Belakangan ini, dunia digemparkan oleh isu ekologi yang semakin hari semakin memprihatinkan jika tidak diatasi. Mulai dari krisis iklim, pembabatan hutan, pencemaran udara, penimbunan sampah, pengerukan alam secara berlebihan, dan sebagainya. Permasalahan tersebut mulai dirasakan dampaknya ketika, misalnya, suhu panas semakin meningkat yang disebabkan oleh di antaranya efek gas rumah kaca dan penggunaan bahan bakar fosil. Permasalahan ini tentu membutuhkan kesadaran kolektif demi menjaga bumi tempat manusia dan seluruh makhluk hidup di dalamnya.
Perbincangan tentang kerusakan lingkungan sudah ada respon dari para akademisi yang memiliki pengetahuan tentang alam dan juga aktifis lingkungan, seperti penanaman benih pohon salah satu langkah mereka. Selain itu, agama Islam turut dibawa sebagai legitimasi tentang pentingnya menjaga bumi sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat al-Quran. Respon itu patut diapresiasi secara lebih, karena menjaga bumi bukan kerja untuk kepentingan individu melainkan kerja untuk semua makhluk di muka bumi.
Berbicara tentang alam dan seluruh keindahan yang terkandung di dalamnya, saya langsung teringat kepada karya sastra berupa puisi. Puisi yang diidentikkan dengan keindahan ternyata memiliki jalan sendiri di dalam memandang alam yang selalu dijadikan metafora. Keindahan puisi barangkali tercipta karena alam dijadikan metafora atau majas ketika hendak menuliskannya. Dan begitulah yang dilakukan oleh banyak penyair bahwa alam sebagai entitas yang mewakili imajinasi atau perasaan penyair.
Banyak penyair yang menyerap keindahan alam sebagai metafora di dalam puisinya. Dan oleh sebab itu, puisi merupakan jalan lain di dalam menumbuhkan kesadaran terhadap kerusakan lingkungan. Meskipun hal tersebut hanya berada di tataran kesadaran jika dibandingkan aktivis lingkungan, namun hal itu tidak menghilangkan peran puisi sama sekali. Sebab sebuah tindakan selalu diciptakan oleh kesadaran terlebih dahulu.
Puisi merupakan karya sastra yang sangat penting dibaca dan dipelajari oleh setiap orang. Karena puisi akan melatih imajinasi seseorang untuk merenungkan setiap kata dalam puisi secara mendalam. Dengan puisi, seseorang tidak hanya diajak untuk berpikir tapi juga mengasah intuisi yang hal itu dapat meningkatkan kepekaan terhadap realitas sosial dan alam. Dengan puisi juga, seseorang akan merasakan sebuah ungkapan yang tidak kering, penuh makna, dan keindahan.
Disadari atau tidak, puisi tidak hanya menawarkan bagaimana keindahan puisi itu dibuat baik dari teknik penulisannya maupun metafora yang digunakan. Namun lebih dari itu, secara tidak langsung puisi telah menjadi bukti bahwa alam merupakan entitas penting dalam kehidupan manusia. Sebab, dalam penulisan puisi, alam mungkin menjadi satu-satunya perumpamaan terbaik dalam penulisan puisi. Hal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya penyair yang menggunakan alam sebagai metafora di dalam puisinya.
Puisi yang Menggunakan Metafora Alam
Mungkin saya tidak akan menuliskan semua puisi para penyair yang menggunakan alam sebagai metafora puisinya. Namun, di sini saya akan menyodorkan beberapa puisi karya penyair yang sebagian besar puisi-puisinya menggunakan alam sebagai metafora.
Pertama, KH. Zawawi Imron atau dikenal juga dengan julukan penyair celurit emas, merupakan penyair kelahiran Sumenep, Madura. Di sebagian besar puisi-puisinya, KH. Zawawi Imron dikenal sebagai penyair yang selalu menggunakan alam sebagai metafora bagi puisinya. Tak dapat dipungkiri, sebab dia berasal dari pulau Madura yang sebagian besar alamnya masih berupa tanah lapang, hamparan lautan, dan bebukitan. Misalnya dalam puisinya yang berjudul “Qasidah Air Mata”:
“Di sinilah sebuah negeri yang kaya raya // Untaian pulau-pulau yang rahim ombaknya memeram dahaga rindu dan mutiara // Tak heran kalau ada anak-anak berlagu”.
