Ibadah haji dimaksudkan untuk memperingati “hajar”. Sebuah kata asal yang digunakan sebagai acuan perubahan. Kata hijrah sendiri juga bersumber dari kata hajar. Sehingga Nabi Muhammad bersabda “Muhajir (orang yang melakukan hijrah) yang ideal adalah yang berbuat seperti hajar”. Maka hajar sendiri bisa dimaknai sebagai peralihan hidup dari biadab menjadi lebih beradab.
Inti dari hidup adalah koreksi yang terus menerus dilakukan. Siapapun juga, termasuk ulama yang bertutur kata untuk menjaga kemaslahatan. Ataupun umara yang memberlakukan serangkaian kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan. Semua harus melaksanakan hijrah menuju hidup yang lebih beradab.
Esensi haji, akan memaksa manusia merenungi tujuan awal penciptaannya. Misalnya melalui gerakan tawaf; sebuah gerakan yang menghilangkan identitas personal manusia. Semua orang berkumpul, berputar dalam arah yang sama tanpa ada perbedaan jabatan, ras, warna kulit, atau perbedaan lainnya. Inilah yang disebut sebagai transformasi total manusia. Segala bentuk ke-aku-an lenyap, bersatu menjadi “kita” yang merupakan ummah dalam tujuan menghampiri Tuhan.
Pun dapat kita lihat, ritual-ritual lainnya juga mengacu pada hal yang sama. Haji menjadi momen perubahan seorang hamba untuk lebih beradab. Menyalakan prinsip kemanusiaan, dan mematikan nalar egoisme yang bersemayam dalam hati. Tuntunan sikap kebijakan tersebut, akan mendorong manusia mengenal lebih dekat siapa dirinya. Tidak ada kesalahan yang lebih besar selain kesalahan yang ada pada dirinya. Maka semakin dalam ia mempelajari tentang diri sendiri, maka semakin mudah pula ia menemukan Tuhannya.
“Dan apabila hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang aku, maka jawablah sesungguhnya aku dekat.” (Al-Baqarah : 186).
Pembatalan Haji
Pandemi lagi-lagi mengacaukan struktur ibadah umat. Masalah Kesehatan yang menjadi syarat haji kian diperdebatkan dalam proses keberangkatan. Maka melalui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, pemerintah resmi meniadakan pemberangkatan haji di tahun 2021. Keputusan ini mengundang reaksi keras dari masyarakat, termasuk tokoh ulama ikut urun suara.
Pro-kontra yang terjadi di media maya menjadi perkara yang mengkhawatirkan. Selain efek kebencian, pertengkaran itu juga memunculkan berita-berita bohong yang kian massif beredar. Polemik haji dimanfaatkan sebagai momentum mendulang keuntungan dengan cara menyebar berita hoaks. Salah satu berita hoaks yang laris terdengar adalah pembatalan pemberangkatan haji di tahun 2021 karena kehabisan kuota.
Penyebaran berita hoaks sejatinya telah mengingkari esensi dari haji itu sendiri. Kita bisa belajar dari hajar aswad yang diletakkan di Kabah. Dalam batu hitam itu, manusia dihadapkan pada dua pilihan yang saling berseberangan. Maka secara bersama-sama, kebenaran Tuhan akan bisa ditemukan apabila mereka memilih bersekutu denganNya. Bukan dengan raja, orang-orang kuat, orang-orang yang memiliki harta berlipat, atau orang-orang munafik. Bersekutulah dengan Allah swt dan perolelehlah kebebasanNya (Q.S. al-Fatih: 10).
Apabila manusia lebih memilih kejahatan untuk memperoleh keuntungan, sesungguhnya mereka telah bersekutu dengan orang yang memiliki harta. Mereka menduakan Tuhan atas persekutuan yang dilakukan. Mereka terjebak dalam halusinasi duniawi hingga terpesona dengan kemewahan-kemewahan dunia. Dan benar, esensi haji telah diingkari, diganti dengan keuntungan yang mereka pikir akan ada selamanya.
Mengembalikan Esensi Haji
Meskipun haji di tahun 2021 dibatalkan, namun esensi dari haji itu sendiri tidak bisa langsung dihilangkan. Haji mengandung ikatan emosional kuat, yang bisa digunakan sebagai kekuatan menuju kesatuan. Sudah menjadi tugas ulama dan umara untuk membimbing umat mendalami esensi haji meskipun mereka tidak melakukannya.
Ulama adalah orang yang memiliki pemahaman luas akan ilmu agama. Dan umara adalah seseorang yang bisa membuat kebajikan dalam memastikan kemaslahatan. Antara kebijakan dan ilmu, bisa dipadukan menjadi satu kekuatan besar dalam pengembalian esensi haji. Perpaduan keduanya menjadi solusi alternatif dalam konsep hijrah.
Tentunya, kisah Abdullah bin Mubarrok yang mendapatkan pahala haji tanpa melakukannya bisa diulang dengan pendalaman esensi. Kunci dari semua itu ada pada kesabaran dan keteladanan atas ritual haji. Secara serius memaknai setiap gerakan; ihram, tawaf, sa’i dan gerakan lain, akan mengantarkan seseorang menjadi manusia sejati. Semua itu bisa dibantu dengan gerakan sinergi antara ulama dan umara. Melakukan terobosan aplikatif yang mampu mengarahkan umat ke arah yang lebih baik. Menggerus kejahatan dan terus menebar kebaikan di alam semesta.
https://alif.id/read/mnfz/dua-tahun-haji-dibatalkan-yuk-belajar-lagi-esensi-ibadah-haji-b238371p/