Biografi Teungku Fakinah: Ulama Perempuan Pendiri Dayah (Pesantren) dan Panglima Perang Aceh

Daftar Isi Teungku Fakinah

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Perjalanan Dakwah Beliau
3.2  Perjuangan dan Jasa Beliau
4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir

Teungku Fakinah lahir tahun 1856 M di Desa Lam Diran, Kampung Lam Beunot (Lam Krak). Beliau adalah keturunan bangsawan dari jalur sang ayah, yaitu Teungku Asahan (Datu Mahmud). Sedangkan ibu beliau, Teungku Fathimah (Cut Mah), adalah salah satu putri seorang ulama besar bernama Teungku Muhammad Saad atau Teungku Chik Pucok.

1.2 Riwayat Keluarga
Teungku Fakinah menikah dengan seorang perwira dan juga ulama ternama Teungku Ahmad. Pada tahun 1872 M. Setelah beliau menikah dengan Teungku Ahmad, beliau berdua memimpin pusat pendidikan dayah di Lam Pucok yang didirikan oleh orang tua Teungku Fakinah tidak hanya untuk laki-laki, tetapi juga perempuan.

1.3 Wafat
Teungku Fakinah meninggal pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M di Kampung Beuha Mukim Lam Krak pada usia 75 tahun.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Sejak kecil, Teungku Fakinah belajar ilmu pengetahuan agama, terutama tentang baca-tulis Al-Qur’an dari kedua orang tua beliau. Beliau juga belajar memahami berbagai kitab di Dayah Lam Krak sampai berumur 20 tahun. Hal tersebut membuat  beliau menjadi seorang gadis yang alim. Selain itu, Teungku Fakinah juga belajar menjahit, sulam, membuat kerawang sutra dan benang emas (kasap).

Tidak begitu banyak penjelasan tentang perjalanan intelektual Teungku Fakinah. Namun, dilihat dari latar belakang keluarga beliau yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama, menjadi sebuah petunjuk bahwa pendidikan beliau banyak dihabiskan di lingkungan keluarga beliau sendiri yang berasal dari kalangan ulama. Hal tersebut karena Teungku Fakinah lahir dari pasangan  keluarga yang mempunyai gelar Teungku. Selain itu, dari pernikahan beliau dengan seorang ulama sekaligus panglima perang juga membantu beliau dalam menjadi seorang ulama.

2.1 Guru-guru

  1. Teungku Asahan / Datu Mahmud (ayah),
  2. Teungku Fathimah / Cut Mah (ibu),
  3. Teungku Syekh Muhammad Saad.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Teungku adalah sebutan untuk ulama bagi masyarakat Aceh, dan seseorang dapat disebut teungku ketika telah melewati belajar di dayah atau rangkang yang jauh dari tempat kelahiran. Seseorang tidak menjadi teungku dengan hanya belajar agama di tempat kelahiran saja, namun beliau harus berangkat dari satu dayah ke dayah yang lain untuk memperoleh ilmu dari guru beliau.

Bahkan, kalau memungkinkan, beliau juga berangkat ke Tanah Suci Makkah dalam rangka mendalami ilmu agama. Hal tersebut dikarenakan dalam praktik sosio-kultural yang ada di Aceh, secara tradisional memang menuntut laki-laki untuk belajar yang dikenal dengan tradisi merantau atau jak u timo (pergi ke timur), yang berarti meninggalkan desa untuk belajar atau bekerja di tempat lain. Untuk menjadi seorang ulama, belajar di dayah yang jauh dari rumah merupakan sebuah proses yang harus dilewati, baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Di Jawa, praktik ini disebut santri kelana, sementara di Aceh dikenal sebagai meudagang, istilah yang awalnya berarti ‘belajar’, tetapi juga menyiratkan “menjadi orang asing dengan melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain.” Sekarang, baik anak laki-laki maupun perempuar aktif terlibat dalam meudagang. Bahkan, beberapa dayah di Aceh memiliki jumlah siswa perempuan yang lebih banyak dari laki-laki.

