman Bin Abdullah Al Habsyi (Kwitang) Jakarta yang juga merupakan kakek dari Habib Jindan itu.
Lalu ada Habib Ali bin Husein bin Muhammad Al-Atthos, Habib Hamid bin muhammad bin Salim As-Sirri, Muhammad bin Ahmad bin Zain Al-Haddad, Habib Syaikh bin Salim bin Umar Al-Atthos, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan BSA. Semua nama ini disebut di dalam kitab karangan Sayyid Muhammad bin Alawi, begitu juga disebutkan oleh beliau ketika menceritakan tentang sanad sunan Ad-Darimi. Beliau semua ini meneladani pendahulunya dengan mengikuti jejak-jejak kebaikannya.
Tentang Habib Salim itu beliau sangat istimewa, tidak hanya disebutkan terkait dengan sanad-sanad pendahulunya tetapi juga membukukannya. Dalam salah satu cerita tentang Syaikhona Kholil, Bangkalan, beliau itu mempunyai murid yang sangat istimewa; disebutkan di dalam manaqib beliau bahwa min Ajalli Talamidzihi Al-Habib Salim bin Jindan, bahwa salah satu murid teristimewa Syaikhona Kholil adalah Habib Salim bin Jindan. Jadi, dari sini penyebutan itu semua bukan untuk membanggakan pendahulu. Tapi memang kenyataan para pendahulu beliau semua itu adalah orang-orang mulia, yang kemudian dilanjutkan dan diteladani oleh para dzuriyyahnya. Dan ini juga tidak lain adalah tentang sanad.
Di dalam kitab Sayyid Muhammad Alawi, yang berjudul Manhajussalaf fi Fahminnusus, dijelaskan bahwa supaya perasaan orang ‘ajam, katakanlah seperti Indonesia kita ini, ketika berpakaian biasa sebagaimana layaknya orang Indonesia, tetap merasa terhubung dengan Rasulullah SAW. Artinya berpakaian menutup aurat itu bagaimanapun bentuknya di dalam suatu daerah, tentu ini ternilai sebagaimana mengikuti Rasulullah SAW, karena menutup aurat. Meskipun, tradisi model pakaiannya berbeda.
Konteks Penentuan Miqat Haji
Selain ini, misalnya dalam hal Nabi menentukan miqat haji. Beliau itu berangkatnya dari Madinah, maka miqatnya dimulai dari Dzalhulaifah. Lalu berbeda dengan orang Indonesia, miqatnya ditentukan lewat Yalamlam. Meskipun berbeda batas wilayah dalam memulai melaksanakan haji. Tetapi ini justru yang benar, karena sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW;
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَ ِلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَ ِلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَ ِلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ.
“Sesungguhnya Nabi SAW telah menentukan miqat bagi penduduk Madinah, yaitu Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam, yaitu Juhfah, bagi penduduk Najd, yaitu Qarnul Manazil dan untuk penduduk Yaman, yaitu Yalamlam. Beliau mengatakan, ‘Semua itu adalah bagi penduduk kota-kota tersebut dan orang yang bukan penduduk kota-kota tersebut yang melewati kota-kota tersebut, yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan bagi orang yang lebih dekat dari kota-kota itu, maka ia memulai ihram dari tempatnya, sampai penduduk Makkah memulai ihram dari Makkah.”
Artinya, dengan demikian tidak bisa sembarangan berasumsi karena ingin mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, lalu yang datang dari negeri manapun, misalkan dari Yaman itu langsung ikut melakukan miqat dari Dzalhulaifah, atau katakan orang Syam juga ingin memulainya dari Dzalhulaifah, dengan dalih ingin meniru sebagaimana Nabi melakukannya demikian.
Tentu ini tidak bisa dibenarkan. Karena justru yang benar itu adalah min madinati nafsi, dari mana berasal dan kemudian mengikuti batas yang memang sudah diberi petunjuk dan ditentukan itu. Demikian itu pula bisa diambil satu pelajaran bahwa umat Islam yang perilaku kesehariannya sudah baik, dari daerah manapun tak perlu merasa tercerebut dari sunnah Nabi, meski berbeda konteksnya. Bagaimanapun, setiap orang muslim masih terhubung dengan Nabi Muhammad SAW.
Tentang Sanad dan Rahmat Allah yang Luas
Dalam konteks lain, ada kisah tentang seorang ‘Arabi berucap secara lantang; “Ya Allah, hanya aku dan Muhammad yang perlu Engkau karuniai rahmat-Mu, yang lainnya jangan kasih!” Mendengar ucapan ini Rasulullah lantas bersabda; “(Bagaimana mungkin) rahmat Allah yang luas ini kamu sempitkan?!”
Nah karena itu, perlu ditegaskan di sini. Sebagaimana Gus Baha yang sangat bangga mengaji kepada Mbah Maemun Zubair, meski orang Jawa. Gus Baha juga hanya mengaji di Indonesia saja.
