Pada tahun 2016, publik geger dengan pemberitaan mengenai kasus sianida yang menyebabkan tewasnya Wayan Mirna Salihin. Setelah menjalani 32 kali persidangan, akhirnya Jessica Kumala Wongso yang merupakan sahabat karib Mirna, ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan dan dijatuhi hukuman selama 20 tahun penjara. Setelah tujuh tahun berlalu akhirnya kasus sianida ini kembali mencuat di mata publik berkat satu film dokumenter yang berjudul “Ice Cold”. Film ini ditayangkan melalui platform Netflix pada 28 September 2023.
Belum satu minggu penayangannya, film ini telah berhasil memunculkan “keraguan” publik terhadap benar tidaknya Jessica sebagai pelaku pembunuhan itu. Skeptisnya publik terlihat dari munculnya berbagai komentar di ruang-ruang media sosial. Kenyataan ini sangat berbanding terbalik dari tujuh tahun yang lalu, dimana hampir semua masyarakat menghakimi dan menghujat Jessica sebagai pembunuh.
Meskipun film “Ice Cold” mencoba berimbang dalam membingkai footage-footage peristiwa tersebut secara kronologis, namun terlihat bahwa tujuan film dokumenter ini adalah untuk mendorong publik untuk mempertanyakan kembali kasus yang sudah berlalu tujuh tahun yang lalu ini. Framing dibentuk dari footage-footage yang berisi hasil wawancara sineas dengan orang-orang terdekat Mirna, seperti ayah, adik, jaksa penuntut, pengacara, dan saksi-saksi yang turut serta mendukung maupun memberatkan Jessica di persidangan. Layaknya sebuah film, adegan klimaks dalam “Ice Cold” terlihat saat petugas sipir di penjara menghalangi wawancara yang berlangsung antara sineas dengan Jessica.
Reaksi publik terhadap film ini begitu besar. Film ini memiliki tanggapan publik yang sangat positif. Di ruang sosial media, netizen kembali mempertanyakan keputusan hakim terhadap Jessice dengan menampilkan berbagai kejanggalan yang berkaitan dengan kasus ini. Selain itu, Jessica tidak lagi dianggap sebagai tersangka; sebaliknya, dia dianggap sebagai korban dari keputusan hakim yang salah. Di ruang publik, banyak kritik dan permintaan untuk hakim mengangkat kasus ini lagi. Mereka yang semula menyalahkan Jessica sekarang mendukungnya dan bersimpati dengannya; beberapa bahkan mengatakan bahwa ayahnya Mirna adalah pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Di Indonesia masa penjajahan, film dokumenter memang telah digunakan sebagai media propaganda oleh pemerintahan Hindia Belanda. Film dokumenter Hindia Belanda ditujukan sebagai penyambung lidah penguasa dalam menyampaikan kebijakan mereka. Visi kolonial dan pembentukan memori kolektif turut serta ditampilkan dalam film dokumenter buatan Belanda tersebut. Namun Dewasa ini pengertian film dokumenter lebih luas. Semua jenis film yang bukan film cerita disebut dokumenter, termasuk film biografi ataupun dokudrama.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bagaimanapun, film dokumenter juga melalui proses pembingkaian dan dituntut untuk memenuhi hasrat akan fiksi dari penontonnya, seperti halnya kasus Mirna Solihin yang dibingkai secara rapi di dalam film Ice Cold ini. Proses pembingkaian ini nantinya turut serta dalam mengungkap propaganda seperti apa yang ingin disampaikan oleh sebuah film dokumenter karena sebenarnya bak mata uang, film dokumenter dan propaganda memang dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Propaganda dalam film ini memang tidak terlalu kelihatan jelas, tetapi film berdurasi satu jam dua puluh enam menit ini telah berhasil menghidupkan kembali ingatan publik tentang kasus yang paling kontroversial di negara ini. Apakah gegernya publik ini akan mengubah keadaan juga? Di masa mendatang, persidangan Jessica mungkin akan diulang. Mungkin pada akhirnya orang yang tidak disangka-sangka akan dijatuhi hukuman. Semua kemungkinan pasti ada. Dan jika itu benar, dapat disimpulkan bahwa propaganda dalam film Ice Cold berhasil pada akhirnya.
Baca Juga
https://alif.id/read/cns/ice-cold-dan-bangkitnya-ingatan-publik-pada-sianida-b248383p/