“Cah wedok putus cinta, mendem noh. Mosok galau nangis terus buat story sad” (cewek putus cinta, mabuk lah. Masak iya, galau cuma nangis terus buat story sedih). Candaan yang acapkali kudengar dari beberapa teman sekitar, ungkapan ke teman yang sedang putus cinta. Kata-kata yang mulanya kuanggap candaan dan berlalu begitu saja, cuma guyon doang lah buat nyindir ke teman yang galau.
Hanya saja akhir-akhir ini mulai berseliweran di FYP TikTok, perempuan yang sedang mabuk berat di lokasi dekat sawah dan parahnya pelakunya perempuan yang berhijab. Terlihat dalam video perempuan berjalan lunglai karena dirinya dalam keadaan mabuk berat. Disertai keterangan sebab diputusin doinya, akhirnya memilih mabuk untuk menenangkan pikirannya.
Saking luas dan besar cintanya ditinggal doinya, dirinya terasa sudah kehilangan sebagian nafasnya. Sehingga perlu sejenak untuk merehatkan pikiran dan melupakan peristiwa menyakitkan itu, mengekspresikannya dengan meneguk minuman keras yang membuat dirinya nge-fly.
Jatuh cinta merupakan fitrah bagi setiap manusia, entah laki-laki maupun perempuan. Mempunyai perasaan mendalam pun bukan suatu masalah -sebut mabuk cinta, toh dulu sudah terdapat cerita masyhur nan terkenal se antero dunia, Layla dan Qais. Sampai begitu sangat cinta terhadap pujaannya, dia disebut gila -majnun. Dirinya yang sudah mabuk cinta kepada Layla, pada kesehariannya hanya dihabiskannya untuk Layla, Layla dan Layla semata. Bahkan, Qais pun sudah lupa akan dirinya sendiri.
Pada dasarnya mempunyai perasaan terhadap lawan jenis bukan lah suatu kesalahan, bukan juga terbilang dosa, dalam tanda kutip hanya memiliki perasaan. Seterusnya pengekspresian dari perasaan itu baru dikenakan sebagai tindakan hukum, bisa jadi menjadi boleh atau pun terlarang.
Misal contoh sederhananya pada ungkapan Rahwana, “Tuhan, jika perasaanku pada Shinta terlarang. Mengapa kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku?!”. Mulanya bukan kesalahan Rahwana ketika memiliki perasaan kepada seseorang yang tak mungkin bersama. sebab, perasaannya dia adalah murni karunia dari Tuhan. (entah dengan tujuan apapun Tuhan menganugerahkannya). Namun terkait bagaimana dia mengekspresikannya, baru mempunyai nilai benar dan salahnya.
Kembali pada kasus perempuan berhijab yang mabuk di atas, betapa besar perasaannya bukan lah suatu kesalahan atau pun dosa. Namun, bentuk cintanya terhadap doinya tak lantas melegalkan segala bentuk tindakan hukum, semacam karena diputusin guna menghilangkan beban dan perasaannya direpresentasikan dalam bentuk mabuk, tentu tindakan tersebut tetap tidak diperpolehkan. Dan perlu digarisbawahi bahwa topik yang dibicarakan kali ini terkait dua pasangan yang mempunyai hubungan legal dalam islam. Berbanding terbalik pada hubungan yang ilegal dan bertentangan dengan ajaran islam tentu tak perlu dipertanyakan lagi keharamannya.
Kemudian, memandang dari kacamata ushul fiqh, kasus tersebut dikategorikan bertentangan dengan Hifdz ‘Aql yang merupakan cerminan dari QS. Al Baqarah 219. Dalam cuplikan videonya pun nampak sang perempuan tak dapat mengontrol akalnya, terlihat dari cara berbicaranya yang ngelantur dan tak terkendali. Keadaanya demikian yang dicegah dan dilarang, setiap manusia dituntut untuk menjaga akal warasnya agar dapat digunakan untuk kehidupan kesehariannya, bukan malah dirusak hanya untuk urusan putus cinta.
Dan lebih parahnya bisa beranjak pada tingkatan Hifdz Nafs, kondisi fisik perempuan yang tergolong lebih lemah dibanding laki-laki. Sehingga, tubuhnya yang lebih berpotensi lebih kuat terkena efek dari minumannya, boleh jadi menyebabkan overdosis dan nyawanya pun yang menjadi taruhannya.
Gamblangnya, walaupun perasaan manusia merupakan fitrah dan anugerah Tuhan, tak lantas menjadikan seseorang untuk boleh melakukan apapun yang didasarkan olehnya. Toh, semua perbuatan harus didasarkan pada nash yang ada.
Hanya saja menariknya, bagaimana jika terdapat dua persoalan dalam nash yang terkesan bertentangan. Sederhananya antara QS. Al Baqarah 219 di atas dengan QS. Annisa’ 34 perihal kewajiban ketaatan istri terhadap suami. Misal pada kasus ini, seorang laki-laki -sebut saja suami, menuntut perempuannya -istrinya untuk mabuk-mabukan, jika tidak mau, suaminya tak segan-segan akan menceraikannya.
Menelaah terkait relasi istri dengan suaminya terdapat dua poin di dalamnya. Pertama, berhubungan dengan keberlangsungan keturunan antara keduanya. Kalau keduanya berpisah, secara spontanitas sang istri akan mengalami penundaan untuk mendapatkan buah hati. Dan jika sudah dikaruniai anak, tentu perhatian dan pengawasan dari sang ayah menjadi sedikit berkurang.
Kedua, berkaitan dengan hubungan harmonis yang diikat oleh kedua keluarga. Perceraian juga mengakibatkan akan retaknya keberlangsungan jalinan antara keluarga istri dan suami. Kecanggungan dan sungkan akan menyelimuti kontak komunikasi, terkesan akan menjadi asing seperti sediakala.
Intisari yang didapat dari relasi istri dan suami adalah pengkategoriannya pada tingkatan hifdz nasl. Keberlangsungan keturunan menjadi terganggu, karena perceraian yang ditimbulkan.
Berbanding terbalik jika memilih untuk tunduk pada perintah suami untuk mabuk-mabukan. Tingkatan maqasid syariahnya berada pada tahap hifdz ‘aql, lebih-lebih hifdz nafs sebagaimana disinggung di pembahasan sebelumnya. Sehingga dengan mengkomparasikan dua permasalahan tersebut, fokus primernya adalah melalui hifdz ‘aql dan hifdz nafs, tetap pada pilihan untuk menolak mabuk-mabukan walaupun konsekuensi yang dilahirkan berdampak kepada hifdz nasl. Sebab posisi hifdz ‘aql dan hifdz nafs posisinya berada lebih tinggi dibanding hifdz nasl sendiri.
So, stop mabuk-mabukan meskipun dalam keadaan sedang mabuk cinta. Berhenti mengikuti tindakan yang didasarkan pada hawa nafsu, gunakan akal dan logika untuk memilih sebuah tindakan guna tak jatuh pada jalan yang keliru. Sekian.
Baca Juga
https://alif.id/read/ftb/mabuk-cinta-dalam-kacamata-ushul-fiqh-b248110p/