Setiap ditinggal wafat para ulama, yang tersisa adalah penyesalan. Menyesal karena tak sempat banyak mendaras ilmu lebih. KH Nawawi Abdul Jalil, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri wafat, tepat di sebuah sore hari Ahad, 2 Dzul Qo’dah 1442 Hijriyah, 13 Juni 2021. Kiai Nawawi wafat di hari Ahad yang diimpikannya.
Dua hari setelah wafat Kiai bersahaja ini, saya dikirimi pesan WhatsApp berbahasa Arab oleh KH Abdul Adzim Kholili, Wakil Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur, pengasuh Pesantren Kepang Bangkalan yang masih kerabat dekat, bahkan termasuk Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri:
قال الشيخ الاديب الكياهي نووي بن عبد الجليل وقتَ وفاة أخيه العلامة عبد العليم بن عبد الجليل سيداقري (من مات يوم الأحد مات بكلمة التوحيد وأرجو ان أموت يوم الأحد) حقق الله رجائه. توفي يوم الاحد هو يحب علم الكلام فيكتب مأمن من الضلال على ثلاثة أجزاء رحمة الله عليه رحمة واسعة ورحمة الابرار. امين.
Telah berkata Syekh Al Adib Kiai Nawawi bin Abdil Jalil saat wafatnya Sang Kakak Al Allamah Kiai Abdul Alim bin Abdil Jalil Sidogiri: “Siapa saja yang matinya hari Ahad, maka dia mati dalam keadaan membawa kalimah Tauhid ‘La Ilaha Illallah. Dan Saya Berharap kelak mati di Hari Ahad.”
Dan Kiai Nawawi wafat di hari Ahad. Beliau memang sangat menyukai disiplin ilmu Kalam, bahkan menulis sebuah kitab tiga jilid: Ma’man Minad Dlalal (Tempat Aman dari Kesesatan).
Saya merinding menerima pesan dari Kiai Adzim yang lama nyantri mbah Kiai Maimoen Zubair di Sarang ini. Bukan hanya bahwa Kiai Nawawi wafat di Hari Ahad tetapi harapan dan pilihan akan datangnya kematian itu yang tak semua orang mampu mengutarakannya: وارجو ان اموت يوم الاحد (Dan saya berharap mati di hari Ahad).
Atas nama kalimah Tauhid, La ila illallah, Kiai Nawawi memohon kepada Allah agar diwafatkan di Hari Ahad. Sebuah permohonan yang sebangun dengan kecintaan dan kepakaranya pada ilmu tauhid. Dalam berbagai kesempatan mengajar memberi taujihat, Kiai Nawawi kerap menegaskan pentingnya akar yang kuat dan menghujam dalam sebuah pohon kehidupan.
Bila akar aqidah kuat dan sehat, maka akan tumbuh di atasnya pohon syariat yang kuat juga. Akarnya menghujam ke bumi, cabangnya kekar menjulang menjangkau langit. Dan pada saatnya nanti pohon berbuah, dia akan berbuah buah lebat, berupa akhlak yang luhur, akhlaqul karimah, seperti yang idamkan baginda Nabi SAW.
Ketauhidan Kiai Nawawi tidak hanya terletak pada konfigurasi keilmuan aqidah, tetapi mampu membentuk amal-ibadah syariah sebagai keniscayaan atas kuatnya iman dan keyakinan. Luhurnya akhlak Kiai Nawawi adalah buah dari tauhid dan amaliyahnya. Hingga beliau dijuluki Al Adib, orang yang luhur perilakunya.
Tampak jelas (seperti yang viral di media sosial), rekaman keluhuran sikap dan kerendahhatian beliau, tutur kata hingga gesture tubuh tawadlu yang mempesona. Akhlak yang tumbuh dari kedalaman cinta kepada Tuhannya. Dan karenanya,Tuhan begitu mencintainya.
Sebagai pengasuh Pondok Sidogiri, Kiai Nawawi adalah pemegang amanah ilmu dan spiritualitas Sidogiri yang secara estafet diemban oleh para Kiai Pengasuh hingga ujug pada Sang Muassis, Mbah Sayyid Sulaiman bin Abdurrohman Basyaiban. Mbah Sulaiman (dimakamkan di Mojoagung Jombang) adalah peletak dasar pondok Sidogiri sebagai salah amanah ejawantah misi Mbah Sunan Giri.
