Di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang terdapat sebuah tradisi yang dilaksanakan pada hari raya Iduladha. Apabila biasanya tradisi saat Iduladha terkait dengan daging kurban, di Bonang berbeda.
Tradisi ini bermula untuk mengenang Raden Maulana Makdum Ibrahim atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang. Jasa-jasa Sunan Bonang yang begitu besar dan memberi dampak kemajuan bagi masyarakat selalu dikenang secara turun-temurun. Bentuk penghormatan tersebut adalah diadakannya peringatan Haul Sunan Bonang pada hari Rabu Pahing bulan Zulkaidah dalam kalender Hijriah.
Selain haul, terdapat tradisi Penjamas Bende Becak Pusaka Sunan Bonang yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Zulhijah. Tradisi ini merupakan sebuah ritual menyucikan pusaka milik Sunan Bonang yang berbentuk gong berukuran kecil yang disebut bende. Jika biasanya peringatan untuk mengenang jasa Walisanga dilaksanakan di daerah pemakamannya, Penjamasan Bende Becak tidak demikian. Hal ini karena makam Sunan Bonang tidak berada di Desa Bonang, tetapi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Namun, di Desa Bonang sendiri terdapat makam yang diyakini sebagai makam Sunan Bonang.
Terdapat perbedaan pendapat terkait letak makam Sunan Bonang yang asli yakni antara di daerah Tuban, Bawean, dan Lasem. Namun, terlepas dari perbedaan tersebut, masyarakat Bonang tetap memuliakan pusaka bende serta menziarahi makam yang ada di pasujudan tersebut yang diyakini sebagai makam Sunan Bonang, meskipun ada kemungkinan bukan makam aslinya.
Upacara Penjamasan Bende Becak Pusaka Sunan Bonang sudah berlangsung sejak abad ke-16. Tradisi ini memiliki cerita sejarah yang unik. Gong kecil yang menjadi pusaka Sunan Bonang tersebut konon merupakan jelmaan seorang utusan Prabu Brawijaya V yang bernama Becak. Maksud kedatangannya menghadap Sunan Bonang adalah untuk menyampaikan pesan dari sang raja bahwa ia belum menerima ajakan masuk agama Islam. Utusan ini datang disaat sang sunan sedang mengajar murid-muridnya, ia pun diminta menunggu di halaman masjid.
Saat menunggu, ia kemudian menyenandungkan tembang Jawa dan terdengar oleh Sunan Bonang yang konon kemudian merasa terganggu berkata, “Siapa itu, kok seperti bende?” Setelah mengucapkannya, si Becak tiba-tiba tidak ditemukan lagi di halaman dan hanya ditemukan sebuah bende atau gong kecil yang kemudian dipercaya bahwa Becak telah terkena sabda Sunan Bonang sehingga ia berubah menjadi bende. Gong kecil tersebut kemudian dimanfaatkan Sunan Bonang untuk memanggil atau membangunkan santri-santrinya agar segera ke masjid. Cerita ini dituturkan secara turun-temurun serta memiliki beragam versi yang belum bisa dipastikan kebenarannya, hanya sekedar menjadi kepercayaan masyarakat turun-temurun. Sepeninggal Sunan Bonang, bende ini masih dijaga dan dirawat dengan baik oleh murid-muridnya.
Upacara penjamasan ini dilakukan pada pagi hari setelah pelaksanaan salat Idul Adha. Terdapat benda-benda yang digunakan seperti air bunga yang diambil di lima tempat, potongan kain mori, sajian ketan kuning dengan parutan kelapa, serta rakitan potongan bambu. Prosesi diawali dengan pembacaan doa oleh para kiai. Sebelumnya, tempat penjamasan, yakni rumah juru kunci pasujudan dipagari dengan bambu-bambu sehingga masyarakat hanya bisa menyaksikannya di luar batas bambu tersebut.
Setelah itu, bende dan batu pemukulnya yang dilapisi kain mori dibuka dan diperlihatkan kepada masyarakat yang memadati lokasi. Dengan diiringi lantunan selawat, bende tersebut kemudian dibasuh dengan air bunga yang sudah disiapkan dalam gentong dengan cara dicelupkan kemudian digosok-gosok dengan bunga yang ada di dalamnya.
