Saat banyak cendekiawan maupun intelektual dalam kurun waktu antara bulan Mei – Agustus 2020 melahirkan sederet polemik perihal sains, filsafat, dan pandemi, sosok Nirwan Ahmad Arsuka tak mau ketinggalan untuk sekadar berbagi pemikiran dan gagasannya atas banyak hal yang terjadi dalam ilmu pengetahuan. Polemik yang melibatkan sederet nama tokoh seperti Goenawan Mohamad, F. Budi Hardiman, Taufiqurrahman, Ulil Abshar Abdalla, A. S. Laksana, Hasanudin Abdurakhman, Fitzerald Kennedy Sitorus, Farid Gaban, Budi Munawar Rachman, dan lainnya itu kemudian terekam dalam bunga rampai berjudul Polemik Sains: Sebuah Diskursus Pemikiran (Divapress, 2021).
Kita mengenal Nirwan sebagai sosok yang menaruh minat kajian terhadap perkembangan dalam ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama, dan literasi. Salah satunya saat tahun 2015, ia didaulat untuk menyampaikan gagasannya dalam pidato kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kala itu, ia menyampaikan sebuah naskah cukup panjang dengan judul “Percakapan dengan Semesta”. Lewat ceramah tersebut, Nirwan mengajak para pembaca menelusuri lorong-lorong ilmu pengetahuan secara mendalam. Ia menyampaikan bahwa yang terpenting dalam sains adalah lahirnya dialog, bukan monolog.
Tulisnya, sains (pengetahuan ilmiah) adalah bentuk tertinggi dan paling intim percakapan antara nalar dan semesta raya seisinya. Ia juga membawa pada penjelajahan akan lanskap ilmu pengetahuan yang ada di Nusantara, salah satunya menyinggung naskah I La Galigo, sebuah cakrawala pengetahuan yang terdapat di daerah Bugis. Hal itu tentu saja sebagai upaya Nirwan dalam memperkenalkan khazanah pengetahuan yang ada di dalam tradisi Nusantara. Seakan juga ia ingin menegaskan bahwa orang Nusantara tak bisa diragukan akan kepandaiannya.
Ia kemudian membawa pada perkembangan dari waktu ke waktu akan apa yang terjadi dalam sains. Khususnya adalah ketika mulai fajar abad ke-XX dengan hadirnya sebuah momentum di mana Hadiah Nobel untuk pertama kalinya diberikan kepada ilmuwan/wati yang memberikan dedikasi atas teori maupun gagasannnya dalam peradaban kehidupan. Kita tahu, Hadiah Nobel tidak lain merupakan bentuk utang rasa atas wasiat seorang ahli kimia dan penemu dinamit dari Swedia, Alfred Nobel yang memberikan kekayaannya sebagai penghargaan kepada ilmuwan yang memberikan jasa atas ilmu pengetahuan yang digelutinya.
Bagi Nirwan, masa itu merupakan masa di mana ilmu pengetahuan semakin radikal dan revolusioner. Di kalangan saintis, teori bukanlah sebuah hal yang ketika dibantah memerlukan upaya untuk membawa kepada meja pengadilan hijau. Saintis tak boleh mengenal istilah bawa perasaan atau baper. Melainkan dari itu, memang menjadi hakikat dalam ilmu pengetahuan. Yang dituju adalah perihal menyusun metode ilmiah yang lengkap, utuh, dan sempurna. Sains memiliki tugas untuk terus membongkar fenomena maupun peristiwa yang terjadi dalam hamparan alam semesta.
Karier dan Aktivitas Lain
Selain sebagai seorang yang bergiat dalam kajian sains, Nirwan merupakan pegiat literasi. Hal itu dilakukannya salah satunya berupa ia termasuk salah satu pendiri Pustaka Bergerak Indonesia yang mana menjadi jaringan pegiat literasi di Indonesia dalam menjalankan tugas pemberdayaan dan kegiatan sosial lainnya dengan wadah pada taman bacaan masyarakat yang ada di berbagai daeerah di Indonesia. Kerja seperti itu pastilah memerlukan sebuah ketekunan, ketangguhan, dan kesabaran dalam mewujudkan masyarakat secara kolektif untuk menumbuhkan semangat dalam tradisi literasi.
Pengalamannya dalam aktivtas itu setidaknya ia tuangkan di dalam bukunya berjudulkan Semesta Manusia (Penerbit Ombak, 2018). Buku tersebut merekam seratus dua tulisan Nirwan dalam perjalanan kariernya. Di buku itu kita misalkan menemukan esai Nirwan dengan judul “Pustaka Bergerak: Berbagi Rasa Merdeka”, tentang realitas minat baca di kalangan masyarakat yang sebenarnya bukan terletak pada daya dan kemampuan membaca, melainkan dari itu perihal akses dan ketersediaan bahan literasi. Diutarakan olehnya dalam kalimat berikut:
“Tidak banyak anak di Indonesia yang beruntung memiliki orang yang bersedia meluangkan waktu menemani mereka membaca, dan mau bergerak memburu anak-anak sekalipun suplai bacaan masih sangat terbatas. Jumlah pemburu memang belum banyak, tapi kehadiran dan kerja mereka itu nyata. Mereka muncul di berbagai sudut, dan tidak jarang mereka bekerja secara mandiri, dengan modal sendiri. Mereka bergerak membangun budaya baca tulis dengan menggunakan sepeda, kuda, becak, montor, bendi, perahu, atau bahkan kaki mereka sendiri.” (Nirwan Ahmad Arsuka, 2018: 724).
Ijtihad tersebut tentu menjadi oase di tengah tantangan perubahan zaman khususnya dalam generasi anak muda. Pada revolusi teknologi dan informasi yang kian pesat, masih ada sosok yang memberikan perhatiannya dengan meluangkan waktu untuk mengakomodir sumber daya manusia—relawan tiap daerah untuk membaca realitas di sekitar bahwa masih banyak orang yang belum mendapatkan akses membaca secara luas. Mereka perlu didatangi dan terus diajak untuk membuka diri terhadap luasnya cakrawala pengetahuan.
Nirwan tentu menjadi sosok penting yang terus memberikan energi dan waktunya untuk perjalanan bangsa ini dalam membangun tradisi literasi dan budaya bernalar ilmiah. Sosok tersebut yang perlu menjadi perhatian bersama sebagai teladan dalam memahami berbagai realitas yang ada di dalam kehidupan ini. Ia telah berjuang dengan segala daya dan upaya. Bung Nirwan, selamat jalan.[]
Baca Juga
https://alif.id/read/joko-priyono/nirwan-ahmad-arsuka-literasi-dan-nalar-ilmiah-b248112p/