Mengapa Suara NU Diperebutkan dan Apa Implikasinya bagi NU sendiri?

Kiranya baru kali ini suara Nahdlatul Ulama (NU) dalam pemilihan presiden (pilpres) diperebutkan oleh semua pasangan. Dari tiga pasangan yang akan bertanding, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan telah menentukan pilihan: Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar–dua figur yang telah lama didentifikasi sebagai NU. 

Sekarang publik masih menunggu Prabowo Subianto, siapa yang akan dipilih sebagai wakilnya. Beredar nama Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU, selain Erick Tohir yang diaku sebagai kader “naturalisasi” NU. Nama Gibran Rakabuming Raka muncul belakangan sebagai kandidat wakilnya Prabowo, tetapi semua orang tahu dia adalah anaknya Presiden Jokowi–dan Anda pasti paham maksudnya apa. 

Berbagai analisis beredar mengenai kemungkinan “all cawapres NU final” itu. Ada yang menyebut soal demografi politik Jawa Timur di mana NU dominan, tetapi ada juga yang menyebut faktor Islam. Yang terakhir ini menarik karena dalam sejarah politik Indonesia selalu muncul “mitos dualisme” antara  nasionalisme dan Islam, sehingga siapa pun yang mau memenangkan pertandingan mesti mengintegrasikan keduanya bersamaan. Meski demikian, lalu bagaimana kita menafsirkan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang sama-sama dianggap wakil Islam atau,  kalau jadi, Prabowo dan Gibran yang sama-sama dianggap wakil nasionalis? 

Sementara berbagai analisis terus bermunculan, kiranya penting untuk memahami mengapa NU mendapatkan tempat seperti sekarang. Meski faktor Islam telah sejak awal diperhitungkan, mengapa sekarang hanya NU yang dianggap sebagai wakilnya? Di mana kekuatan-kekuatan Islam lainnya? Kemudian kalau boleh berandai-andai, apa implikasinya bagi NU sendiri? 

Sebagaimana telah ditulis secara sebagian dalam Memperebutkan Suara NU dan Menghilangnya “Wakil Islam” (Alif, 8/9/2023), saya melihat adanya konteks tertentu yang membuat sekarang suara NU menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Setidaknya sejak surutnya rangkaian aksi 212 beberapa tahun silam, secara perlahan tetapi meyakinkan NU menduduki tempat istimewa dalam politik. Perkaranya bukan sekadar kenyataan bahwa NU memiliki anggota dan simpatisan yang luar biasa besar, melainkan juga terjadi pengakuan terhadap normativitas keagamaan yang selama ini NU jalankan. Tidak tanggung-tanggung, pengakuan itu datang dari negara lewat, salah satunya, program moderasi beragama di mana orang-orang NU memainkan perannya. Hari ini menjadi moderat adalah password bagi siapa pun yang mau memasuki gelanggang politik. 

Akan tetapi, signifikansi menjadi moderat lahir dari pergolakan wacana politik global dalam dua dekade terakhir ini. Sejak peristiwa 11 September 2001, agama melambung ke permukaan sebagai bahan perdebatan yang menyita perhatian semua orang. Tidak mungkin dihalau mundur kembali ke ruang privat, berbagai kalangan memikirkan apa dan bagaimana agama seharusnya ditempatkan di ruang publik. Dari arus yang diperebutkan itu konsep moderasi atau wasathiyah mengemuka. Difasilitasi oleh proyek global war on terror yang raksasa, moderasi menjadi wacana resmi sejumlah negara ketika merumuskan norma-norma relasi agama dan politik. 

Bersamaan dengan itu, wacana di luar moderasi secara otomatis dituduh sebagai konservatisme yang berbahaya bagi kehidupan publik. Dalam situasi tertentu konservatisme diyakini bisa berkembang menjadi radikalisme dan bahkan terorisme. Isme-isme tersebut adalah ancaman keamanan yang mesti dikendalikan. Tidak hanya dalam kebijakan publik, dunia akademis pun menyusun justifikasinya. Sebagian besar riset dan pengajaran mengenai agama, khususnya Islam, selama dua dekade terakhir dibingkai dalam wacana moderat versus konservatif.  