Ulama memegang peranan penting dalam Masyarakat Aceh, baik dalam bidang sosial maupun agama. Bahkan, di beberapa tempat, ulama juga berperan dalam bidang politik. Mereka sering kali dijadikan sebagai tempat bertanya, berkonsultasi, mencari solusi, dan juga nasihat.

Di Indonesia, khususnya di kalangan Muslim, kedudukan ulama sangat dihormati dan dikeramatkan, bahkan simbol-simbol kesucian sering diberikan kepada mereka.

Dalam sejarah sosial masyarakat Aceh, sering dijumpai ungkapan teungku agam (guru pengajian yang laki-laki) dan teungku inong (guru pengajian yang perempuan). Kedua kelompok guru pengajian tersebut merupakan hasil pemahaman dan praktik sosio-kultural.

Mereka adalah hasil pendidikan formal atau non-formal lembaga-lembaga keagamaan, seperti dayah yang berkembang di Aceh secara turun-temurun. Setidaknya, terdapat dua istilah berbeda yang biasanya digunakan untuk perempuan pemimpin dayah di Aceh: teungku inong (ulama perempuan) dan inong teungku (istri seorang ulama).

Teungku inong adalah wanita yang memperoleh posisi dan otoritas melalui personal, bukan karena menikah dengan ulama. Sebaliknya, teungku inong adalah istilah yang mirip dengan nyai dalam konteks Jawa. Namun, istilah nyai bisa juga merujuk pada istri atau anak perempuan seorang kyai.

3.1 Perjalanan Dakwah Beliau
Peran dan perjuangan Teungku Fakinah dalam melawan penjajah bukan hanya melalui perlawanan fisik saja. Sebab, sejak tanggal 21 Mei 1910 M, atas permintaan Teuku Panglima Polem, Teungku Fakinah diminta untuk pulang kembali ke kampung halaman beliau dan membuka kembali dayah atau pesantren di Beuha (Lam Krak). Sejak saat itulah, selain usaha fisik dalam peperangan, Teungku Fakinah berperan sebagai ulama dan pemimpin pesantren.

Beliau membangun pesantren kembali yang porak-poranda akibat peperangan dan beliau beri nama Dayah Lam Diran (Pesantren Lam Diran). Pembangunan dayah pada tahun 1911 M bermula dari musyawarah seusai turun dari gerilya menuju gampong (gampong adalah tingkat pemerintahan terendah atau kampung (Pemerintah Desa) di Kerajaan Aceh Darussalam).

Sejak tahun 1911 M, Teungku Fakinah kembali ke Lam Krak dan membuka kembali dayah, yang mendapat sambutan baik dari masyarakat umum. Dalam pembangunan pesantren ini, banyak pihak dengan secara sukarela mengeluarkan zakat dan sumbangan pribadi sehingga pembangunan ini berjalan dengan lancar. Setelah dayah ini berdiri, banyak yang berdatangan dari berbagai penjuru Aceh, seperti halnya seluruh pelosok tiga segi Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie dan Samalanga, terutama janda-janda dan gadis-gadis untuk belajar mengaji ke Lam Krak.

Begitu besarnya simpati masyarakat terhadap daya yang didirikan oleh Teungku Fakinah, membuat dayah tersebut setiap harinya banyak dikunjungi oleh tamu-tamu dari luar Lam Krak, Dan, banyak yang datang untuk mengantar sumbangan sosial biaya hidup bagi murid-murid di dayah sehingga murid-murid yang belajar di dayah tersebut, selain menerima kiriman dari orang tuanya, juga menerima bantuan dari masyarakat umum.

