Perihal Penistaan Agama

Munculnya berbagai fatwa yang dilahirkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memengaruhi hukum-hukum positif di negeri ini. Meskipun tidak sampai menjadi produk hukum, fatwa-fatwa tersebut mampu memengaruhi proses penegakan hukum.

Misalnya, pada 1984 MUI pernah mengeluarkan rekomendasi tentang hal-hal mendasar perihal perbedaan Sunni dan Syi’ah. Rekomendasi tersebut memang tidak terang-terangan menyatakan Syi’ah sebagai ajaran sesat, namun di tahun 2012 lalu, MUI Sampang mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Syi’ah, tanpa berkonsultasi dengan MUI Pusat. Tiga minggu kemudian, MUI Jawa Timur juga mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Syi’ah.

Akibatnya, sekitar 200 keluarga Syi’ah di Sampang terusir dari kampung halamannya, terpaksa harus mengungsi ke Gedung Olahraga Sampang. Pada Juni 2013, pemerintah setempat memaksa masyarakat Syi’ah Sampang pindah dari pengungsian mereka ke Sidoarjo, sekitar 113 kilometer dari Sampang. Fenomena tersebut justru membuat Menteri Agama RI pada waktu itu (Suryadharma Ali) memihak fatwa MUI dan menyalahkan Syi’ah, serta menyatakan mereka telah menyimpang dari ajaran Islam (tersesat).

Syafiq Hasyim dalam bukunya, “Kebebasan Berekspresi dalam Islam” (2023) menyatakan, bahwa penentuan aliran sesat di Indonesia bukan berdasarkan teori hukum Islam, melainkan lebih pada politik identitas. Sebab, jika kita hendak mengacu kepada “Risalah Amman”, jelas dinyatakan bahwa berdasarkan konsensus dunia Muslim, Syi’ah adalah bagian sah dari umat Islam.

Kasus penodaan agama

Pada 2010 lalu, di Pakistan muncul peristiwa yang cukup menyita emosi warganya, yakni kasus Asia Bibi. Ia seorang petani di daerah Punjab, yang suatu kali menolak air minum yang ditawarkan tetangganya, karena si tetangga beragama Kristen. Maka, terjadilah percekcokan hingga berujung ke jalur hukum. Kemudian, akibat tekanan massa yang marah, pengadilan tinggi Pakistan menjatuhkan hukuman gantung kepada Asia Bibi. Lalu, karena sengitnya percekcokan itu, membuat Asia Bibi kemudian terjerat ke dalam pasal penghinaan dan penodaan terhadap agama Islam.

Gubernur Provinsi Punjab, Salman Taseer berusaha menengahi agar Asia Bibi dimaafkan dan memulai upaya reformasi hukum. Namun naas, pada 2011 Taseer justru ditembak mati oleh pengawalnya sendiri, yang menganggapnya “murtad” karena telah membela Asia Bibi. Pengawal itu akhirnya diadili dan dihukum mati, karena pembunuhan tersebut. Namun kemudian, masyarakat Pakistan terbelah menjadi dua kubu, antara mereka yang menuduhnya pengkhianat dengan mereka yang menyebutnya sebagai martir (mati syahid).

Peristiwa di atas terjadi akibat adanya undang-undang penodaan agama di Pakistan. Satu-satunya menteri beragama Kristen, Shahbaz Bhatti di kabinet pemerintah Pakistan, membela    Asia Bibi dan melakukan perlawanan terhadap undang-undang penodaan agama. Akibatnya, dia sendiri dibunuh dengan 70 kali tembakan bersarang di seluruh tubuhnya.

Setelah menjalani hukuman beberapa tahun di penjara, Asia Bibi akhirnya memenangi peradilan banding di Mahkamah Agung Pakistan. Keputusan itu kemudian menjerumuskan negara itu ke dalam krisis politik. Demi keselamatannya, Asia Bibi beserta keluarganya hengkang meninggalkan Pakistan, ke negeri Kanada.

Pada kenyataannya, belum pernah ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi memerintahkan membunuh orang karena dia seorang murtad atau kafir. Dalam ayat Alquran (QS 18:29) ditegaskan, “Katakanlah (Muhammad), kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa menghendaki beriman, hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki kufur, biarlah dia kufur. Sungguh Kami menyediakan neraka bagi orang-orang jahat yang gejolaknya mengepung mereka.”

Jadi, ayat tersebut sama sekali tidak menyatakan adanya hukuman duniawi atas kekafiran maupun kemurtadan, melainkan sebatas ancaman azab yang pedih di akhirat. Selain itu, dalam ayat lain juga berikut dinyatakan: ”Maka (Muhammad), berilah peringatan karena sungguh engkau hanyalah pemberi peringatan.” (QS 50:43).

