Baru baru ini kembali terdengar berita yang kurang mengenakan tentang efek dari pembullyan, Larangan bully sudah menjadi larangan yang sah hukumnya di Indonesia. Segala bentuk informasi maupun kampanye untuk tidak melakukan hal tercela tersebut selalu dikumandangkan baik melalui media sosial, poster-poster, media cetak ataupun segela bentuk seminar yang membahas tentang pembullyan. Pemerintah juga tidak segan segan memberikan hukuman kepada pelaku bully yang seharusnya menjadi rasa takut apabila seseorang melakukannya.
Kini berita yang kurang mengenakan tersebut datang dari seorang siswa SMPN 2 Pringsurat, Temanggung Jawa Tengah yang berinisial ( R ) berumur 14 tahun yang membakar sekolahnya sendiri pada tanggal 27 Juni 2023 dini hari.
Alasan dari pelaku melalukan perilaku tercela adalah karena mengaku bahwa ia adalah korban bully disekolahnya sendiri. Perundungan itu bukan hanya dilakukan oleh teman-temannya. Tetapi ia mengaku bahwa gurunya juga terlibat dalam aksi pembullyan tersebut yang membuatnya kecewa, sehingga ia memendam rasa kecewa dan sakit hati lalu nekat untuk balas dendam tersebut dengan membakar sekolahnya sendiri.
Pelaku merasa bahwa teman-temannya kerap membully, dan guru yang dirasa menjadi pelindungnya malah kurang perhatian terhadap R. Perundungan yang dialami diakui R bukan hanya melalui pembullyan verbal akan tetapi juga kekerasan. Selain itu menurut pengakuan R, guru di sekolahnya pernah merobek tugas di depan kelas tanpa menjelaskan alasannya. Selain itu, R juga ditolak menjadi ketua Palang Merah Remaja (PMR) karena dianggap tidak layak untuk memimpin.
Hal inilah yang membuatnya terdorong untuk melakukan balas dendam, karena aksi ini sepertinya sudah direncanakan matang matang oleh R, mengingat sebelum melakukan aksi pembakaran sekolah, R sempat meracik bahan untuk membakar sekolah. Bahkan R melakukan uji coba bahan racikannya di rumah dan berhasil. Bahan racikan tersebut berupa 3 botol yang akan dilemparkan ke sekolah. Api mulai terbakar pukul 02.00 WIB dan mulai padam pukul 03.00 WIB.
Warga yang berada di lokasi kebakaran menaruh curiga kepada R karena ia merupakan warga desa lain. R kemudian mengaku kepada warga telah membakar gedung sekolahnya. Lalu, warga membawa R ke Polsek Pringsurat untuk diamankan.
Dari kronologi diatas sudah jelas bahwa aksinya memanglah direncanakan karena pelaku yang sudah memendam kecewa dan merasa ingin membalas dendam atas apa yang ia alami selama ini. Bentuk kekecewaan inilah yang memang salah besar bahkan merugikan banyak orang termasuk dirinya sendiri. Walaupun R masih dibawah umur dan belum bisa ditahan R sudah ditetapkan menjadi pelaku dan wajib lapor.
Namun yang sangat disayangkan adalah klarifikasi dari kepala sekolah R yang menganggap bahwa aksi yang dilakukan R adalah “caper” atau cari perhatian. Menurutnya R sering mencari perhatian guru dengan melakukan sejumlah kesalahan. ”Saat melakukan kesalahan dan dipanggil oleh guru, dia sering kali berpura-pura muntah atau bahkan kesurupan,” tuturnya.
Menanggapi pernyataan kepala sekolah, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai pihak sekolah tidak memahami kondisi psikologis R. “Pernyataan sekolah justru terus menyudutkan R dengan menyebutkan sebagai anak yang caper,” ujar Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.
Pihak sekolah harusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan kasus ini terhadap korban bully. Serta melakukan pendekatan yang lebih untuk mencari tahu mengapa ia sering “caper” di sekolah. Kemungkinan besar ia memiliki masalah dan membutuhkan orang yang ada disampingnya untuk bisa meluapkan segala bentuk ekspresi yang ia rasakan, namun sayangnya R malah mendapat perlakuan yang tidak baik.
Tidak ada yang membenarkan kesalahannya yaitu dengan membalas dendam dan membakar sekolah, Tapi disini seluruh unit sekolah harus melakukan evaluasi terhadap hal yang menimpa R. Mendidik anak untuk menjadi disiplin tidak harus dengan kekerasan atau pembullyan, minimal dimulai dari menghargai setiap tugas yang telah diselesaikan.
Seluruh manusia berhak kecewa, tapi korban seperti R yang telah banyak menelan rasa kecewa karena masalah yang dialaminya tidak bisa diselesaikan sehingga dapat membuatnya depresi dan nekat hingga membakar sekolah.
Ini bukan lagi tentang siswa yang caper, tetapi ini tentang seluruh aspek dan nilai moral serta value sekolah yang perlu di evaluasi. Agar kedepannya tidak ada lagi korban bully seperti R di masa yang akan datang. Maka sekolah dan orang-orang di sekitar harus lebih aware terhadap sinyal-sinyal yang diberikan oleh siswa-siswa seperti R dengan pendekatan yang dapat menyentuh psikologisnya untuk mencegah bom waktu seperti yang terjadi saat ini karena tidak semua siswa yang melakukan aksi tidak baik dapat disebut cari perhatian.
Baca Juga
https://alif.id/read/adp/membedakan-caper-dan-korban-bully-yang-butuh-perhatian-b247961p/