Suatu saat Mbah Maemun pernah berseloroh guyon; “Orang kayak kamu ini (Jawa) mesti ada yang Alim, karena Islam ini Kafatan Linnas (untuk semua umat manusia). Karena itulah, terbukti dalam sejarah bahwa yang ahli Nahwu itu Imam Sibaweh, padahal beliau itu orang Persia. Begitu juga Imam Ghazali, beliau ini bukan orang arab, tapi Alim, dan menjadi Hujjatul Islam. Artinya Islam itu universal untuk semua.
Fakta ini menjadi bukti bahwa karena Allah itu menghendaki dan memaklumatkan agama ini bukan milik atau untuk orang Arab saja, dan bukan milik siapa saja. Tapi Kafatan Linnas.
Meskipun demikian, kita harus bangga dengan kebiasaan para habaib yang melestarikan secara istiqomah tradisi rauhah Bukhari. Sebab Imam Bukhari itu, jika dilihat dari silsilah nasabnya kitab akan mendapati nama berikut ini: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah, lalu setelah itu nama buyutnya adalah bin Bardasbagh Maula Al Ju’fi.
Bardasbagh ini adalah seseorang yang dulu diislamkan keluarga Al-Ju’fi. Dalam guyonan Mbah Maimun, Bardasbagh itu kalau diandaikan orang Jawa itu mungkin namanya Parmin atau Parlan kurang lebih, sesuai dengan kekhasan Jawa. Betapapun begitu, tapi nyatanya mempunyai cucu Al-Alim Al-‘Allamah yang sering kita sebut Imam Bukhari. Artinya dari sini bisa disepakati dan diterima bersama untuk saling menghormati dan menghubungkan sanad secara saling berkelindan meskipun terkadang berbeda pandangan.
Jadi dari sini bisa dipahami bahwa memang tidak pernah ada masalah sanad secara tradisi. Sayyid Muhammad bin Alawi pernah mencatat dalam kitabnya ada sanad dari ulama India, seperti yang kita tahu orang India kan juga macam-macam, dengan berbagai marga. Dan memang sanad itu terkadang harus lewat orang yang mungkin berbeda pandangan dan tidak cocok.
Misalkan, dalam sebuah cerita masyhur tentang seorang Sahabat tanya perihal mencium istri di bulan Ramadhan. Tentu Sahabat ini tidak bertanya ke Saudah, karena sangat yakin tidak mungkin. Lalu Maimunah menjawab bahwa ia juga tidak mengalami hal itu. Kemudian Sahabat tadi mencoba bertanya kepada Aisyah yang tentunya berpotensi mengalami dicium.
Lalu Aisyah ditanya, “Bagaimana hukumnya lelaki mencium istrinya pada saat Ramadhan?” kemudian dijawab oleh Aisyah “Qobbalani Rasulullah wa huwa shoim,” artinya; “Rasulullah menciumku, padahal beliau sedang berpuasa.”
Bagaimanapun dekatnya, para Sahabat laki-laki Nabi kalau ditanya perihal mandi junub itu pasti rujukannya tentu pada penjelasan Sayyidah Aisyah. Namun sebaliknya, betapapun dekatnya istri Rasulullah SAW, kalau ditanya perihal perang, pasti tidak tahu dan tidak paham, karena ini wilayahnya berbeda. Jadi faktanya, meskipun tidak berbeda cara pandang atau tidak cocok, sanad ini tetap terlegitimasi.
Begitu juga misalnya Afdholus Shohabah seperti Abu Bakar, kadang harus meriwayatkan Hadis dari orang badui atau bahkan maula, yakni Shauban, Rabiah bin Ka’ab dan yang lainnya. Mereka itu orang biasa sekali. Sebagaimana khadim atau seorang pembantu yang tahu keseharian Rasulullah SAW di rumahnya.
Misalnya Sahabat Anas, ketika ditanya apa kenangannya dengan Rasulullah? Beliau menjawab bahwa kenangannya sebagai khoddam Rasulullah selama sepuluh tahun itu tidak pernah Nabi bertanya “Lima shona’ta? wa la li Syain Taraktu, Lima tarakta?”, “Kenapa kamu berbuat begini? Atau kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, (tidak pernah ditanya) Kenapa kamu tinggalkan?”
Kalau dikulik lebih jauh lagi, akan ditemukan satu riwayat bahwa ada sabda Nabi begini; “Di antara nanti umat pilihanku adalah orang-orang yang kalau tertawa itu keras sekali,” “Qauman Yadhakuna Jarran.” Padahal ada riwayat lain juga; “Banyak tertawa itu bisa mematikan hati.” Tapi inipun bisa dibantah, karena kalau terlalu sering merasa khawatir atau cemberut pada akhirnya bisa terjebak frustasi dan putus asa. Justru ini bahaya! []
Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian Gus Baha. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.
___________________
Penulis: Athallah Hareldi
Editor: Hakim