“Tetapi ketika itu, matahari Jepang dalam peperangan jang sudah nampak tjondong,” kalimat mengenai nasib Jepang di Indonesia menjelang 1945. Kalimat ditulis Hamka dalam buku berjudul Kenang-Kenangan Hidup (1951). Ingatan ditulis dalam kalimat, berlum berjarak jauh dari masa pendudukan Jepang: 1942-1945.
Hamka bercerita tokoh-tokoh menghendaki Indonesia mulia. Mereka dalam lembaga-lembaga dibentuk dan dipengaruhi Jepang. Mereka bergerak di luar perintah-perintah Jepang. Pelbagai siasat dan jalan untuk tak mutlak mematuhi Jepang. Dunia sedang guncang. Perang menghasillkan menang dan kalah. Indonesia dalam penentuan nasib.
Hamka mengisahkan para tokoh dan bahasa: “Kata-kata merdeka, kata-kata perssatuan adalah mendjadi semangat jang dibawa mereka…” Pada setiap peristiwa bersandiwara dengan pihak Jepang, para pempimpin memiliki kata-kata untuk menuju Indonesia merdeka. Beredar seruan dan selebaran mencantumkan kehendak: “Kemerdekaan Indonesia 100%”.
Pada masa 1940-an, Hamka adalah pengarang dan pendakwah. Ia pun besar dalam penerbitan majalah. Sosok berpengaruh mendapat “pengawasan” dari Jepang. Hamka terus berdakwah dan meumbuhkan kesadaran politik. Pada situasi sering tak jelas, Hamka menggagas agama dan kehendak memuliakan Indonesia.
Hamka berada di Sumatra. Kita mengutip bandingan situasi di Jawa melalui tulisan pendek A Wahid Hasjim di Asia Raya, 11 Mei 1945. Ia menulis: “Dari pihak resmi beberapa oesaha dan persiapan kearah itoe telah digalang. Akan tetapi oesaha-oesaha dan persiapan itoe tidak tjoekoep disamboet dengan oetjapan terima kasih sadja. Sebaliknja, disamping utjapan terima kasih itoe, kita oemmat Islam Indonesia haroes menjiapkan dan memboelatkan tenaga kita sendiri goena memiliki kemerdekaan itoe.”
Para pemimpin di Indonesia mengucapkan pidato dan membuat tulisan. Mereka kadang tersurat atau tersirah untuk menghadirkan pesan-pesan. Bahasa digunakan dengan kemahiran agar tak terjebak dalam penghukuman politik dan kebingungan. Mereka sadar kata-kata membawa gagasan tanpa memicu kemarahan Jepang.
Ikhtiar-ikhtiar untuk terus berdakwah dan membentuk Indonesia kadang berisiko besar. A Wahid Hasjik memiliki cara terhubung dengan para pemimpian dan umat Islam. Di buku berjudul KH Wahid Hasjim (1983) susunan Sutjianingsih , kita membaca penjelasan ikhtiar pada masa pendudukan Jepang: “Selanjutnya untuk kepentingan perjuangan, KH A Wahid Hasjim menerbitkaan suatu majalah yang diberi nama Soeara Moeslimin Indonesia. Di samping ia sendiri sebagai pemimpinya, majalah tersebut juga memuat karangan-karangan pemimpin Islam lainnya. Mereka antara lain KH A Mockthi, RH Adnan, Asa Bafaqih, HM Dahlan, A Bahri, HM Mochtar, M Saleh Suardi, Abdullah Aidit, Saifuddin Zuhri, Kasman H, M Zain Jambek, dan lain-lain.
Di samping majalah Soeara Moeslimin Indonesia, KH A Wahid Hasjim juga membentuk Badan Propaganda Islam yang anggota-anggotanya giat berbicara baik di corong-corong radio maupun rapat-rapat umum.” Kita mengerti tulisan dan ucapan menentukan capaian-capaian dalam pemeliharaan iman dan berseru Indonesia. Mereka mengerti tatapan-pengawasan Jepang tapi mampu terhindar dari marah dan penghukuman.
