Laduni.ID, Jakarta – Nabi Muhammad SAW merupakan utusan Allah yang lahir dan besar di bawah asuhan suku mulia, yaitu Quraisy. Satu-satunya suku yang paling unggul dan maju dibanding suku-suku yang lain. Selain Allah menjaga akhlak nabi agar terbebas dari kejahatan, di sisi yang lain Allah juga menjaga darah silsilahnya agar tidak terkontaminasi dengan darah yang buruk atau kafir. Jika ditarik ke atas, silsilah Nabi Muhammad akan terhubung kepada Nabi Ibrahim. Dan hal ini tidak bisa terbantahkan kebenarannya.
Nabi Ibrahim adalah satu-satunya nabi yang pernah melakukan pengembaraan spritual mencari Tuhan yang sejati, Tuhan yang tidak tenggelam ke ufuk barat seperti matahari, Tuhan yang tidak lapuk ketika pagi datang seperti bulan. Tuhan yang dicari adalah Tuhan yang selalu ada dan tidak terikat dengan siang dan malam. Nabi Ibrahim juga mengkritik teologi kaumnya yang menuhankan berhala buatan tangan sendiri.
Kita tahu di dalam banyak rujukan, bahwa Nabi Ibrahim merupakan putra Azar bin Nahur bi Saruh bin Ra’u bin Falij bin Abir bin Syalih bin Arfakhsyadz bin Syam bin Nuh. Dalam beberapa catatan sejarah, Nabi Ibrahim diperkirakan hidup pada abad 1997-1822 SM yang diutus untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada “ayah” dan kaumnya, yakni Bangsa Kaldan sekitar 1900 SM di Ur daerah Irak. Akan tetapi Ibrahim wafat di Palestina. Selain Ibrahim dikenal dengan bapak para nabi, namanya juga begitu istimewa dalam Al-Qur’an hingga disebut sebanyak enam puluh sembilan kali.
Sebelum melakukan perjalanan mencari hakikat Tuhan dan menegaskan ajaran monoteisme, Ibrahim hidup dan besar dalam lingkungan masyarakat penyembah berhala. Kaumnya yang berada di bawah kendali Raja Namrud bin Kan’an juga gemar mengukir batu hingga menjadi patung atau berhala. Tidak terkecuali dengan “ayah”nya yang bernama Azar yang juga seorang pengukir berhala dan salah satu produsen terbaik di dalam sebuah pasar.
Seiring dengan pertumbuhan dirinya, bertumbuh pula intelektualnnya dengan sangat pesat. Di tengah-tengah rusaknya cara pikir masyarakatnya yang memproduksi berhala kemudian disembah sendiri itu, ia kemudian menumbuhkan rasionalitas yang begitu tinggi hingga mempertanyakan seperti apa Tuhan, mengapa Tuhan diciptakan, bukankah Tuhan yang justru menciptakan? Sederet pertanyaan berkubang dalam pikirannya, hingga menyeret dirinya ke sebuah pertualangan teologis.
Mula-mula Ibrahim memperhatikan bulan yang memberikan cahaya begitu indah di tengah kegelapan, namun ketika datang pagi, bulan itu lenyap. Akhirnya ia meyakini matahari yang memberikan cahaya kehidupan, namun lagi-lagi hal tersebut membuatnya kecewa ketika hilang menyelinap ke ufuk barat. Oleh sebab itu, kemudian Ibrahim meyakini bahwa di balik matahari dan bulan tersebut pasti ada Tuhan yang menciptakan keduanya.
Orang-orang Yahudi meyakini bahwa dalam kitab mereka (Taurat) nabi harus lahir dari keturunan Ibrahim. Saking mulianya Ibrahim, lahirlah konsensus di kalangan Yahudi, yakni jika ada nabi yang lahir tidak dari jalur Ibrahim, maka tidak pantas diakui kenabiannya. Dalam hal ini termasuk juga Nabi Muhammad yang lahir di Makkah. Kaum Yahudi meragukannya sebab tidak seperti keturunan Ibrahim yang lain, yang semuanya berada di daerah Palestina. Dan problem tersebut kemudian membuat kalangan Yahudi menolak kenabian Muhammad.
Meskipun demikian, hal tersebut lalu dibantah oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman di dalam Surat Ibrahim ayat 37.
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Menurut Gus Baha’, ayat di atas merupakan doa Nabi Ibrahim yang memang berkeinginan agar sebagian keturunannya menempati daerah lembah yang hal ini memang mengacu ke sekitar Kakbah.