Tahun 1914 M, Teungku Fakinah berkeinginan untuk menunaikan rukun kelima (naik haji). Sebab, dalam tradisi masyarakat Aceh, keulamaan seseorang semakin kuat jika mereka telah menunaikan ibadah haji. Namun, sebelum berangkat ke Tanah Suci, Teungku Fakinah terlebih dahulu mencari mahram beliau. Akhirnya, beliau menikah dengan seorang yang bernama Ibrahim, yang merupakan suami yang ketiga. Bulan Juli 1915 M, Beliau berangkat menuju Tanah Suci Makkah. Di Makkah, Teungku Fakinah menumpang di rumah wakaf Aceh, Jalan Kusya Syiah yang diurus oleh Syekh Abdul Gani yang berasal dari Aceh Besar.

Selesai melaksanakan ibadah haji, Teungku Fakinah masih menetap di Makkah untuk menuntut ilmu pengetahuan sekaligus memperdalam ilmu figh kepada Teungku Syekh Muhammad Saad yang berasal dari Peusangan. Kuliah yang diberikan oleh guru-guru beliau dilakukan di dalam Masjidil Haram Makkah. Selama tiga tahun berada di Makkah untuk memperdalam ilmu, ketika memasuki tahun ke-4 di Makkah, suami beliau, Ibrahim, meninggal dunia di Makkah. Maka pada tahun 1918 M, Teungku Fakinah kembali ke Aceh.

Setibanya di Lam Krak, beliau disambut dengan meriah oleh murid-murid beliau, dan ketika itulah Teungku Fakinah memimpin kembali dayah yang selama ini ditinggalkan, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang dituntut di Makkah kepada murid-murid beliau.

3.2 Perjuangan dan Jasa Beliau
Dalam melawan penjajah tidak bisa dilupakan begitu saja. Sebagai seorang perempuan, Teungku Fakinah mampu menjadi seorang panglima perang sekaligus menjadi seorang ulama perempuan. beliau bukan hanya melawan penjajah yang ingin menguasai Aceh, tetapi juga berperan penting dalam mendidik masyarakat Aceh dan mengobarkan semangat perlawanan untuk melawan penjajah.

Melalui pesantren yang didirikan beliau, Teungku Fakinah memberikan pengaruh yang besar bagi perlawanan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Dan, secara tidak langsung, usaha Teungku Fakinah juga memperkuat keagamaan rakyat Aceh agar tidak terpengaruh dengan berbagai pengaruh dari para penjajah sehingga rakyat tetap teguh membela agama dan bangsanya.

Sebab, mobilisasi kekuatan oleh ulama dianggap sangat penting karena mempunyai posisi dominan dalam masyarakat. Selain memiliki unsur-unsur cendekiawan, pemuka agama, pahlawan, dan ulama juga menjadi bagian penting dari pusat jaringan kekuasaan yang relatif berhasil memimpin masyarakat secara efektif.

Ketika Hindia Belanda melancarkan agresi militer ke Aceh pada tahun 1873 M, Tengku Ahmad bersama para pemuda yang sudah terlatih di Dayah Lam Pucok ditugaskan untuk menghadapi tentara Hindia Belanda yang mendarat di Pantai Cerm In.

Kehadiran tentara Hindia Belanda disambut dengan perlawanan sengit oleh para pejuang Aceh hingga banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Di pihak Aceh, beberapa orang tokoh pejuang, seperti Wakil Komandan Pasukan Rama Setia, Imum Lam Krak, dan Teungku Ahmad, serta sejumlah prajurit lainnya syahid dalam medan pertempuran.

Syahidnya Teungku Ahmad membuat Teungku Fakinah menggantikan posisi beliau, baik sebagai pimpinan Dayah Lam Pucok maupun selaku pimpinan laskar. Demi harga diri bangsa, Teungku Fakinah pun langsung mengadakan kampanye untuk membangkitkan semangat jihad ke seluruh daerah Aceh Besar.

Beliau juga mengajak kaum wanita untuk ikut membantu peperangan, dan mengusahakan pengumpulan dana untuk kepentingan perang. Setelah usaha beliau berhasil, Teungku Fakinah membentuk laskar wanita yang awalnya hanya terdiri dari para janda yang suaminya telah syahid dalam perang, Tetapi, setelah itu, banyak wanita yang masih mempunyai suami ikut bergabung menjadi anggota pasukan beliau. Kondisi harga diri masyarakat pribumi yang diinjak-injak membuat jihad melawan penjajah dilakukan oleh semua kalangan masyarakat Aceh.