Di tempat berbeda, Hamka dilanda kebingungan dan berhasrat mewujudkan beragam misi. “Maulah diri djadi ‘gila’ lantaran ketjilnja tempat bermain, padahal tidak sepadan dengan kebesaran tjita-tjita,” kenang Hamka berlatar masa pendudukan Jepang. Ia pun sempat membesarkan harapan saat mendapat surat dari Soekarno untuk bergabung di Jawa, meninggalkan Medan. Hamka menganggap Soekarno itu “pemimpin besar”.
Hamka berharapan sampai ke Jawa. Ia mengingat diri bergejolak: “Akan menambah pengetahuan agama dan memperdalamnja. Akan bergaul dengan pemimpin-pemimpin jang besar-besar. Patut! Sebab tanggung djawab di Medan dirasanja tidaklah pakaiannja! Dia hendak ke Djawa. Djadi pengarang, jadi penjair, djadi guru. Sementara itu kurang terfikir olehnja bahwa kesengsaraan hidup orang di Djawa jang disaksikannja dengan mata kepalanja sendiri djauh lebih hebat dari di Medan. Dia hendak mengadjar agama kepada mahasiswa-mahasiswa.” Situasi hidup memang tak keruan. Keinginan sering berbelok atau tak mewujud. Nasib menjadi pertaruhan.
Pada suatu hari, ia menggubah puisi. Di hadapan M Sjafei dan AR Sutan Mansur, puisi itu dibacakan: Kupandang kekiri, tegak Merapi tinggi mendjulang/ Kupandang kekanan, gagah perkasa Sri Singgalang/ Dibawah kakiku terhampar ngarai hebat dan curam// Kampung teratak, ladang dan huma/ Bagai diatur djeram menjeram// Langit biru, awan berarak dipinggir bukit/ Murai berkitjau, ajam berkokok sahut bersahut/ Wahai, indahnja tumpah darahku/ Kampung halaman/ Disana hatiku, disana tjintaku tetap terpaut/ Aku berdjandji ja Illahi/ Menumpah bakti// Aku tak tahu, entah dimana njawa melajang/ Entahlah hilang, entah terbilang/ Entah dibumi tubuhku hantjur/ Entah tenggelam kedasar laut// Walau bak mana nasibmu tuan/ Tanah airku/ Namun engkau tetap kubela, tetap kutjinta/ Dari hajatku sampai kumaut.
Ceramah, artikel, atau selebaran menjadikan beragam gagasan terketahui umat. Semua belum memadai. Puisi turut hadir dan menggerakkan kemauan memuliakan Indonesia. Kita mengandaikan puisi itu menempuhi jalan kecil, tak terlalu dianggap memberi bara dan ledakan.
Kita sejenak menengok masa lalu melalui puisi-puisi terhimpun dalam buku berjudul Gema Tanah Air (1948) dengan editor HB Jassin. Kita menemukan puisi-puisi terus ditulis dan hidup setelah kolonialisme berakhir. Puisi masih bergerak setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Puisi-puisi setelah 1945 mengesankan corak berbeda dari bujukan mengumbar propganda dan tipuan berselubung keindahan.
Kita memilih puisi berjudul “Gambar Hidup” gubahan Samiati Alisjahbana. Situasi Indonesia sudah berubah. Sengsara masih ada tapi hiburan dan kemauan mengubah nasib terus diwujudkan. Samiati (1948) mengisahkan: Ruang besar/ Tiap kursi rapih berderet/ mesin diatas teratur putar/ Tapi hawa panas djua!/ Langkah manusia tergesa/ masuk ruang ini/ mentjari tempat baik sendiri. Tahun-tahun setelah orang-orang terhindar dari film-film buatan Jepang dalam propaganda perang. Dulu, film dipilih untuk mematuhkan dan memerintah Indonesia. Pada situasi berbeda, film atau “gambar hidup” itu hiburan.
Samiati melanjutkan: Gambar dimuka belum djuga dimulai/ Hawa panas makin mentjekik/ Duduk tak senang, diubah/ Tak sabar// Ini manusia mentjari permainan gambar hidoep/ Tak tahu, nanti waktu pikiran suram masih/ gambar hidup ini selesai sudah. Film itu berbeda dari lakon hidup dialamai keseharian. Indonesia belum makmur. Manusia-manusia di Indonesia masih gelisah dan dirundung gejolak-gejolak pelik dalam politik. Begitu.
Baca Juga
https://alif.id/read/bandung-mawardi/1945-sebelum-dan-setelah-b248150p/