Kutipan puisi tersebut memberikan nuansa yang sangat sublim kepada setiap pembacanya. Kekentalannya dalam menggambarkan keindahan alam membuat siapapun yang membacanya maupun mendengarkannya saat dimusikalisasi puisi membuat hati terenyuh. Kemudian bait tersebut dilanjutkan dengan nuansa kehidupan manusia yang sangat dekat dengan alam.
“Putih perak kapas ranum // Di sini pohon pisang di sana pohon duku // Seruling gembala memecah angin di atas lembah // Amboi! Anak-anak bergoyang di atas pohon jambu // Alangkah ceria, alangkah merdeka”.
Lagi-lagi puisinya menggambarkan alam dengan sangat khusyuk. Nuansa kehidupan yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern, melainkan gambaran keceriaan dan kemerdekaan anak-anak dusun ketika berinteraksi dengan alam secara langsung. Meskipun di bait selanjutnya, penyair celurit emas ini menyayangkan bumi yang sudah mulai rusak akibat ulah manusia.
Kedua, Goenawan Mohamad yang dalam puisi-puisinya menggunakan alam sebagai metafora. Misalnya, kutipan dari puisinya yang berjudul “Di Muka Jendela”:
“Di sini // Cemara pun gugur daun. Dan kembali // Ombak-ombak hancur terbantun // Di sini // kemarau pun menghembus bumi // menghembus pasir, dingin dan malam hari.”
Goenawan Mohamad (GM), meskipun terkenal ketat dalam puisi-puisinya, tapi mampu menciptakan keindahan serta makna yang mendalam di setiap bait-baitnya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan puisinya di atas, yang menggunakan alam sebagai metafora. GM mampu merekam gerak alam dengan khusyuk, yang mungkin banyak terlewatkan oleh kebanyakan orang.
Ketiga, Ulfatin Ch penyair perempuan yang sangat indah dalam merangkai puisi-puisinya dengan alam sebagai metafora. Misalnya, kutipan puisinya yang berjudul “Di Musim yang Lain Aku Kembali”:
“Setahun kujelajahi hutan ini // Sepi belaka, tanpa penghuni // Lalu kubangun rumah dekat sungai // Agar lebih mudah kukenali mata angin // Dan aku tenang memandang bulan.”
Dalam kutipan puisi di atas, Ulfatin Ch berusaha mengungkapkan bahwa alam adalah rumah yang nyaman untuk ditinggali dengan kemurniannya. Penulisan puisi tersebut juga merupakan respon terhadap realitas kehidupan yang semakin berkembang maju yang memaksa dengan perlahan-lahan kemurnian alam tersingkirkan. Kita dapat melihat pada bait terakhir di judul yang sama:
“Dan ketika aku kembali di musim yang lain // Kudapatkan hutan itu telah ramai // Menjadi Kota // Dan di antara daratan yang di belah sungai // Telah terbangun jembatan // Aku tak lupa rumahku, tapi di mana.”
Di bait terakhir puisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi tidak hanya mencamtumkan alam sebagai sesuatu yang inheren dalam tubuh puisi. Akan tetapi, puisi juga bisa berupa kritik kepada kehidupan yang terus bergerak maju, yang memaksa alam berubah. Dari alam yang asri, berubah menjadi kota metropolitan.
Tiga contoh kutipan puisi di atas merupakan bukti bahwa puisi memiliki relasi kuat dengan alam, khususnya penyair sebagai penulisnya. Penyair merenungkan gerak alam dengan sangat cermat dan mendalam. Itulah mengapa keindahan puisi akan mengantarkan seseorang baik penulis maupun pembacanya sadar akan eksistensi alam, gerak-gerik alam, dan keindahan alam. Maka di sinilah peran puisi dalam merawat alam, setidaknya menumbuhkan kesadaran bagi setiap penikmat puisi bahwa alam adalah sesuatu yang indah dan kewajiban manusia adalah menjaganya.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa puisi benar-benar representasi dari keindahan alam. Dan oleh sebab itu, memahami puisi berarti memahami alam semesta. Kesadaran itu akan tumbuh, misalnya, ketika kita membaca puisi sedangkan alam tidak seindah yang digambarkan dalam puisi karena ulah manusia yang merusak alam. Jika puisi kehilangan keindahannya, apakah itu artinya alam sedang kehilangan kemurniannya?. Semoga tidak.
Baca Juga
https://alif.id/read/fzr/puisi-sebuah-representasi-keindahan-untuk-merawat-alam-b248463p/