Akhir-akhir ini, diri saya menanyakan hal yang penting seperti tentang finansial. Hidup di zaman serba ada, perkembangan teknologi yang canggih nan megah membuat kita semua ikut memarakkan euforia keindahannya.
FOMO atau fear of missing out akan keindahan baru seperti handphone bermerk, pakaian dari brand ternama, sampai dengan healing berkedok self reward tak jarang dijumpai. Bahkan itu semua dibumbui dengan dalih “ini kebutuhan”.
Tak hanya itu saja, keinginan untuk mecapai masa depan cerah layaknya influencer tercinta, atau mungkin berkeinginan menjadi pejabat publik yang dapat memamerkan tas branded-Nya. Tentu hal-hal demikian memang tak salah. Kehidupan dunia memang tak lekang dari manusia.
Sebagian orang ketika tak mencapai keinginan sebagaimana teladannya (yang bergelimang harta) akan merasa sedih, dan menganggap dirinya gagal. Mungkin saja mereka memperhatikan keberhasilan dengan mengabaikan fakta dibaliknya. Sehingga kecemasan (dalam hal kekayaan) yang membubuhkan hasil tidak sesuai dengan teladan membuat kegagalan, kerugian, dan kemunduran diri sendiri seolah merasa berbuat kekeliruan besar.
Padahal, esensi dari keseluruhan nilai pelajaran itu tak hanya tentang hasil yang nampak bukan? Bisa jadi dengan belajar dari teladan, kita dapat meminimalisir setidaknya sedikit keburukan yang mungkin ada dalam kehidupan kita.
Mengapa Harta Digadang untuk Pencapaian Kebahagian?
Benarkah harta sebetulnya membawa kebahagiaan? Dalam buku The Psychology of Money karya Morgan Housel, disebutkan bahwa kebahagian ialah subjek rumit yang berbeda-beda antara satu dengan lain. Namun, ada satu kesamaan umum menurutnya yakni adalah setiap orang ingin memegang kendali atas hidupnya.
Harta salah satunya, dapat menjadikan manusia memegang kendali atas apa yang dilakukan, kapan ingin dilakukan, dan dengan siapa sesuai yang dikehendaki. Kekayaan lebih banyak itu berarti orang dapat memilih tak masuk kerja tanpa kehabisan uang, dapat menunggu untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik, memiliki dana darurat tanpa harus berpikir hutang, dapat memilih pekerjaan dengan gaji lebih kecil namun jam kerja fleksibel, dan lainnya. Inilah yang dinamakan uang atau kekayaan yang dapat membeli waktu dan kendali atas kehidupan pribadi seseorang.
Kemudian sampai pada pertanyaan selanjutnya, apakah kebahagiaan hanya selalu tentang memiliki harta? Pada kenyataannya, banyak orang-orang kaya yang tak bahagia. Misalnya, beberapa artis yang baru-baru ini diketahui melakukan perselingkuhan sampai berujung perceraian.
Sehingga dapat ditarik sebuah benang merah bahwa agar bahagia, manusia tak harus mencoba bekerja sekeras mungkin untuk mendapatkan kekayaan.
Sudut pandang lain yang muncul selanjutnya ialah, apakah memang benar kita membutuhkan kebahagiaan dengan harta? Masih dengan Morgan Housel dalam buku tersebut di atas, boleh jadi seseorang menganggap bahwa dirinya menginginkan mobil mahal dan keren, rumah megah dan besar, serta bentuk kemewahan lainnya. Namun, sebetulnya yang diinginkan dari orang tersebut ialah rasa hormat dam kagum dari orang lain karena barang yang dimilikinya.
Padahal, secara tersirat kekayaan tak hanya dinilai dari apa yang dapat dilihat dan dikagumi. Justru apa yang ada dibaliknya (yang tak terlihat) seperti berapa investasi yang ditanam, berapa omset harian, atau bahkan berapa catatan hutang tak terlihat sama sekali.
Pada dasarnya, kapitalisme modern membangun industri untuk membantu orang-orang berpura-pura sampai seolah sungguhan.
Bagaimana Islam Memandang Kekayaan?
Sering kita jumpai dan bahkan harus kita ketahui bahwa para ulama telah merumuskan lima pokok kehadiran syariah atau dinamakan dengan maqasid syariah. Yang mana apabila ditarik sebuah kesimpulan, menurut M. Quraish Shihab salah satunya, tujuan kehadiran syariah ialah kemaslahatan dan keadilan serta mengantar manusia melakukan kebaikan bagi diri pribadinya pun untuk masyarakat atau umat manusia.
Kemudian dari sini, sistem ekonomi Islam mempertemukan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum (sebagaimana maqasid syariah). Sehingga pada saat membenarkan kepemilikan pribadi juga membenarkan kepentingan masyarakat umum.
Menurut Quraisy Shihab, Islam memberikan hak kepada setiap pribadi untuk menghimpun dan memiliki harta sesuka hati walau sebanyak yang dikehendaki dari kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Setiap pemiliki memiliki wewenang untuk memanfaatkan harta mereka, mensedekahkan, mengelola dan lain sebagainya.
Namun yang perlu digarisbawahi ialah bahwa dalam pandangan Islam, Allah ialah pemilik semesta alam termasuk harta. Sehingga Allah lah yang berwenang menentukan ketentuan-ketentuan tentang cara perolehan dan penggunaannya. Kemudian lahirlah ketentuan yang membatasi hak tersebut agar tidak mencederai ketentuan umum.
Garis bawah lain, Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa harta benda (harta yang banyak) bukan saja untuk mengisyaratkan bahwa ia harus diperoleh secara baik, namun juga berfungsi menambah kebaikan seseorang. Maka Islam menganjurkan orang-orang yang memiliki harta untuk menafkahkannya demi kepentingan umum atau menginvestasikannya sehingga harta dapat berfungsi secara positif menyentuh semua masyarakat.
Terlepas dari huru-hara, fomo dan mood swing nya seseorang untuk menentukan kebahagiaan dengan harta, keyakinan bahwa harta ialah semata milik Yang Maha Kuasa dan dapat memberikan berbagai macam kebermanfaatan terhadap lian lebih penting. Dan pada akhirnya akan tercapai poin utama setidaknya dengan sebuah pertanyaan “Apakah semua yang kita inginkan tentang harta, akan benar-benar membawa maslahat?”.
Sumber :
Housel, Morgan. 2022. The Psychology of Money. (Cet XLVII; PT. Baca Aksara Cahaya). Terjemahan Indonesia oleh Zia Anshor
Shihab, M. Quraish. 2021. Syariah, Ekonomi dan Bunga Bank. (Cet 1: Lentera Hati)
https://alif.id/read/nks/fomo-apa-esensinya-dalam-islam-b247899p/