Menurut Syafiq Hasyim, baik surah Makkiyah maupun Madaniyah, bahkan ayat paling terakhir diwahyukan sekalipun, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad hanya diutus untuk memberi panduan dan peringatan. Karena itu, bagaimana mungkin seseorang memiliki mandat yang lebih besar daripada Nabi? Lalu, bagaimana dengan hukum penodaan agama? Adakah nash tertentu yang dapat menjadi landasan fikihnya?

Istilah penodaan dan pelecehan (sabb) muncul dua kali dalam Alquran, yaitu dalam ayat berikut ini: “Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah secara berlebihan, tanpa memiliki dasar pengetahuan.” (QS 6:108).

Dalam opini kompas.id, “Takhayul dan Dampak Kolonialisme” (20 Oktober 2021), kiai NU dari Banten, Chudori Sukra menggambarkan novel Paradise karya Abdulrazak Gurnah, yang mewartakan suku pedalaman Tanzania ketika menolak agama monoteisme (Islam dan Kristen), sambil memaki-maki penganut Islam berikut Allah sebagai Tuhannya orang Islam. Perlawanan kepala suku yang mengobarkan kebencian terhadap ajaran monoteisme (keesaan Tuhan) dinarasikan secara gamlang oleh sang peraih nobel kesusastraan itu: “Dengan mata kuning dan penuh amarah, orang-orang itu terlatih untuk memburu orang Islam. Jika kau paham gonggongan amarahnya, mereka itu sedang mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai daging para penyembah Allah. Karena itu, bawakan daging orang Islam untukku, dan aku akan menyantapnya hingga habis.”

Namun demikian, dalam sejarah Islam tak pernah ada orang yang dihukum mati karena penodaan dan penistaan terhadap agama tertentu. Hukuman mati atas Ka’ab bin Asyraf dilakukan setelah terbukti dirinya melakukan fitnah besar-besaran terhadap Nabi, serta mengobarkan perang dan permusuhan di antara kaum muslimin di Madinah. Ka’ab adalah seorang penyair yang dikenal sering menghina Nabi, ajarannya, dan simbol-simbolnya. Dengan keahliannya berbahasa Arab, dia menggunakan kemampuan linguistiknya untuk mengadu-domba, bahkan terlibat aktif untuk merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad.

Jadi, pada prinsipnya, kasus penodaan yang terjadi pada waktu itu terkait erat dengan aktivitas peperangan. Dengan kata lain, penista yang dimaksud sedang mengobarkan perang terhadap Nabi dan kaum muslimin.

Bagaimana di Indonesia?

Kasus Asia Bibi (Pakistan) yang diuraikan di atas, sama sekali bukan sebagai pihak yang mengobarkan perang dan adu-domba. Demikian pula dengan fenomena Syi’ah, Panji Gumilang, Ulil Abshar Abdalla hingga Nurcholis Madjid di negeri ini. Latar belakang mereka amat kompleks, dan sangat terkait dengan perbedaan perspektif, kelas, kasta, mazhab yang bersengkarut dengan konsep-konsep keagamaan.

Untuk itu, pemerintah harus cermat mendukung para ulama, tokoh pesantren, maupun cendekiawan yang mumpuni, hingga kemudian semakin berani dan terampil menentukan kebijakan yang adil. Persoalan penistaan dan penodaan agama ini membutuhkan penilaian dan penalaran teologis, historis, dan penjelasan hukum di balik undang-undang negara, agar dapat membuka wawasan masyarakat yang lebih kritis dan konstruktif.

Dalam beberapa dekade terakhir, kasus-kasus kemurtadan dan penodaan dalam Islam terus bermunculan. Kasus-kasus tersebut sering menimbulkan kegaduhan, kekisruhan, dan bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang. Akhir-akhir ini, kita dipertontonkan oleh hanya satu kasus di Al-Zaytun, yang sebenarnya menyangkut akar permasalahan yang kita hadapi sehari-hari di lingkungan kita sendiri. Sampai kapan kita menyaksikan kasus serupa terulang kembali dalam berbagai varian yang berbeda?

Hendaknya pemerintah lebih jelas menentukan hukum atas penistaan dan penodaan agama, meskipun tidak layak dipakai untuk membungkam pemikiran kritis yang menyudutkan kelompok tertentu (minoritas), baik bagi mereka yang beragama Islam maupun non-muslim.    Pada momentum menjelang pemilu 2024 ini, janganlah hukum itu dipakai sebagai argumen bagi kepentingan segelinitr elit, yang dari kodratnya selalu memanfaatkan kebodohan dan kedangkalan sebagai komoditas politik belaka. (*)

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/eor/perihal-penistaan-agama-b248123p/