Orang dusun itu sudah pasti NU. Bukan NU struktural. Tetapi NU kultural. Tandanya jelas, sering menyelenggarakan kegiatan tahlilan. Mulai dari rutinan setiap malam Jum’at sampai mendoakan orang meninggal 3, 7, 40, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari. Bahkan, ketika banyak warga dusun yang secara struktural masuk di Muhammadiyah, tahlilan tetap dilaksanakan. Anehnya, hal tersebut tak menimbulkan perpecahan. Warga akur-akur saja.
Di dusun saya, NU kultural mendorong terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Ada sebuah wilayah di dusun saya yang sering digunakan untuk mabuk-mabukan, mengundang biduan yang lebih menonjolkan tubuh alih-alih suara, bahkan berjudi.
Entah bagaimana ceritanya warga yang rumahnya digunakan untuk kegiatan tersebut mewakafkan sepetak tanahnya untuk warga dusun. Wakaf tanah tersebut dimanfaatkan untuk pembuatan musholla. Orang-orang NU kultural menemani pembuatan musholla, mulai dari kenduri dalam rangka berdoa supaya pembangunan lancar sampai musholla jadi, bahkan sampai sekarang masih awet mengisi musholla dengan berbagai kegiatan.
Warga yang tadinya mabuk-mabukan, suka mengundang biduan, bahkan berjudi ikut kegiatan musholla. Mulai dari belajar membaca Al-Qur’an ba’da Maghrib sampai rutin tahlilan setiap malam Jum’at. Juga rutin mengikuti mujahadah dan pengajian rutin tiap selapan (35 hari) sekali.
Kegiatan-kegiatan yang tadinya berorientasi kepada kemaksiatan hilang begitu saja. Menariknya orang-orang tersebut menjalaninya dengan senang hati. Terbukti tak ada perlawanan apa-apa atas inisiatif pembuatan musholla. Juga tak ada protes apa-apa tentang kegiatan rutin yang diadakan oleh musholla. Bahkan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang dilaksanan pengurus musholla secara konsisten. Saya yakin hal-hal semacam itu juga terjadi di berbagai wilayah.
Untuk aktif di sebuah organisasi dalam artian menjadi anggota resmi seringkali banyak yang tidak mau. Kelihatannya orang-orang banyak yang malas dengan berbagai tetek bengek hal-hal formalnya. Tetapi tidak jarang orang memilih berada di luar organisasi. Tetapi banyak mengamalkan ajarannya.
Dan saya kira, kendati orang-orang NU kultural ini tak ikut organisasi secara resmi dan seringkali sekadar menjadi penggembira di acara-acara besar NU, justru merekalah yang menghidupkan NU di akar rumput. Oleh karenanya NU kultural ini adalah salah satu bagian penting dari besarnya NU itu sendiri.
NU itu sangat kompatibel dengan kehidupan dusun. Karena bisa menyatu dengan tradisi. Dakwahnya tidak membuang begitu saja kearifan lokal. Tetapi merangkulnya. Dijadikan bagian tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri.
Dan itu, saya kira bukan bermaksud menambah-nambahi ajaran Islam sebagaimana yang dituduhkan orang-orang Salafi-Wahabi. Itu sekadar strategi dakwah. Bukankah positif jika ritual-ritual yang sebelumnya diisi dengan bukan ajaran Islam kemudian di dalamnya diganti dengan ajaran Islam? Lagi pula tak ada satupun ibadah wajib yang diubah, ditambahi atau dikurangi.
Bahkan, tradisi-tradisi seperti tahlilan bisa menumbuhkan hal-hal positif lainnya. Misal, tumbuhnya rasa gotong royong, kesadaran bersedekah, berkembangnya rasa empati.
Tapi kan kegiatan seperti itu semua memberatkan orang yang berduka? Kalau Anda orang kota dan tidak terbiasa dengan kegiatan itu jangan komentar dulu. Karena memang tidak ketemu logikanya.
Karena tradisi itu sudah mengakar, warga dusun punya kesadaran yang ajaib. Umumnya warga-warga dusun menyumbang makanan atau bahan makan, bahkan uang ketika ada orang berduka. Di rumah duka warga dusun tanpa disuruh langsung menempatkan diri menjalankan sesuatu yang biasanya dilakukan. Yang biasanya bersih-bersih halaman langsung bersih-bersih halaman. Yang biasanya bikin tenda langsung bikin tenda. Yang ngurus jenazah langsung ngurus jenazah. Dan itu semua terlaksana tanpa ada yang nyuruh. Sudah otomatis.
Dari keadaan tersebut jelas. Dakwah dan gerakan NU kultural tidak lagi berjarak dengan masyarakat. Tetapi sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Tidak berlebihan bukan kalau NU kultural ini disebut sebagai motor perubahan masyarakat dusun?
Baca Juga
https://alif.id/read/dani-ismantoko/nu-kultural-motor-perubahan-masyarakat-dusun-b248176p/