Sementara itu, di internal NU, perkembangan dua dekade pasca-peristiwa 11 September 2001 menghasilkan konsolidasi yang luar biasa. Ini kadang kurang disadari oleh para aktivis NU sendiri. Seingat saya, misalnya, pada tahun 1990-an masih hanya satu atau dua pesantren di wilayah Priangan yang memperkenalkan ke-NU-an kepada santri-santrinya, tetapi sejak tahun 2000-an situasinya berubah terbalik. Terlebih lagi setelah hari santri nasional diresmikan pada 2015, menjadi santri secara hampir otomatis adalah menjadi NU. Ketika saya menjalani masa anak-anak dan remaja pada tahun 1990-an di Tasikmalaya, tidak ada santri yang tahu lagu Ya Lal Wathan, tetapi sekarang pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun menyanyikannya secara riang gembira penuh semangat, bukan? 

Tikungan tajam terjadi saat rangkaian aksi “bela Islam” 212. Hampir diyakini sebagai momen untuk melakukan kudeta, Presiden Jokowi berhasil memanfaatkan persepsi publik terhadap rangkaian aksi tersebut untuk menyusun ulang basis politiknya. Persis pada saat itulah NU dipanggil ke dalam kekuasaan. Jika dikomparasikan, hal yang sama persis dilakukan oleh Presiden Soeharto awal tahun 1990-an ketika menarik sejumlah aktivis Muslim ke dalam pemerintahannya. Bedanya dulu yang direkrut adalah aktivis Muslim modernis, sekarang adalah aktivis Muslim tradisionalis. 

Meski demikian, apakah suara NU dalam pilpres signifikan atau tidak akan  tetap menjadi klaim yang diperdebatkan. Bahkan ketika Jokowi-Ma’ruf Amin memenangkan Pilpres 2019, pertanyaan apakah kemenangan itu karena NU atau bukan timbul ke permukaan. Secara akademik ini tidak terhindarkan karena definisi mengenai NU akan tetap menjadi problematik metodologis bagi para petugas survei. Kenyataan bahwa menjadi NU tidak bisa dibuktikan secara formal dengan kepemilikan nomer dan kartu anggota membuat siapa pun berhak mengaku NU. Akibatnya, kita tidak usah heran kalau Erick Tohir tiba-tiba menjadi ketua panitia peringatan satu abad NU. 

Yang menarik adalah karena tetap menjadi klaim yang diperdebatan, suara NU justru akan diperhitungkan. Karakter ini kompatibel dengan proyek moderasi yang menuntut fleksibilitas dalam beragama dan bernegara. Di sisi lain, kekuatan Islam non-NU lainnya sulit bertahan di bawah hegemoni ini kecuali bergerak ke tengah seperti diperlihatkan oleh sejumlah elite PKS akhir-akhir ini. Gaya FPI dan HTI yang keras kepala bersiap terlindas gerak zaman. 

Akan tetapi, implikasinya bagi NU tampaknya belum diantisipasi secara serius. Sejak banyak kegiatan-kegiatan NU dibiayai oleh APBN, sejak itu pula persepsi publik mengenai NU mengikuti persepsi publik mengenai pemerintah. Jika pemerintah dianggap baik, begitu pula NU. Jika pemerintah dianggap buruk, begitu pula NU. Masalahnya, adagium Lord Acton yang mengatakan “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” menghadang di depan, seperti pernah menjebak Muslim modernis di belakang.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/amin-mudzakkir/mengapa-suara-nu-diperebutkan-dan-apa-implikasinya-bagi-nu-sendiri-b248461p/