Pada tanggal 9 Juni 1896 M, pasukan Hindia Belanda di bawah pimpinan Kolonel J. W. Stempoort dengan jumlah yang besar menyerang benteng-benteng pimpinan Teungku Fakinah di daerah Lam Krak. Serangan itu disambut dengan perlawanan yang gigih selama dua bulan. Walaupun kalah melawan Hindia Belanda, namun Teungku Fakinah dan pasukan beliau mampu menghambat usaha Hindia Belanda untuk menduduki daerah Lam Krak. Sebab, Hindia Belanda baru bisa menduduki Lam Krak pada Agustus 1896 M, setelah perang berkepanjangan.

Ketika Lam Krak dikuasai Hindia Belanda, Teungku Fakinah bersama pasukan mundur ke Kuta Cot Ukam, kemudian ke Gleyeueng dan ke Indrapuri. Ketika Aceh Besar jatuh juga di tangan Hindia Belanda, Teungku Fakinah bersama pasukan pindah ke Pidie, dan kemudian pindah ke Tangse. Di Tangse, bersama ulama lainnya, beliau mendirikan dayah darurat untuk mendidik putra-putri Aceh. Tidak lama setelah beliau bermukim di Tangse, Hindia Belanda menyerbu ke daerah tersebut, dan kali ini pada bulan April 1899 M, Hindia Belanda dapat menguasai daerah tersebut.

Hal itu kemudian membuat Teungku Fakinah bersama pasukan mengungsi ke daerah Pase, dan selanjutnya menuju ke daerah Gayo untuk melanjutkan perang gerilya. Selain berperang melawan penjajah, Teungku Fakinah bersama para wanita juga membangun benteng perlawanan atas perintah Tengku Cik di Tiro. Benteng tersebut terletak di Kuta Cot Weue. beliau juga menjadi panglima dalam mempertahankan benteng itu dari kepungan tentara Hindia Belanda.

Walaupun berkali-kali mendapatkan kekalahan, bahkan harus kehilangan sang suami dua kali, yaitu Tengku Ahmad dan Tengku Nyak Badai, Teungku Fakinah tidak patah semangat dalam jihad melawan penjajah. Tahun 1911 M. setelah bergerilya melawan Hindia Belanda di Lam Krak, beliau membangun kembali dayah yang porak-poranda akibat peperangan. Dayah tersebut diberi nama Dayah Lam Diran.

Dayah yang berkembang pesat tersebut kemudian memberikan pengaruh besar bagi perlawanan rakyat Aceh dalam jihad melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, dayah tersebut juga memperkuat keagamaan masyarakat Aceh agar tidak terpengaruh dengan berbagai pengaruh dari para penjajah sehingga rakyat tetap teguh membela agama dan bangsanya.

Teungku Fakinah adalah ulama perempuan Indonesia asal Aceh, seorang pendidik dan panglima perang untuk menentang Hindia Belanda. Bersama rakyat Aceh, beliau berperang untuk berupaya membebaskan kaum pribumi dari tekanan penjajah dan juga termotivasi atas kepentingan agama, yakni menyelamatkan keutuhan agama dari kaum penjajah.

Teungku Fakinah merupakan sosok yang tidak mau berdiam diri di kediaman beliau, bahkan hilir mudik ke setigasegi Aceh Besar untuk menjalankan diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta bantuan dalam rangka membantu Perang Aceh.

4. Referensi
Hasan, Nur Khazanah Ulama Perempuan Nusantara/Nur Hasan; editor, Muhammad Ali Fakih_cet. 1-Yogyakarta: IRCiSoD, 2023

https://www.laduni.id/post/read/517708/biografi-teungku-fakinah-ulama-perempuan-pendiri-dayah-pesantren-dan-panglima-perang-aceh.html