Urutan Pengasuh dari yang terkini: Kiai Nawawi Abdul Jalil (wafat 2021), meneruskan sang kakak, KH Abdul Alim bin Abdul Jalil (wafat 2005), meneruskan Kiai Kholil Nawawi, meneruskan Kiai Abdul Jalil bin Fadhil (wafat 1947 ditembak Belanda), meneruskan Sang Mertua, KH Nawawi bin Noerhasan. Kiai Nawawi sepuh ini sekurun dengan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary.
Dan karenanya dalam sejarah, Kiai Nawawi bin Noerasan termasuk salah satu Kiai yang mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kiai Nawawi bin Noerhasan meneruskan kepengasuhan Pondok Sidogiri dari Kiai Bahar bin Noerhasan, dari Kiai Noerhasan bin Noerkhatim (asal Madura), dari Kiai Mahalli (asal Bawean), dari Kiai Aminullah (asal bawean) yang membangun kembali Pondok Sidogiri Kanjengan pasca dirintis Mbah Sayyid Sulaiman sbagai pendiri dan pengasuh pertama Sidogiri. (Selengkapnya Baca Buku: Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri, Sidogiri Penerbit, 2009)
Dalam nama Kiai Nawawi Abdul Jalil ada nafas jihad Sang Kakek KH Nawawi bin Noerhasan dan Sang Ayah Kiai Abdul Jalil Sang ayah. NU yang ikut didirikan sang kakek dipanggulnya seberat apapun angin kencang bertiup dan gempa mengguncang bumi. Siapapun pemimpinnya, NU sebagai thariqatul ulama, jalan juang salafunas shalihin harus terus ditegakkan panjinya.
Kiai Nawawi juga menjadi penjelmaan spirit Sang Ayah Kiai Abdul Jalil dan masyayikh Sidogiri yang keukeuh memegang amanah luhur nan suci dari Sayyid Sulaiman. Menjadi pengasuh pesantren yang sarat nilai, hikmah, misi bahkan sirr (rahasia) seperti Sidogiri tentulah tak mudah.
Dibutuhkan bekal keimanan berlebih, kedalaman akhlak tak terbantah, kapasitas ilmu yang luas plus pengamalannya sebagai uswah bagi jutaan pasang mata yang menunggu arah dan teladan kehidupan. Dan Kiai Nawawi dilahirkan dan dibentuk menjadi figur hari ini melalui proses yang cukup panjang dan impresif.
Salah satu sosok yang membentuknya adalah Kiai Kholil bin Nawawi. Dari Sang pamanda, Kiai Nawawi belajar ilmu dan kehidupan. Bagaimana menjaga harmoni ta’dzim kepada sesama manusia dengan ketundukan kepada Allah sebagai Sang Pemcipta Segala. Kiai Kholil yang melepaskan Kiai Nawawi dari tekanan berat dalam proses mencari ilmu hingga menemukan jalan hikmah.
Kiai Nawawilah satu-satunya santri dan keponakan yang diperintahkan ‘keluar pesantren’ menonton bioskop di tengah kesungguhan dan pertarungan menggapai ilmu. Namun ‘perintah’ menonton bioskop itu adalah jalan dari Kiai Kholil agar Kiai Nawawi memperoleh ilmu hikmah dari Waliyullah Kiai Abdul Hamid Pasuruan. Kiai Nawawi berkisah, perjalanan lebih 15 kilometer mengendarai sepeda pancal bersama seorang santri dari Sidogiri ke Kota Pasuruan untuk nonton Film di Gedung Bioskop itu, membawa Kiai Nawawi mampir shalat maghrib di Pesantren Salafiyah Pasuruan.
Di mushalla pesantren itu, dalam perjalanan ke ndalem seusai menjadi imami shalat, Kiai Hamid menghampiri, mengusap dada Kiai Nawawi muda sambil membaca doa sebuah ayat Alquran. Doa dan kewaskitaan seorang waliyullah pada sang penerus perjuangan yang insyaAllah berada dalam maqam yang tak jauh berbeda. Amin.
Kiai Nawawi Abdul Jalil sudah berpulang. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Satu lentera ilmu dan keteladanan telah kembali padam. Saatnya menyiapkan lentera baru di era yang serba baru. Cukuplah kematian sebagai peringatan.
Selanjutnya adalah bangkit, menghapus air mata tersisa, berkemas melanjutkan orkestrasi ilmu dana akhlak, melanjutkan estafet perjuangan yang secara apik-epik telah dibuktikan dan diteladankan para masyayikh terdahulu.
Surabaya, 18 Juni 2021