Jika dulu ada ajang kompetisi cerdas cermat, bisa dibilang sosok Hindun binti Utbah lah yang memiliki peluang besar untuk memenangkannya. Bagaimana tidak, di kalangan wanita Quraisy, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan multi-talenta. Pribadinya tangguh dan pemberani, jauh berbeda dengan perempuan-perempuan lain di sekitarnya. Tidak hanya itu, ia pun pandai bersyair dan fasih berbicara. Sebagai orator ulung, ia bahkan didapuk sebagai pengobar semangat perang dari kaum Quraisy.
Keterlibatannya dalam perang sendiri bukan terjadi secara spontan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh dendam akan kematian anggota keluarganya pada perang Badar. Dalam peperangan yang berlangsung sangat sengit itu, kaum musyrikin yang terpukul harus kocar-kacir menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Merasa tak berdaya, mereka akhirnya melarikan diri dari medan perang. Di satu sisi, kekalahan mereka menelan banyak korban. Sekitar tujuh puluh orang Quraisy tewas, dan tujuh puluh lainnya ditawan.
Di antara korban yang meregang nyawa adalah Utbah, Syaibah, dan Walid bin Utbah. Secara berturut-turut mereka merupakan ayah, paman, dan saudara dari Hindun. Kehilangan orang-orang terdekatnya membuat Hindun tersulut emosi. Ia yang tak terima dengan takdir naas para anggota keluarganya lalu berpikir keras untuk menyusun rencana pembalasan dendam bagi umat muslim dan Rasulullah. Siang malam, ia memutar otak agar dapat menemukan cara terbaik untuk dapat membalaskan kematian orang-orang yang ia sayangi.
Hingga suatu hari, seorang hamba sahaya bernama Wahsyi dihadapkan pada Hindun. Melihat Wahsyi, Hindun pun sontak mendapatkan ide cemerlang: ia mendorong Wahsyi untuk menuntaskan dendam yang merasuk dalam dadanya. Berkali-kali ia memanas-manasi dengan uraian kalimat-kalimatnya yang membuai.
Tak luput, ia juga menjanjikan berbagai hadiah dan imbalan, termasuk memerdekakannya jika Wahsyi berhasil membunuh salah satu target utama kaum Quraisy dalam perang datang, yakni Rasulullah dan Paman Nabi, Hamzah. Di depan mata Wahsyi, Hindun menyodorkan banyak barang berharga miliknya: dari anting-anting hingga kalung emas yang berhiaskan permata. Semua itu ia janjikan itu menjadi hak milik mutlak Wahsyi bila ia sanggup memenuhi target yang Hindun berikan.
Iming-iming yang menggiurkan dari Hindun, membuat Wahsyi bersemangat mengikuti perang Uhud. Selama pertempuran, ia hanya fokus menuntaskan dendam Hindun. Diincarnya Paman Nabi, Hamzah yang berada di barisan depan. Namun, ia tak langsung begitu saja berhadapan face to face dengan Hamzah. Ia mengintainya dalam beberapa waktu hingga Paman Nabi berada dalam kondisi terdesak dan tak memiliki pelindung yang bisa membantunya dengan sigap.
Ketika melihat Hamzah yang agak lengah, Wahsyi dengan sergap menghantamkan tombaknya ke badan paman Nabi. Akibat serangan tersebut, Hamzah bin Abdul Muthalib pun tak kuasa melawan. Ia yang berusaha berjalan mendekati Wahsyi, justru rubuh dan meninggal seketika. Kematian Paman Nabi pun disikapi dengan suka cita oleh Kaum Quraisy. Mereka sangat berbahagia karena telah memukul telak umat muslim.
Kesenangan tak terkira itu juga menghampiri Hindun, ia merasa telah melampiaskan dendam atas kematian keluarganya. Usai menjadi bagian dari kemenangan Kaum Quraisy, Hindun tak langsung berpuas hati. Dalam beberapa waktu berikutnya, ia masih saja mengobarkan narasi kebencian kepada Islam. Namun, ternyata hidayah Allah justru memeluknya ketika peristiwa Fathu Mekah.
Dalam pembukaan kota Mekah, Hindun yang terkesima oleh kaum muslimin yang menyembah Allah kemudian tergerak hatinya untuk berbaiat pada Rasul. Keterbukaan hatinya itu bahkan sempat mengagetkan suaminya, Abu Sufyan yang tak menyangka kekerasan hati istrinya terhadap Islam bisa melunak seketika.
Mendengar keterkejutan suaminya, Hindun membalas, “Demi Allah, sungguh aku belum pernah melihat Allah disembah dengan sebenar-benarnya di masjid ini selain pada malam tadi. Demi Allah, mereka tidak tidak bermalam di dalamnya, melainkan dengan mengerjakan salat seraya berdiri, ruku’, dan sujud.”
Setelah memeluk Islam dan berbaiat kepada Rasul, Hindun menjadi muslimah yang ahli ibadah. Tak tampak lagi pribadinya yang memusuhi Islam. Hidupnya menjadi terang ketika solat dan puasa menjadi kebiasaan baru yang ia senangi untuk dikerjakan. Sepanjang hidupnya hingga wafat, ia terus memegang janji dan tiap isi bai’atnya kepada Nabi.
Bahkan dalam perang Yarmuk, Hindun mampu memaksimalkan kecerdasannya berorasi untuk memotivasi tentara Muslim yang hampir menyerah melawan pasukan Romawi. Melihat beberapa orang yang terdesak mundur, ia tak segan untuk berteriak lantang kepada mereka, ”Kalian mau lari ke mana? Kalian melarikan diri dari apa? Apakah dari Allah dan surga-Nya? Sungguh, Allah melihat yang kalian lakukan!”
Melihat ketegasannya dalam mendorong daya juang umat Islam, tentu kita tak pernah menyangka bahwa sebelumnya ia pernah berada di posisi sebaliknya. Ia yang dulunya mencaci maki Islam dan Rasul, justru berbalik memperjuangkan agama Allah dengan sekuat tenaga. Hal ini tentu membuktikan bahwa sesungguhnya hidayah Allah adalah sebuah misteri. Kita tak patut memberikan penghakiman bahwa orang yang membenci Islam akan terus bermaksiat terus padaNya, sebab sama seperti batu yang terus ditetesi air, seiring waktu sekeras apapun batu itu, air akan melunakkannya.