Laduni.ID, Jakarta – Sejarah Bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh peran para bapak pendiri bangsa. Mereka adalah kader terbaik bangsa Indonesia yang telah mempertaruhkan segalanya dalam rangka mewujudkan negara yang merdeka dan berdaulat.
Kemerdekaan dari para penjajah adalah semangat semua bangsa. Tidak ada pembenaran sama sekali atas tindakan penjajahan di muka bumi ini, dengan mengatasnamakan apapun.
Kemerdekaan yang telah berhasil direbut bukan tanpa tantangan. Justru setelah merdeka, persiapan yang akan dihadapi ke depan dalam membangun sebuah bangsa adalah tugas berat yang disadari oleh para pendiri bangsa. Menyadari bahwa Bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbabagai latar belakang yang berbeda dan sangat heterogen itu tidak mungkin bisa mewujudkan cita-citanya jika tidak dilandasi dengan persatuan. Dan persatuan ini tentu menuntut banyak kompromi dalam berbagai hal yang perlu disepakati bersama.
Awal mula ketika para pendiri bangsa berkumpul dan berunding dalam merumuskan Pancasila, semuanya telah berusaha sepenuhnya dalam menemukan titik temu di antara kesepakatan-kesapakatan yang dirumuskan. Dalam hal ini rumusan Pancasila yang telah disepakati dan disertakan dalam Piagam Jakarta ternyata menimbulkan sedikit gesekan.
Redaksi awal Piagam Jakarta mengenai sila pertama dalam Pancasila adalah adanya tujuh huruf yang berbunyi: “…dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeloek-pemeloeknja…”
Sebelumnya penulisan itu telah disepakati bersama oleh semua anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) saat itu. Namun, belakangan muncul protes dari sebagian perwakilan tokoh dari Indonesia Timur yang menuntut untuk dihapuskannya tujuh kata tersebut. Dari sini kemudian sebagian tokoh Islam dan Nasionalis berunding kembali terkait tuntutan itu.
Moh. Hatta meyakinkan bahwa penghapusan itu bukanlah satu hal fatal, sebab tidak menghapuskan kata ketuhanan sama sekali. Demikian juga yang disampaikan oleh Soekarno yang menegaskan bahwa satu hal paling penting terlebih dahulu adalah persatuan, sebab rumusan tersebut dalam satu waktu bisa saja diamandemen melalu mekanisme yang disepakati bersama. Sedangkan Wahid Hasyim, saat itu yang mewakili dari kalangan Islam mempertimbangkan konsekwensinya.
Kebuntuan dalam perundingan tersebut membuat Wahid Hasyim merasa perlu untuk “sowan” ayahnya, Hadaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di Jombang.
Pada dasarnya rumusan dasar negara yang memuat rumusan pancasila di dalamnya itu, tidak lain adalah mendukung kepentingan bersama. Dan kepentingan bersama ini menjadi prinsip terdepan untuk membangun sebuah persatuan.
Semua hal terkait dengan piagam Jakarta telah diceritakan oleh Wahid Hasyim kepada ayahnya. Lalu dikisahkan bahwa dalam menanggapi hal ini, Kiyai Hasyim melakukan tirakat puasa selama tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an. Saat itu, setiap membaca Surat Al-Fatihah sampai pada ayat, “iyya Ka na’budu wa iyya Ka nasta’in” , Kiyai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali.
Setelah puasa tiga hari, Kiyai Hasyim Asy’ari melakukan shalat Istikharah dua rakaat. Dalam rakaat pertama, beliau membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali. Sedangkan dalam rakaat kedua, beliau membaca Surat Al-Kahfi sebanyak 41 kali juga. Kemudian beliau melanjutkan istirahat. Dan sebelum tidur, Kiyai Hasyim Asy’ari membaca ayat terkahir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali.
Paginya, Kiyai Hasyim Asy’ari memanggil putranya, Wahid Hasyim, dengan mengatakan bahwa rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta dengan penghapusan tujuh kata (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dan digantikan dengan kalimat, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” merupakan konsep ketauhidan yang sudah sesuai dengan syariat Islam.
Kisah-kisah di balik layar seperti itu mungkin tidak banyak diterima oleh orang lain. Namun, bagi masyarakat Islam kalangan Nahdliyin adalah sebuah isyarat akan perjuangan lahir batin para ulama dalam mendukung konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berperan aktif di dalamnya. Dan tidak heran betapapun kerasnya perbedaan pendapat mengenai hal ini, tetapi kelak Pancasila akan tetap menjadi pemersatu bangsa Indonesia, karena semua ini merupakan anugerah dan ridho dari Allah SWT. []
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 31 Mei 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Ahmad Muwaffiq (Gus Muwafiq). Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.
Editor: Hakim