Keberadaan lembah tersebut terletak di cekungan paling bawah di antara lembah-lembah yang ada di Makkah. Hal tersebut juga ditandai dengan peristiwa ketika Nabi Adam hendak berhaji, yang kemudian Allah mengalamatkan pada Kakbah yang pada saat itu belum ada bangunannya, hanya cekungan air. Baru kemudian pada masa Nabi Ibrahim tempat tersebut dibangun tepat di atas cekungan tersebut.
Dalam sejarahnya, Kakbah sering roboh karena dihantam banjir. Hal ini dikarenakan posisi Kakbah berada di cekungan paling bawah dan dikelilingi bukit-bukit. Kejadian banjir ini telah terjadi berkali-kali, sehingga mudah diingat dengan data-data tersebut. Terjadinya banjir yang membuat Kakbah roboh berkali-kali adalah bagian dari hikmah. Meskipun ada orang yang tidak percaya tentang nubuwah, namun mereka akan percaya bahwa Nabi Muhammad SAW ini memang keturunan Ibrahim, selain karena mudah diingat dengan data peristiwa sejarah tersebut, Kakbah juga merupakan tempat wisata yang banyak didatangi oleh orang-orang. Dan roobohnya Kakbah ini juga terjadi pada masa Nabi Muhammad dan zaman Khalifah Umar.
Kembali pada persoalan di atas. Belakangan lahir pandangan-pandangan sinis yang mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW tidak seutuhnya mewarisi darah silsilah yang baik. Hal ini ditandai dengan nama Azar yang dipercaya sebagai “ayah”nya Nabi Ibrahim yang notabene adalah seorang penyembah berhala. Hal tersebut tentu saja merusak kualitas kesucian silsilah Nabi Muhammad SAW jika dibenarkan adanya.
Menurut Gus Baha’ adalah dua pandangan ulama dalam menyikapi Azar yang disebutkan sebagai “ayah”nya Nabi Ibrahim.
Pertama, ada peristiwa Intiqal An-nur (perpindahan cahaya) dari Azar kepada Nabi Ibrahim, di mana awalnya Azar bukanlah kafir. Azar menjadi seorang penyembah berhala ketika nur atau cahaya Nabi Muhammad ini pindah ke Nabi Ibrahim yang hal ini ditandai dengan lahirnya intelektualitas monoteisme dalam Nabi Ibrahim. Peristiwa inilah yang oleh ulama disebut peralihan cahaya dari Azar ke Ibrahim. Ulama sepakat, sebelum kejadian ini, Azar adalah orang yang baik dan tidak pernah menyekutukan Allah. Hilangnya nur inilah yang membuat Azar tergerus ke dalam jurang lingkungan penyembah berhala sehingga membuat dia kafir, sekalipun awalnya muslim dan mukmin.
Kedua, ulama berpendapat bahwa kata “abb” atau “abun” (ayah) dalam kalimat Idz qala Ibrahimu li Abihi Azara, di dalam Al-Qur’an tersebut, tidaklah bermakna seorang ayah kandung melainkan memiliki arti paman, karena orang Arab biasa menyebut kata “abb” sebagai majaz atau mengibaratkan layaknya ayah yang telah mengasuhnya.
Dari kedua pendangan ulama tersebut, Gus Baha’ lebih cenderung memilih pendapat pertama, dengan alasan yang lebih baik dan masuk akal. Sebab jika pandangan kedua dibenarkan, maka dikhawatirkan dapat menghilangkan kepercayaan orang-orang kepada sebuah lafadh dan hal inilah kemudian juga ditakutkan akan melahirkan pemahaman yang berbeda ketika setiap bertemu dengan lafadh “bin” atau “abb”.
Bagaimanapun, yang perlu diyakini adalah mulai dari Nabi Muhammad hingga Nabi Adam, silsilah yang saling bersambung itu semua jalurnya adalah suci dan tidak najis. Demikianlah keyakinan sebagian besar jumhur ulama. Maka, tidak mungkin Nabi Muhammad SAW yang merupakan Sayyid Al-Anbiya’ dan merupakan nur yang suci tapi terlahir lewat jalur yang tidak suci atau jalur seorang kafir. Allahu A’lam. []
Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahauddin Nursalim. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.
___________
Penulis: Kholaf Al-Muntadar
Editor: Hakim
https://www.laduni.id/post/read/517751/menakar-keabsahan-azar-sebagai-ayah-nabi-ibrahim.html