Peran Mbah Lim di Balik Slogan Paten “NKRI Harga Mati”

Laduni.ID, Jakarta – Jika kita menelaah sejarah perjalanan Indonesia dan Nahdlatul Ulama, maka akan didapatkan satu fakta bahwa pada masa awal Orde Baru, Pancasila diharapkan dapat menjadi asas tunggal yang dapat diterima oleh semua organisasi politik maupun sosial. Asas Pancasila dengan kebijakan “Asas Tunggal” untuk Organisasi Kemasyarakatan diresmikan pada bulan Agustus 1982.

Kebijakan asas tunggal Pancasila itu memberikan pengaruh terhadap perjalanan gerakan Islam. Gerakan Islam diberi tuntutan untuk meninggalkan segala aktivisme politik dan dihadapkan dengan paradigma yang baru. Pemerintah memberikan peringatan bahwa gerakan apa saja yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan ditindak. Indonesia terdiri dari beberapa gerakan Islam atau organisasi, sehingga pada saat itu tidak semua gerakan Islam memberikan respon positif terhadap pemberlakuan asas tunggal Pancasila. (Zuhri Humaidi, “Islam dan Pancasila: Pergulatan Islam dan Negara Periode Kebijakan Asas Tunggal”, Jurnal Kontekstualita, Vol. 25 No.2, (2010)., hlm. 293)

Nahdlatul Ulama’ membahas penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas pada akhir Desember 1983 dalam Munas NU di Situbondo. Munas NU di Situbondo tahun 1983 telah membahas dan membuat keputusan bahwa NU akan kembali pada Khittah 1926 dan memantapkan untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. NU menetapkan dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan termaktub dalam AD/ART sejak adanya Muktamar Situbondo 1984. Saat itu pula para kyai  juga sepakat bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara nasional yang sudah final”, yang mulai dipidatokan oleh KH. Ahmad Siddiq dalam Muktamar NU Situbondo tahun 1984. (Dokumen 01/PBNU/XII/84, Laporan Muktamar NU ke -27, Situbondo: Panitia Penyelenggara Muktamar ke-XXVII Nahdlatul Ulama, 1984., hlm. 25)

Sejak diadakannya Muktamar NU di Situbondo, “NKRI adalah bentuk Final” menjadi semboyan yang  muncul dan dicetuskan oleh KH. Ahmad Siddiq.

Menurut pengakuan KH. Abdul Rozaq Shofawi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad  Mangkuyuddan,  Solo, beliau sering kali dalam satu acara dengan KH. Muslim Rifai Imampuro atau yang akrab disapa Mbah Lim, sekitar tahun 1980-an. Di tahun itu, sejak NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal tahun 1984, slogan “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” mulai muncul. Dan pada  kurun waktu tersebut slogan “NKRI Harga Mati” dikenalkan oleh seorang kyai asal Klaten itu, yang tidak lain adalah KH. Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Lim. (Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah  NU Menyambung Akar Budaya Nusantara, Tangerang: Pustaka Compass, 2017, hlm. 405-406)

Mbah Lim sering mengatakan “NKRI Harga Mati” dalam setiap menghadiri acara, baik dengan para ulama atau Kodim dan TNI. Slogan tersebut dilontarkan lantaran NU yang baru menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang sudah dibahas sejak Munas 1983.

Organisasi politik maupun sosial yang memiliki latar belakang keagamaan lain, ada yang menerima dan menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Pada mulanya, penerimaan NU pada Pancasila dikecam beberapa pihak. Tetapi, melihat deklarasi hubungan NU dan Pancasila, dengan cara proposional dalam memposisikan  keduanya, akhirnya kelompok keagamaan lain juga bisa menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Sejak saat itu slogan NKRI berdasarkan Pancasila sebagai bentuk final ramai dipidatokan, dan slogan “NKRI Harga Mati” kerap kali diteriakkan oleh KH. Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Lim.

Bukan rahasia lagi bahwa Mbah Lim sangat dekat dengan TNI, Polri, dan Kopassus. Ketika Gus Dur mengadakan acara pertemuan ulama  se-Jawa dan Madura pada tahun 1987 di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, ada kejadian yang menarik perhatian, saat itu Mbah Lim mengalungkan sorban kepada LB. Moerdani dan dengan tegas Mbah Lim menyampaikan bahwa “NKRI Pancasila Harga Mati”.

Slogan “NKRI Harga Mati” dipopulerkan atau lebih tepatnya telah dipatenkan oleh KH. Muslim Rifai Imampuro pada saat Amin Rais mengusung ide negara federasi. Ketika itu Mbah Lim menanggapi ide negara federasi dengan slogan lantang “NKRI Harga Mati”. Tak ada kompromi dan keputusan itu sudah bulat tak bisa diganti dengan bentuk yang lain.

Saat itu di penghujung tahun 1999, Amin Rais mengusung sebuah tawaran tentang konsep negara  federasi. Federasi  merupakan sebuah konsep tentang sebuah negara dengan beberapa negara bagian yang bekerja sama dan membentuk kesatuan. Namun, ide yang diusung itu kemudian ditanggapi dengan psimis oleh para kyai dan para cendekiawan. Saat itu kemudian Mbah Lim mengatakan, “Kalau negara ini ambruk, maka yang paling bersalah itu Kyai dan TNI”. Oleh karena itu Mbah Lim meng-counter atau menolak dengan keras ide negara federasi dengan jargon “NKRI Harga Mati, Pancasila Aman Makmur Damai (PAMD) Sepanjang Masa”. Dan pandangan ini sudah final, bahkan Mbah Lim juga selalu mengucapkan NKRI Harga Mati setiap ada kegiatan dengan TNI, Polri, dan Kopassus pada tahun 1998-an. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf Al-Muntadar

https://www.laduni.id/post/read/517739/peran-mbah-lim-di-balik-slogan-paten-nkri-harga-mati.html