Pada tahun 1968 seusai keberhasilan pameran tunggalnya di Jakarta, Abdul Djalil Pirous yang saat itu sebagai dosen seni rupa ITB mendapatkan Rockefeller Fellowship selama dua tahun untuk mempelajari seni dan grafis di Institut Teknologi Rochester, Amerika Serikat.
Selama di Amerika, Pirous rajin mengunjungi museum-museum seni di New York. Setiap ia berkunjung, Pirous selalu meminta kepada pihak sponsor untuk menunjukan tempat di mana dia bisa melihat seni Asia kontemporer, tepatnya ia ingin melihat seni kontemporer Indonesia. Pirous selalu mendapatkan jawaban yang sama saat meminta hal tersebut: “Tidak. Belum ada kategori untuk itu. Jika yang anda maksudkan adalah seni rakyat tradisional, seni primitive, seni etnis, ada. Tapi jika yang anda maksudkan adalah seni modern, seni kontemporer, tidak ada.”
Pirous merasa begitu sangat kecewa dengan kenyataan yang ia temui di pentas seni global. Pirous yang datang ke Amerika dengan sikap bahwa dirinya adalah bagian dari pelukis modern dunia, ternyata terpatahkan. Ia kemudian melakukan perenungan. Siapa dirinya? Pelukis modern. Tapi apakah pelukis modern Indonesia? Apa buktinya kalau memang pelukis Indonesia modern?
Pertanyaan tersebut membuat Pirous menggali kembali identitas diri yang membuatnya menjadi Indonesia. Ia kembali ke masa lalu di Aceh, tempat kelahirannya. Pirous akhirnya menemukan dan menggunakan lukisan kaligrafi Islam sebagai identitas dirinya untuk menjadi perupa modern. Melihat lukisan kaligrafi Pirous seperti melihat naskah kuno, batu nisan, atau relif-relif yang ada di Nusantara.
Namun hal yang menarik untuk di potret dari perjalanan seorang AD. Pirous dalam menemukan identitasnya adalah mengapa saat itu pelukis modern Indonesia seperti Basuki Abdulah, Sujdojono, Afandi, dan lainnya tidak diakui di pentas global sebagai perupa yang mampu memproduksi seni modern? Bukankah diantara mereka banyak yang belajar melukis dengan menggunakan teknik yang diajarkan Barat?
Menurut Hamid Keshmirshekan seni modern diluar domain Eropa-Amerika kerap dianggap sebagai turunan yang basi, terutama di negeri-negeri jajahan yang berupaya untuk mengekor dan mengimbangi Barat. Hal tersebut membuat seni di negeri jajahan kehilangan identitasnya. Padahal untuk menjadi modern perlu identitas artistik dari warisan budaya yang merepresentasikan dirinya maupun tempat asalnya.
Sementara itu perupa modern Indonesia yang mengalami kebangkitan beriringan dengan masa revolusi, mengusung semangat perjuangan pada lukisannya baik secara pilihan tema maupun teknik yang digunakan. Sudjojono misalnya, dia memilih goresan-goresan kasar pada lukisannya untuk menggambarkan kerasnya perjuangan kemerdekaan.
Namun justru karena seni yang di produksi bersifat politis itulah yang membuat produksi lukisan modern di Indonesia dan negeri jajahan lain ditolak atau bahkan dikesampingkan dalam konsepsi Barat. Mereka menilai bahwa karya-karya tersebut sebagai gema perjuangan politik dan sosial semata, tanpa mempertimbangkan konteks epistimologi dan historisnya masing-masing.
AD. Pirous berhasil menyadari hal tersebut ketika menyaksikan langsung di Amerika bagaimana seharusnya menjadi perupa modern di pentas global.
Jika ingin menjadi kosmopolitan, kita harus menjadi Indonesia terlebih dahulu. Jika kita ingin menjadi internasionalis, kita harus menjadi nasionalis terlebih dahulu. Kita harus membuktikan bahwa kita adalah orang Indonesia, membuktikan karakteristik Indonesia kita. Tutur Pirous saat menyadari apa yang seharusnya dilakukan.
Aceh negeri Serambi Mekah kampung halamannya, menjadi tempat Pirous untuk menjadi Indonesia. Pirous melukis dengan menggabungkan abstraksi geometris dengan kaligrafi, desain Islami, dan eksplorasi tekstur tebal dan tipis yang bernuansa religi. Lukisan abstrak kaligrafinya pun memiliki nuansa Aceh yang kental, atau dalam konteks nasional Pirous menyebutnya memiliki “darah” Indonesia.
Bagi Pirous lukisan abstraksi merupakan wujud dari Tauhid: “Allah itu satu. Tidak melahirkan siapapun dan tidak dilahirkan oleh siapapun. Tanpa awal, tanpa akhir. Sangat abstrak keyakinan kepada satu Tuhan itu.” Kata Pirous.
Hal lain yang menarik dari lukisan kaligrafi AD. Pirous adalah huruf-huruf kaligrafinya dibuat secara eksploratif tanpa standar “grammar” yang umumnya digunakan oleh para kaligrafer tradisional. Lazimnya, seni kaligrafi dibuat dengan menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif, dan lingkaran sebagai etika berkaligrafi atau mengikuti aliran-aliran yang telah terformalisasikan seperti Tsulus, Naskhi, Diwani, Diwani Jali, dan seterusnya.
Pirous tidak melakukannya. Baginya, seni kaligrafi tidak seharusnya berhenti pada bentuk. Ia mencari sendiri bentuk yang diinginkannya. Bentuk yang merepresentasikan dirinya, tempat asalnya Aceh, dan menyatukan dengan rupa abstrak lainnya untuk menghasilkan “darah” Indonesia.
AD. Pirous telah berhasil menjadi Indonesia dengan melukis kaligrafi, dan membawanya menjadi bagian dari perupa modern di pentas global. Lukisan kaligrafi Pirous yang terbebaskan dari standar kaligrafi tradisional bahkan telah memicu lahirnya gerakan kaligrafi kontemporer yang berusaha keluar dari grammar dan kini menjadi madzhab tersendiri dalam pentas seni kaligrafi Indonesia.
Referensi:
D. Sirojuddin AR, Kaligrafi Islam Kontemporer: Seputar Asal-Usul, Ragam Gaya, Bias Pengaruh, dan Rekayasa Pembentukannya, (Sukabumi: Lemka, tt)
George, Kenneth M., Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia, Mizan, (Bandung: 2012)
Keshmirshekan, Hamid, “Parameters of “Modern” and “Contemporary” Art from the Middle East: An Alternative Art Historical Account”, Energie AG, (Deutsche: 2017)
https://alif.id/read/mak/abdul-djalil-pirous-melukis-kaligrafi-untuk-menjadi-indonesia-b247894p/