Usai prosesi penyucian, bende dibawa keluar dari tempat penjamasan oleh sang juru kunci. Sementara itu, masyarakat langsung memadati tempat bekas penjamasan untuk mengambil air bekas prosesi, potongan kain mori lama pembungkus bende, potongan bambu, ketan kuning, dan hidangan lainnya. Semua barang yang terlibat dengan prosesi tersebut diburu oleh masyarakat untuk mencari keberkahan Sunan Bonang.
Sunan Bonang senantiasa menebarkan kebaikan pada masyarakat sekitar meskipun telah wafat. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai letak makam yang asli, masyarakat lebih mengedepankan sikap tawaduk. Di sinilah letak nilai moral bahwa berbeda pendapat itu tidak perlu saling menjatuhkan pendapat lain, beragam pendapat justru akan memperkaya budaya serta semakin banyak doa yang terpanjat dari berbagai tempat yang diyakini sebagai makam Sunan Bonang.
Selain itu, terdapat pesan yang terkandung dari sejarah tradisi tersebut terlepas dari kebenarannya. Ketika Becak, utusan Prabu Brawijaya V bertamu kepada Sunan Bonang, ia menunjukkan sikap yang kurang sopan dengan bersenandung lagu yang menyebabkan tuan rumah merasa terganggu saat mengajar murid-muridnya. Walaupun Sunan Bonang seperti tidak sengaja mengucapkan kata-kata tersebut, adab mengenai bertamu harus diutamakan.
Namun, pada akhirnya secara tidak langsung, Becak memberi manfaat kepada santri-santri Sunan Bonang dan hingga sekarang menjadi objek tradisi. Ini menunjukkan apa yang dikehendaki melalui sabda tersebut oleh Sunan Bonang dapat membawa berkah atau kebaikan pada kehidupan seseorang atau masyarakat luas, meskipun sabda tersebut tanpa sengaja diucapkannya.
Tradisi yang bertepatan dengan hari raya kurban ini memiliki makna yang selaras dengan makna hari raya tersebut. Iduladha tidak hanya dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga menyantap hidangan daging tetapi juga memiliki makna pembersihan jiwa dari hawa nafsu yang dilambangkan sebagai hewan kurban yang disembelih. Dengan demikian penyucian pusaka Sunan Bonang ini juga dapat dimaknai sebagai simbol pembersihan jiwa.
Setelah disucikan, benda-benda yang digunakan dalam prosesi menjadi rebutan warga. Air bunga bekas penyucian dipercaya dapat menyembuhkan orang yang sakit, sedangkan rakitan bambu wadah ketan kuning biasanya akan dipasang di rumah untuk keselamatan. Terdapat pula kain kafan bekas pembungkus pusaka yang diperebutkan. Kain ini dipercaya mengandung keberkahan tersendiri contohnya ketika ada warga setempat yang berdagang di luar desa, kain kafan tersebut diselipkan pada peci maka akan terlindung dari musibah dan kejahatan dari preman.
Dalam mengambil benda-benda ini diperlukan perjuangan dengan berdesak-desakan antarwarga, hal ini bermakna bahwa kebaikan harus diperjuangkan dengan kesabaran dan ketekunan. Selain itu, dibutuhkan rasa kekeluargaan dengan tidak egois mengambil air atau benda-benda tersebut secara berlebihan agar keberkahan dari benda- benda tersebut dapat dibagi rata.
Referensi
Khusna, R. M. (2020, Maret 9). Lokasi: MAKNA SIMBOLIK DALAM TRADISI “BENDE BECAK” PADA RITUAL SELAMATAN DI DESA BONANG KECAMATAN LASEMKABUPATEN REMBANG. Onesearch.id: https://onesearch.id/Record/IOS15607.17584
Mahendra, D. (2017, Sepetember 1). Berita: Menilik Ritual Penjamasan Bende Becak Milik Sunan Bonang. Nur FM Rembang.
Ulum, A. (2017). Sunan Bonang: Dari Rembang untuk Nusantara. Yogyakarta: CV. Global Press.
Baca Juga
https://alif.id/read/yha/menilik-makna-tradisi-penjamasan-bende-becak-pusaka-sunan-bonang-b247971p/