Kapan Dikatakan Cukup?

Angela Dorothea Merkel, biasa dipanggil Frau Merkel, sejak 2005 menjabat sebagai Kanselir Jerman. Ia memiliki gelar “Dr. rer. nat” (gelar PhD tradisional Jerman) dalam bidang kimia kuantum yang diselesaikannya tahun 1986. Bila dicari melalui Scopus, namanya menghasilkan sembilan publikasi.

Disertasinya, yang ditulisnya dalam bahasa Jerman, berjudul “Untersuchung des Mechanismus von Zerfallsreaktionen mit einfachem Bindungsbruch und Berechnung ihrer Geschwindigkeitskonstanten auf der Grundlage quantenchemischer und statistischer Methoden.” Kurang lebihnya artinya, “Investigasi mekanisme reaksi peluruhan dengan pemutusan ikatan tunggal serta perhitungan konstanta lajunya berbasis kimia kuantum dan metode statistik.” Jelas disertasinya tidak berbicara tentang dirinya sendiri.

Gelar kehormatan (honoris causa)? Dalam bidang semacam ini hampir mustahil untuk didapatkan. Hasil riset dalam bidang kuantum, mau fisika, biologi, kimia, dan seterusnya, bukanlah riset yang bisa dibuat secara instan. Setidaknya ia butuh waktu dan infrastruktur yang memadai.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Kalaupun ada, dan saya menjumpai satu-dua contohnya sendiri, gelar kehormatan ini diberikan kepada mereka yang sudah punya gelar doktor asli atau juga gelar doktor habilitasi (lebih elit dari gelar doktor biasa) sebab kontribusi yang signifikan dalam bidang tertentu.

Gelar via plagiarisme? Menteri pertahanan Karl-Theodor zu Guttenberg menjadi eks-menteri justru karena itu. Demikian juga skandal yang saat ini melanda Franziska Giffey, menteri urusan keluarga. Akan selalu ada saja yang memonitor.

Baca juga:  Tantangan Gerakan Perempuan Era Milenial

Hasil monitor ini kemudian diserahkan kepada universitas yang mengeluarkan gelar tersebut. Pihak universitas biasanya membentuk komite investigasi untuk mempelajari kasusnya. Bila terbukti bersalah, mereka tak segan untuk mencabut gelar yang terlanjur disematkan.

Tapi ini masih belum seberapa dibanding sanksi sosial di Jerman: kebohongan macam plagiasi adalah sebuah dosa besar. Apalagi bila dilakukan oleh orang dengan latar belakang pendidikan tinggi. Guttenberg dikabarkan pindah ke Amerika; mungkin ia merasa karir politik dan kehidupan sosialnya di Jerman tak akan kembali bersinar, lantaran terjerat skandal plagiat.

Kontribusi Mutti (bahasa slang Jerman, panggilan untuk ibu) sebagai pemimpin negara? Rasanya tak perlu diragukan: ia terpilih kembali tahun 2018 untuk menjabat periode keempatnya. Dan ini pula yang mungkin membuatnya dijuluki sebagai salah seorang wanita terkuat di dunia. Banyak pula yang mendeskripsikan perempuan berusia 66 tahun ini sebagai pemimpin de facto Uni Eropa.

Apa kontribusi Merkel dalam masa kritis saat? Jerman oleh banyak negara dianggap sukses menghadapi pandemi Covid-19 melalui empat langkahnya: mencegah, mendeteksi, membatasi, dan mengobati. Sebagian pihak memberitakan bila latar belakang pendidikan Merkel berperan penting dalam pengambilan keputusan yang tepat di masa kritis ini.

Oh iya, sekira 82 persen anggota parlemen Bundestag Jerman merupakan lulusan perguruan tinggi, dengan 17 persennya bergelar doktor. 10 dari 16 menteri kabinet Mutti juga bergelar doktor.

Baca juga:  Menengok Jilbab Muhammadiyah Zaman Dulu

Ini bukan soal glorifikasi keunggulan sistem politik negara Jerman atau soal glorifikasi gelar akademis dalam dunia politik atau keseharian. Melainkan soal kompetensi yang dijadikan faktor utama dalam mewujudkan ide-ide pemecah masalah menjadi solusi nyata.

Dan yang perlu diingat oleh siapapun, hak berkontribusi kepada masyarakat bukanlah sebuah hak eksklusif milik orang-orang dengan gelar akademis yang mentereng saja. Yang jelas, niat baik untuk menyelesaikan suatu permasalahan tentu membutuhkan ilmu yang meliputi permasalahan tersebut.

Soal fenomena gila gelar atau titel yang menjangkiti suatu komunitas ini, Vaclav Havel menawarkan satu nasihat terbaik:

“Seseorang yang terlalu menganggap dirinya serius (di depan orang banyak) justru akan beresiko untuk terlihat konyol. Sebaliknya, seseorang yang secara konsisten dapat menertawakan dirinya sendiri justru akan terhindar dari resiko demikian.”

https://alif.id/read/mrb/kapan-dikatakan-cukup-b238332p/