(Peradaban Pengetahuan Haji dan Kisah-kisahnya; Bag.1)
Ibadah haji sebagai sebuah pergerakan umat manusia yang
rindu kembali ke keadaan fitrah ruhaninya kadang disebut Rihlah Ruhaniyyah. Fitrah ruhani sebuah peradaban rabbaniyah awal
dimana manusia diciptakan lengkap dengan tujuannya sebagai khalifah fil ardh. Al Quran menggambarkannya sedemikian rupa. Tentu,
makna khalifah fil ardh tak
sesederhana memaknainya dengan gairah dan gelora politik serampangan yang
menuntut tegaknya khilafah kemarin lalu. Soal ini, kajiannya dan penafsiran
naqliyahnya, harus berdiri sendiri—tidak dalam soal pembahasan ibadah haji,
rukun islam yang keliman ini.
Ibadah haji, termasuk umrah disini, secara khas disebut nusuk ( N-S-K), dan tata cara atau
kaifiyah-nya yang disebut manasik. Ibadah
lainnya, terutama yang masuk kedalam rukun Islam, tetap disebut ibadah saja;
misalnya Ibadah Sholat, Ibadah Puasa.
Kaum muslim diwajibkan menunaikan ibadah haji hanya sekali
dalam hidupnya, sebagaimana disebutkan dalam QS Alu Imran ayat 97. Dalam sebuah
hadis riwayat Abu Hurairah, saat khutbah perintah wajib haji disampaikan oleh
Rasulullah SAW; “Wahai manusia.
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” Seketika
lalu ada pertanyaan dari salah seorang sahabat yang mendengarkan;
“Apakah setiap tahun
Ya Rasulallah?”
Rasulullah terdiam. Hingga pertanyaan itu diulang tigakali
oleh sahabat ini. Setelah itu Rasulullah menjawab, “Sekiranya kukatan ‘Ya’,
maka akan menjadi wajib tiap tahun dan kalian tidak akan sanggup melakukannya.”
Lalu rasulullah menghimbau sahabat jangan banyak bertanya atas apa yang sudah
diperintahkan, lakukan saja..” Karena kaum sebelum terlalu banyak
mempertanyakan perintah syariat agamanya sehingga berselisih sampai dekat
kepada kehancuran. Mereka adalah kaum Yahudi.
Dari hadis ini disepakati ulama bahwa Haji hanya wajib
sekali saja dalam seumur hidup. Syarat sah haji hanya ada dua, yakni pertama ia
seorang muslim dan kedua waktu pelaksanaanya sudah tiba/sesuai (miqat zaman). Tetapi
syarat wajib haji dalam fiqih yang masyhur ada lima, yakni: Islam, balig,
berakal, merdeka, dan mampu melaksanakannya—dalam hal ini mampu mengadakan
perjalan dan perbekalan.
Dalam menafsirkan “mampu” (Istitha’) Syekh Syamsuddin Abdillah
Muhammad bin Qosim Asy-Syafii, menambahkan syarat wajibnya menjadi delapan; yakni:
Islam, balig (sudah dewasa dan mukallaf), berakal sehat, merdeka, ada bekal dan
tempat, dan kendaraan serta keadaan jalan (rute haji) aman.
Memang “mampu” di sini jika dipahami menjadi luas, tidak
hanya berarti mampu secara intrinsik (ada pada diri) juga pada keadaan dan
waktu (ekstrinsik). Seseorang mampu menempuh perjalanan berkat bekal yang
cukup, tetapi kendaraan tidak ada, atau jalan rutenya tidak aman (ada perompak
kalau haji zaman dulu pakai kapal, atau cuaca buruk atau ada terror penerbangan),
maka ini termasuk tergolong tidak ada “kemampuan” dalam melaksanakan wajib haji.
Seperti sekarang, pademi virus corona masih belum reda,
seluruh dunia masih terhalang beraktivitas normal, kegiatan ekonomi sepi berkurang,
mobilitas dunia hampir mati, banyak negara menderita warganya jatuh korban
karena Covid-19, tentu ini menjadi ‘Illat (alasan) gugurnya kewajiban haji. Tidak
hanya gugur bagi orang per orang (individual) tetapi sudah “menjamaah”
(communal) atau senegara. Sehingga wajar apabila pemerintah KSA (Kerajaan Saudi
Arabiah) menghentikan agenda manasik haji tahunan, dan calon jamaah haji negara
Indonesia salah satunya menjadi gagal berangkat.
Apakah berdosa, sementara sudah mampu berangkat, tabungan dana
haji sudah cukup, sudah disetor? Apakah pemerintahnya berdosa dan dholim menghalangi calhaj pergi ke tanah
suci? Tentu jawaban secara fiqih di atas sudah menjawab semua pertanyaan ini. Fahimtum?
[bersambung]
https://www.arrahmah.co.id/2021/06/musim-haji-yang-selalu-dinanti.html