Kita akan menyongsong pemilu 2024. Bersamaan dengan itu, berbagai macam narasi, spekulasi, analisa hingga kampanye sudah digulirkan. Salah satu narasi yang biasanya muncul di masyarakat adalah ramalan tentang juru selamat. Juru selamat ini diyakini akan menyelamatkan negeri dari keterpurukan, memberi keadilan dan membawa kepada kejayaan.
Keyakinan akan juru selamat ini melekat di banyak masyarakat di Indonesia. Di Jawa, juru selamat itu disebut satrio piningit, orang Sunda menyebutnya ratu adil. Kepercayaan terhadap juru selamat di Jawa didasari pada ramalan Jayabaya dan ramalan di berbagai serat seperti Kalatidha dan Darmogandul. Ramalan tersebut menyebutkan bahwa akan ada tujuh satria terpilih yang akan memimpin bekas wilayah majapahit. Ketujuh pemimpin itu disebut Satrio Kinunjara Murwa Kuncara, Satrio Mukti Wibawa Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumela Atur, Satrio Lelana Tapa Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapura, dan Satrio Pinandita Sinisihan Wahyu.
Sementara keyakinan terhadap sang juru selamat bagi masyarakat Sunda merujuk pada uga Siliwangi. Dikisahkan, di penghujung hidupnya, prabu Siliwangi memberitakan bahwa kelak akan datang sang ratu adil yang membawa nusantara menuju kejayaannya. Prabu Siliwangi pun memberitahu ciri-ciri ratu adil yang kerap disebut cah angon (penggembala) tersebut.
Gerakan
Banyak masyarakat yakin bahwa ratu adil bukan hanya mitos. Mereka mengimani bahkan menanti. Karenanya setiap pemilihan umum digelar, mereka tak hanya memilih presiden melainkan juga mencari-cari sang juru selamat yang ditakdirkan itu di antara para tokoh maupun kandidat. Fenomena ini pun sering dimanfaatkan oleh politisi maupun pendukung calon. Di setiap hajatan pemilu, nama satrio piningit kerap dicatut.
Gerakan yang membawa nama ratu adil sebenarnya sudah ada sejak dahulu, bahkan sebelum Indonesia ada sebagai negara. Pangeran Diponegoro yang berani memberontak terhadap Belanda dan memimpin serangkaian perang Jawa pun disebut ratu adil.
Tahun 1919 muncul ratu adil di Jawa Timur, Pak Jebrak namanya, yang memimpin pemberontakan terhadap penjajah dengan semangat mengembalikan kejayaan Majapahit. Kemudian Presiden Soekarno pun diyakini adalah sang satrio piningit yang diramalkan, bahkan hingga kini tak sedikit yang masih meyakini itu.
Waktu tak menggerus keyakinan orang terhadap ramalan.Tak peduli apakah ini era teknologi industri, 4.0, 5.0 atau artificial intelligence, orang masih percaya. Ratu adil pun terus bermunculan. Belakangan kita masih mendengar gerakan ratu adil seperti Sunda Empire atau seorang lansia yang mengaku sebagai ratu adil di Karawang beberapa waktu lalu.
Loyalitas pada sosok
Kuatnya kepercayaan pada sosok ratu adil yang dijanjikan ini tak lepas dari faktor historis-kultural kita. Masyarakat kita sangat bergantung pada figur. Selama ratusan tahun, sistem pemerintahan kita adalah kerajaan dengan seorang raja sebagai pusatnya. Sang raja memiliki legitimasi tak hanya politik tapi juga spiritual. Dia diyakini adalah titisan atau perpanjangan tangan dewata. Maka, masyarakat memberikan loyalitas penuh pada sang raja.
Tak hanya kepada seorang raja, orang pun cenderung loyal kepada mereka yang memiliki otoritas spiritual maupun keagamaan. Kita menyaksikan masyarakat bisa sangat tunduk pada pemuka agama, “guru”, atau tokoh spiritual.
Perkembangan zaman, modernisasi, bahkan liberalisasi tak mudah mengubah itu semua. Kita masih menemukan orang-orang yang “hidup mati ikut gusti (raja)” seperti di Jogja atau “hidup mati ikut kyai (ulama)”. Sementara di masyarakat-masyarakat adat kita, sosok yang mereka ikuti adalah ketua atau sesepuh adat.
Utopis dan fatalistik
Validitas ramalan tentang sang juru selamat tentu masih dapat diperdebatkan. Sebagaimana yang pernah dituliskan Ajip Rosidi bahwa belum terbukti secara faktual ramalan Siliwangi itu ada. Sumber tertulis ramalan Jayabaya pun berasal dari teks sekian abad setelahnya. Kalaupun benar ramalan tentang ratu adil itu, sulit dipastikan apakah ramalan itu belum terjadi atau sudah terjadi.
Di sisi lain, terlepas dari kebenarannya, ramalan tentang juru selamat sangat problematis. Setiap ramalan memperlihatkan bahwa sang ratu adil akan membawa pada suatu titik kondisi yang ideal, tanpa masalah, serta sempurna tatanan sosial, ekonomi maupun politik. Namun, bukankah hal itu lebih tampak utopis? Kalaupun terwujud, berapa lama akan berlangsung?
Ramalan tak pernah mengabarkan apa yang terjadi setelahnya, atau sesudah sang juru selamat tiada. Sementara sejarah menunjukan bahwa nasib bangsa, masyarakat, dan peradaban berputar seperti roda. Selalu ada masalah, kesulitan, bahkan krisis yang harus diselesaikan oleh suatu bangsa. Dalam situasi seperti itu, semua masyarakat lah yang harus turun tangan.
Problem lain adalah munculnya sikap fatalistik dari para penganutnya, bahwa situasi seolah tak akan berubah kecuali saat ratu adil tiba. Mereka pun menyerahkan nasib dengan mengharap kedatangannya. Padahal, suatu negara sejatinya digerakkan oleh seluruh elemen hingga level terkecil, individu. Karenanya, tidak ada seorangpun yang boleh diam tanpa kontribusi. Sikap fatalistik seperti ini justru akan merugikan negeri kita sendiri.
Konsep ratu adil adalah baik. Dia digambarkan sebagai orang dengan kualitas sangat tinggi sehingga mampu membawa perubahan. Namun, bukankah lebih baik kalau masyarakat menyerap konsep itu untuk diri mereka sendiri. Setiap orang bisa bertanggung jawab melakukan perubahan dan tak lagi hanya menanti-nanti. Apalagi dalam situasi politik seperti saat ini. Jangan sampai narasi ratu adil dimanfaatkan. Ia hanya akan memperpanas tensi politik dan tidak membawa persatuan maupun keadilan sama sekali.
Baca Juga
https://alif.id/read/pws/tahun-politik-menggugat-juru-selamat-b247950p/