Haji sebagai Duta Islam : Peradaban Haji dan Kisah-kisahnya
(Peradaban Pengetahuan Haji dan Kisah-kisahnya; Bag. 2)
Baginda Nabi saw. pernah bersabda, “Duta
Allah itu ada tiga: orang yang terlibat perang (di jalan Allah), orang yang
beribadah haji dan orang yang berumrah.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Kenapa orang yang berperang di jalan
Allah disebut “Duta Allah”?
Jelas dalam fiqih perang (fiqih qital) banyak sekali aturan-aturan
yang harus ditaati oleh seorang mujahid Islam; seperti tidak boleh membunuh
anak kecil, perempuan, orang jompo lansia, merusak tanaman pokok, merusak
kota/gedung, dll. Sehingga perang dalam Islam itu tidak boleh menghancurkan. Karena
sejatinya perang ialah “jalan lain” menegakkan kebenaran dan keadilan dengan
penuh rahmat. Begitu seharusnya. Bukan seperti menebar terror, meledakkan
masjid atau rumah ibadah orang lain, apalagi meledakkan diri sendiri
(istimata), atau bom bunuh diri. Tentu yang demikian ini telah menista “nama
baik” Allah dan kemuliaan ajaran-ajaran Islam.
Orang yang berperang dengan demikian,
tentu ia telah gagal menjadi “Duta Allah”. Seperti ISIS dan
sempalan-sempalannya itu tidak pantas mengemban syiar Islam dan keagungan
kalimatullah.
Duta yang lain? Mereka yang naik haji
atau melaksanakan manasik Umrah. Kenapa? Karena ketika seorang muslim telah
menjadi tamu Allah di Baitullah dan melakukan rihlah suci lainnya ke tempat
syiar-syiar Islam seperti sai (lari kecil) antara bukit Shafa – Marwa, wuquf di Arafah, mengunjungi Maqom Ibrahim, Hijir Ismail, minum zamzam, berziarah ke Maqbarah
Suci baginda Nabi Muhammad SAW, itikaf di masjid nabawi atau berdoa di Rauddhah—atau
mengunjungi tilas-tilas sejarah kebesaran Islam lainnya (yang sebagian besar
berusahan dihapuskan oleh para Dhulama,)—itu semua moment ia sedang menjadi “Duta
Allah”.
Kelak setelah pulang ke negerinya,
pulang kampung, ia akan tetap menjadi “Duta Allah” hingga memperoleh predikat Haji Mabrur, yaitu orang yang akan terus
berkhabar tentang keagungan kota suci Makkah Madinah, Baitullah Ka’bah; syirah keluarga
Nabi Ibrahim as yang penuh teladan. Termasuk semua pernak-pernik dan kronik Islam
lainnya di tanah Arab.
Seorang haji secara otomatis akan
terkhotam (terstempel) sebagai pengembang syiar Islam di kampung, di negerinya
kelak. Karena itu, pada zaman Kolonila Belanda, di Nusantara para peziarah naik
haji didata dan “distempel” HAJI. Karena umumnya, mereka mengobarkan
pemberontakan kepada kaum kapih-kapih
Belanda. Awalnya gelar “Haji” dari pemerintah kolonial itu untuk memonitor aktivitas pergerakan orang-orang yang pulang dari tanah suci. Tapi, lambat laun itu dipoles menjadi status sosial– elit baru di kampung.
Di Utara Jakarta, dulu ada satu pulau dari gugusan pulau-pulau kecil, Pulau Onrust, tempat dijadikannya karantina bagi pemudik haji. Mereka didata ulang dicek tak hanya kesehatannya tapi kewarasannya menurut kacamata pemerintah Hindi-Belanda.
Di Jeddah juga, tak lepas dari
pendataan dan pengawasan. Snock Hourgronye adalah salah satu ilmuwan Belanda
yang antara lain ditugaskan untuk “memata-matai” Bumi-putra naik haji. Kemana saja
dia singgah, menginap di tempat siapa, bergaul dengan siapa; dan yang
terpenting ia belajar apa saja di sana.
Kadang, orang naik haji itu sendiri
memang duta utusan penguasa lokal Islam untuk menjalin silaturahim ke amir-amir
di tanah Hijaz (sebelum jazirah direbut dan dikuasai Saud). Di Tanah Sunda
Banten, Sultan Ageng Tirtayasa pertama kali mengirim Utusan Haji, pada 1671,
yakni putranya sendiri bernama Sultan Abdul Kahar. Ia diminta menghadap Sultan
Mekkah sambil menunaikan ibadah haji, lalu setelah meneruskan perjalanan ke
Turki Utsmani.
Sejumlah kerajaan Islam seperti Aceh,
yang memiliki hubungan khas dengan Hijaz bahkan sampai saat ini menjadi klan
terhormat di kalangan Saudiyyah, Kesultanan Banten dan Mataram mengirimkan
utusan hajinya sebagai pertalian hubungan politik diplomatik. Sepulang berhaji,
utusan-utusan ini mendapat gelar “sultan” dari Syarif Mekkah, penguasa tanah suci—yang
biasanya masih keturunan dzurriyyat baginda
Nabi SAW.
Dalam naskah Carita Parahiyangan,
tercatat seorang pemeluk Islam putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta
Jayadewabrata raja Kerajaan Galuh Ciamis. Ia yang bernama Bratalegawa pada
tahun 1337, menjadi orang pertama naik haji dari Galuh. Pangeran Bratalegawa
ini berprofesi sebagai saudagar sehingga kerap berlayar ke Sumatera, Cina,
India, Srilanka, Persia (Iran sekarang), hingga tentu ke negeri Arab Hijaz. Ia menikahi
seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad, diduga perempuan
ini bukan perempuan biasa bila sudah disunting pangeran Sunda. Sepulang dari
naik haji, ia digelari Haji Purwa.
Mereka semua adalah “Duta-duta Allah”
dan duta-duta negerinya. Anda ingin mejadi duta Allah? Mari perbaiki diri
dengan akhlaqul karimah.
https://www.arrahmah.co.id/2021/06/haji-sebagai-duta-syiar-islam.html