Imajinasi tentang Wali Songo tak pernah dan bahkan seolah tak boleh mati bagi kita umat muslim Indonesia. Betapa tidak, penyebar Islam pada perempat akhir abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-16 ini merupakan tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara.
Dikatakan tonggak terpenting sejarah Islam, karena kedatangan saudagar-saudagar muslim sejak tahun 674 M tidak serta merta diikuti oleh penyebaran agama Islam secara massif di kalangan penduduk pribumi.
Ma Huan–seorang Tiongkok muslim yang ikut dalam kunjungan Cheng Ho ketujuh pada 1433–mencatat bahwa penduduk yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa terdiri atas tiga golongan: muslim Cina, muslim Persia-Arab, dan pribumi yang memuja roh-roh dan hidup sangat kotor.
Dari catatan itu, dapat dimengerti bahwa sejak hadir di Nusantara pada awal zaman Islam pada tahun 674 M hingga tahun 1443 M–rentang waktu sekitar delapan ratus tahun–agama Islam belum dianut secara besar-besaran oleh penduduk pribumi.
Penyebaran agama Islam mulai berkembang di wilayah Majapahit setelah putra-putra, kerabat, menantu, dan murid kakak-beradik asal Champa bernama Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah berdakwah secara sistematis. Mereka inilah yang membangun ‘jaringan’ dakwah “Wali Songo”, yang perkiraan dibentuk pada pertengahan 1470-an.
Oleh sebab itu, wajar jika imajinasi Wali Songo juga senantiasa hidup di hati dan pikiran para penulis di negeri ini. Bisa dikatakan karya tulis yang mengambil latar belakang seputar masa berdakwah Wali Songo ini cukup banyak dan berkembang seiring dengan zaman. Novel Saga dari Samudra merupakan potret dari perkembangan karya tulis tersebut.
Sunan Giri dan Jalan Dakwahnya
Sunan Giri atau yang dijuluki Nyai Ageng Pinatih sebagai Jaka Samudra merupakan salah seorang ulama Wali Songo. Beliau dilahirkan oleh Dewi Sekardadu, putri bangsawan Menak Sembuyu dari wilayah Kerajaan Blambangan atau Banyuwangi. Ayahnya adalah Maulana Ishak, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.
Kisah kelahiran Sunan Giri dibarengi dengan peristiwa yang tidak mengenakkan. Maulana Ishak (ayah Sunan Giri) diusir dari Blambangan oleh mertuanya sendiri, Menak Sembuyu. Menak Sembuyu marah kepada sang menantu karena diminta meninggalkan keyakinannya untuk masuk Islam. Walhasil Maulana Ishak terpaksa meninggalkan istrinya yang tengah hamil. Penyebab diusirnya Maulana Ishak ini ditulis pada bagian akhir bab 10 dalam buku ini.
Pada bab 12, asal muasal Sunan Giri kembali diceritakan dengan lebih kompleks. Saat itu, terjadi wabah besar di Blambangan. Menak Sembuyu berkeyakinan bahwa pagebluk itu berkaitan dengan bayi laki-laki Maulana Ishak yang dilahirkan putrinya, Dewi Sekardadu. Untuk mengusir wabah, bayi itu diletakkan di sebuah peti kemudian dihanyutkan ke tengah laut. Peti itu lalu tersangkut di kapal milik Nyai Ageng Pinatih yang sedang berlayar menuju Bali.
Seiring berjalannya waktu, Sunan Giri beranjak dewasa. Ia berguru kepada Sunan Ampel di Ampeldenta. Di sana Sunan Giri banyak belajar ilmu agama, ilmu bela diri, dan sebagainya. Dikisahkan pula ihwal kelanjutan konflik antara Sunan Giri dengan Wajendra yang bermula saat mereka masih kanak-kanak. Konflik dengan Wajendra-pun berakhir dengan sikap kedewasaan Sunan Giri yang mau mengalah dan memendam permasalahan pribadinya.
Di bagian lain, ada sebuah kisah ketika Sunan Giri memantapkan diri sebagai seorang pendakwah. Sunan Giri bersama Nahkoda Sobir dan rombongan lain pergi dan tiba di sebuah perkampungan kecil di Pulau Tatas membawa barang dagangan. Mulanya, mereka memiliki niat untuk berdagang. Namun, singkat cerita, setelah melihat kondisi masyarakat kampung yang membutuhkan bantuan, Sunan Giri memutuskan untuk menyedekahkan barang dagangan yang ia bawa.
Sunan Giri bersama rombongan memutuskan kembali ke Gresik tanpa memperoleh keuntungan berdagang. Mereka semua khawatir akan diberi hukuman oleh Nyai Ageng Pinatih lantaran telah menyedekahkan seluruh dagangannya. Setibanya di pelabuhan, Sunan Giri menjelaskan alasannya kepada sang ibu. Alih-alih berkomentar buruk, Nyai Ageng Pinatih justru mendukung segala keputusan Sunan Giri. Di titik ini pulalah, Sunan Giri menemukan keinginannya untuk bersyiar.
Cerita Laga yang Lugas dan Memudahkan Pembaca
Buku ini sempat diresensi oleh Yeti Kartikasari di Jawapos pada Minggu, 25 Juni 2023 lalu. Yeti mencermati kisah-kisah dalam novel yang kurang dipenuhi adegan duel, pertempuran atau adu kesaktian yang merepresentasikan label cerita laga pada buku tersebut. Akan tetapi, saya kurang setuju pendapat tersebut. Perlu digarisbawahi kalau cerita laga tak melulu soal perkelahian. Makna laga dapat diartikan sebagai sebuah aksi atau perbuatan yang memperjuangkan hal tertentu.
Aksi atau perbuatan yang dimaksud yaitu aksi Sunan Giri dalam menjalani kehidupan serta mendakwahkan agama Islam. Mulai dari mencari tahu asal-usul dirinya, aksi bersedekah pada suatu desa yang kerap menjadi tempatnya berniaga, hingga aksi syiar Islam dengan bermacam permainan anak, seperti jamuran, jelungan, dan cublak-cublak suweng.
Bagi saya, fiksi terbaru dari penulis ‘Gadis Kretek’ ini cenderung sederhana dan mudah dipahami. Tidak rumit atau ndakik-ndakik. Pembaca tidak butuh konsentrasi tinggi untuk memahami halaman demi halaman buku. Novel setebal 193 halaman ini pas untuk dibaca para pembaca sejarah pemula yang ingin menggali sejarah Sunan Giri dengan mudah dan cermat.
.Di lain hal, novel yang mengulas perjalanan Sunan Giri ini juga mempermudah pembaca dalam memahami makna ajaran serta detail-detail sejarah yang mungkin sulit dipahami atau diingat. Tentu dengan gaya bercerita, para pembaca akan dibikin mudah dalam memahami substansi yang ada dibanding penulisan tematik yang terkadang susah dicerna.
Judul Buku: Saga dari Samudra
Penulis: Ratih Kumala
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Cetakan Pertama: Mei 2023
ISBN: 978-602-06-7097-3
Baca Juga
https://alif.id/read/mnz/membaca-jejak-sunan-giri-melalui-skenario-laga-b248059p/