Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa bercerita soal kepemimpinan adalah berbicara soal cerita si pemimpin itu sendiri. Bila cerita itu semakin mendapat tempat dan perhatian dari masyarakat luas, itu berarti cerita itu semakin berkarakter. Dengan begitu, semakin tangguh kepemimpinan dari sang pemimpin tersebut.
Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan kepemimpinan sosok Gus Dur. Sudah menjadi maklum bersama kalau Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selama hayatnya memiliki cerita yang banyak menyita masyarakat. Entah cerita yang lucu, aneh, hingga tidak masuk akal sekalipun.
Sebagai seorang santri yang tulen seperti pada umumnya, Gus Dur pun pernah melewati fase menghafal alfiyah, mengaji kitab kuning hingga membalikan terompahnya kyai. Agaknya menjadi cucu dari tokoh besar tidak otamatis membuat Gus Dur silau dengan kebesaran sanad. Ia tidak memilih istilah yang kita kenal dengan aji mumpung. Mumpung keturunan orang besar, bisa duduk santai tanpa mau mengeluarkan peluh. Gus Dur tidak demikian, ia belajar dan melewati proses yang sedemikian panjang. Puncaknya adalah ketika ia terpilih menjadi Presiden. Sebuah keluarbiasaan tersendiri.
Sebelum menjadi Presiden, sekira tahun 1998 Gus Dur pernah menggelar Open House pada bulan ramadhan hingga pertengahan ramadhan di kediamannya, Ciganjur, Jakarta Selatan. Pada tahun-tahun tersebut, tampak jelas jurang kesenjangan yang menganga antara penguasa dan masyarakat sipil. Kalau boleh kita bayangkan, penguasa dengan masyarakat layaknya satu tepi pantai ke pantai lainnya. Terlampau jauh. Dihadapan pemerintah atau penguasa baik di pusat maupun daerah masyarakat sipil dibuat jengah dengan peraturan-peraturan birokrasi yang serba kaku dan prosedural. Proses ini mengakibatkan menguatnya negara atas masyarakat.
Menguatnya sistem birokrasi pemerintah yang serba prosedural dan kaku tersebut pada gilirannya dapat menjadi alat politik yang paling efektif untuk merekayasa masyarakat. Fakta ini telah melemahkan kekuasaan masyarakat yang kenyataannya kekuasaan sudah lebih dulu dikangkangi oleh birokrasi pemerintah. Istilah ini dapat kita kenal dengan sebutan bureaucratic polity. Istilah Bureaucratic Polity mula-mula diperkenalkan oleh Riggs untuk menjelaskan situasi politik di Thailand pada tahun 1960-an yang lalu konsep ini digunakan oleh Karl D. Jackson dalam konteks Indonesia. Menyoal Bureaucratic Polity paling tidak dapat dikenali dengan tiga hal pertama penguasa yang didominasi oleh birokrasi, kedua melemahnya lembaga politi seperti partai dan ketiga massa diluar pemerintahan adalah pasif. Atau dalam ungkapan lain dapat kita sebut dengan kuatnya cengkeraman negara atas rakyat melalui pelaksanaan birokrasi
Gus Dur Menemani Rakyat
Kehadiran Gus Dur dengan Open House tersebut adalah cara tersendiri untuk mencairkan situasi yang sudah terlanjur serba kaku. Walhasil gelaran open house itu kedatangan ribuan orang, Gus Dur bertatap muka langsung dan kurang lebih menjawab 936 pertanyaan. Masyarakat datang dari segala penjuru dan bermacam latar belakang. Tidak sedikit yang mereka adukan seperti soal keserakahan Orba, kebejatan pejabat, pongahnya penguasa, perpolitikan hingga terjunnya moral.
Tertutupnya pemerintah menyebabkan terjadinya rasa saling curiga satu sama lain. Seolah suara-suara rakyat lenyap dibalik tebalnya dinding birokasi. Sistem pemerintahan terjebak dalam laku yang kaku dan tertutup. Proses demokratisasi tidak lagi dipahami sebagai proses demokrasi melainkan lebih dipahami dengan pembentukan intitusi sendiri. Segala apa yang berada diluar pemerintahan dianggap orang lain. Padahal, jika mau jujur sebetulnya penguasa ataupun pemimpin dan pada gilirannya adalah pemerintah itu datang dari rakyat. Jadi untuk apa berpongah diri.
Dalam suasana yang serba beku begini, Gus Dur dengan Open Housenya hendak mencoba mencairkan hubungan rakyat dengan pemimpin. Gus Dur tengah meretas pola komunikasi yang kental dengan aturan main dan birokrasi, Gus Dur mensilakan diri untuk mendengarkan keluhan masyarakat secara leluasa. Rakyat diberi jalan untuk didengarkan dan semuanya yang hadir didengarkan dengan tekun dan sabar. Inilah makna terpenting dari acara open house yang Gus Dur lakukan.
Selain itu open house yang digelar Gus Dur tampaknya hendak melenyapkan kesumpekan masyarakat yang memuncak. Dengan datangnya ribuan tamu ke kediaman Gus Dur adalah tanda sebuah kejujuran masyarakat atas rindunya kedekatan sosok pemimpin, rindu pemimpin yang jujur menemani rakyat tanpa embel-embel kepentingan dibaliknya. Demikian makna penting lainnya dari open house tersebut. Cerita Gus Dur yang egaliter dan terbuka atas apapun kiranya menjadi perlu bagi pemimpin di era kekinian. Era dimana tampaknya sangat sulit membedakan mana yang benar-benar tulus menenami rakyat atau hanya sekadar laku belaka.
Referensi buku: Gus Dur Siapa Sih Sampeyan: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Ngatawi al-Zastrow & Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, kumpulan esai Abdurrahman Wahid di harian Kompas.
Baca Juga
https://alif.id/read/aia/pemimpin-yang-menemani-rakyat-b248141p/