Cinta (al-ḥubb); istilah yang sedemikian menyehari, namun sekaligus paling paradoks yang pernah terujar ke dalam struktur linguistika manusia. Boleh jadi, pada mulanya hanyalah letupan-letupan hasrat di pebatinan manusia, namun banyak diekspresikan ke dalam pelbagai bentuk tindakan di pelbagai tradisi, bahkan diungkapkan dalam caranya yang paling remeh, melankolis, puitis, hingga anarkis.
Sementara di medan-medan diskursus, khususnya tradisi kesufian Ibn ‘Arabi, istilah cinta (al-ḥubb) sendiri bertaut dengan persoalan absensia (al-ma’dūm)—katakanlah sebagai aktualitas yang tak pernah benar-benar purna-paripurna. “Cinta bertaut sedemikian lekat dengan kehendak seseorang, serta tidak berelasi dengan hal apapun selain ketiadaan,” demikianlah Ibn ‘Arabi dalam teks Al-Futūḥāt Al-Makiyah mengilustrasikan watak ‘ontosofis’ dari istilah yang tak pernah benar-benar terrengkuh seutuhnya secara definitif.
Selain oleh sebab—pertama-tama—lebih lekat dengan pergumulan rasa di masing-masing pebatinan manusia daripada struktur logis bahasa definitif, pelibatan absensia dalam tradisi kesufian Ibn ‘Arabi saat memaknai cinta dilandaskan pada struktur intensionalitas kesadaran atau kehendak manusia (al-irādah).
Pelibatan absensia dalam wacana cinta Ibn ‘Arabi menyiratkan persoalan mendasar tentang watak intensionalitas kesadaran kesufian dalam menandai makna cinta. Wacana absensia yang bertaut erat dengan term nothing (al-‘adam) menjadikan persoalan cinta mengandaikan kompleksitas ontosofisnya tersendiri yang cenderung mendorong munculnya keresahan, ketakutan, bahkan terror, serta kebingungan eksistensial dalam benak manusia, baik pada tataran logis maupun retoris.
Seperti halnya istilah infinity (ke-takberhingga-an) yang diselidiki sedemikian spekulatif dalam tradisi filsafat dan agama, istilah absensia juga di hadapkan pada persoalan serupa. Secara konseptual, term tersebut dapat membawa seseorang pada posisi intelektual (baik logis maupun retoris) yang mustahil dilampaui, oleh sebab dirinya sendiri tidak lagi serta merta menjadi ukuran segala sesuatu secara definitif. Selain bahwa wacana absensia problematis secara logis karena muncul dari tindakan afirmatif atas negativitas absensia, tidakan afirmatif juga cenderung merubah term tersebut menjadi entitas positif; sebagai something. Tak ayal, tidak sedikit yang mencurigai bahwa persoalan absensia merupakan pseudo-statement: tidak benar maupun salah, melainkan semata pernyataan semu nir-makna.
Persoalan absensia dianggap sebagai wacana berbahaya yang diperbincangkan sedemikian liar, bergerak dari tepian batas konsep dan wacana, cenderung membongkar gagasan tentang keteraturan, kepastian, dan kepatuhan, bahkan memporak-porandakan struktur logika dan retorika—yang itu berarti tanpa batas, di luar kendali, juga tidak rapi. Lain pada itu, secara psikologis keduanya merusak serta mengancam batas-batas pengalaman manusia—berikut upaya reflektif atas setiap tindakan konseptualisasi atas pengalaman tersebut.
Ketakutan atas raibnya kepastian telah mendorong manusia untuk menolak ide tentang absensia. Aristoteles, misalnya, filsuf yang terlibat dalam proses mengklasifikasi, menyusun, serta menganalisis struktur realitas ke dalam pelbagai kategori, objek, kausa, dan atribut, menganggap bahwa penyelidikan tentang ketiadaan merupakan horror vacui; semacam penyakit berbahaya, kegilaan, bahkan horor tak terperikan.
Dalam pengertian, reaksi filsuf Yunani kuna terhadap kehampaan yang dicirikan oleh kegelisahan, ketakutan, dan kengerian tersebut muncul dari penolakan psikologis atas wacana absensia. Lebih dari itu, penyelidikan atas term absensia juga dianggap oleh banyak saintis sebagai contoh dari kesalahan metode, karena biasanya dituduh sebagai kondisi raibnya pemahaman tentang cara kerja kuantifikasi logis, atau kegagalan dalam mengidentifikasi acuan referensial dari term tersebut. Pada titik inilah paradoks cinta yang diandaikan dalam tradsisi kesufian Ibn ‘Arabi bermula.
Jika beberapa tradisi cenderung menolaknya, absensia justru menjadi momen perayaan manusia atas cinta; bahwa dalam ketidakmungkinannya untuk direngkuh secara definitif melalui upaya-upaya logis, cinta senantiasa terus dihadirkan dalam keseharian manusia—sebagai proyeksi eksistensial yang tertandai sedemikian rupa dalam horizon waktu.
Pada titik ini pula, melalui bukunya, Minanur Rohman berusaha menyingkap makna paling menyehari dari istilah cinta yang ditelisik melalui tradisi kesufian Ibn ‘Arabi, tanpa kehilangan pertautannya dengan sesuatu yang Ilahi. Minanur Rohman membetot persoalan cinta dari perbincangan metafisis, kemudian melekatkannya ke dalam horizon pengalaman eksistensial yang sangat menyehari.
“Demi Allah, bukankan ini (cinta) sesuatu yang eksotik, hingga siapapun yang berupaya mendefinisikannya, sesungguhnya ia tak pernah mengenalnya,” begitulah kira-kira Ibn ‘Arabi mengandaikannya.
Baca Juga
https://alif.id/read/ffp/cinta-wujudiyah-ibn-arabi-merayakan-absensia-dalam-cinta-b248273p/