Pak Sa’ad, Muhammadiyah, dan Petuah-Petuahnya

November adalah bulan kelahiran Muhammadiyah. Biasanya media cetak dan media online yang terafiliasi ke Muhammadiyah fokus mewartakan profil dan jejak pendiri dan beberapa elit tersohor. Rata-rata mewartakan sosok Kiai Ahmad Dahlan, Nyai Walidah, Kiai Mas Mansyur, Buya Hamka hingga Kiai A.R. Fachruddin. Berbeda dari kebanyakan penulis, kali ini saya tuliskan rekam jejak salah satu pucuk pimpinan Muhammadiyah yakni Dr. Sa’ad Ibrahim M.A.

Mengingat kembali masa-masa kuliah di UIN Malang. Dalam ingatan saya, Pak Sa’ad adalah sosok yang berpenampilan apa adanya. Jika berpapasan dengan beliau, terkadang tak pakai peci dan di lain waktu beliau memakai peci. Dikenal civitas UIN amat fasih mengulas isi kitab kuning layaknya kiai Nahdlatul Ulama. Menurut keterangan suami semasa kuliah di Fakultas Syariah, beliau mengajar mata kuliah Ulumul Qur’an. Tak sebatas mengajar, beliau sempat menjabat direktur Pascasarjana dan Pembantu Rektor IV UIN Malang.

Di Pascasarjana UIN Malang, Pak Sa’ad dalam kesaksian suami saya termasuk dosen yang tak berkompromi terhadap Mahasiswa yang asal-asalan dalam menulis makalah.  Ekspresi wajah pria asal Pacet-Mojokerto itu serius sekali ketika menelaah isi makalah para mahasiswanya, termasuk nasib nahas menimpa teman sekelas suami. “Makalah yang kukerjakan ada yang tidak sejalan dengan Pak Saad“. ucap teman suami saya. Sang teman membahas penerapan hermeneutika untuk Tafsir Qur’an.

Perlu pembaca setia Alif.id ketahui, Prof. M. Quraish Shihab adalah mentor disertasi yang beliau tulis tak sampai seratus halaman. Disertasi ini diterbitkan UIN Maliki Press dengan judul “Kemiskinan Perspektif Al-Qur’an”. Suami dari Rochimah ini menyelesaikan program studi (prodi) Tafsir Qur’an pada tahun 1997. Kala menimba ilmu di IAIN Syarif Hidayatullah, ayah lima anak ini mengaku belajar banyak ke Nurcholis Madjid dan Harun Nasution. “Kita tidak bisa ambil satu lalu kita meniru. Ibaratnya ada bunga-bunga yang kita ambil dari berbagai tempat, lalu kita letakkan di vas bunga. Itulah kita“. Jadi bukan ikuti satu dua guru, tapi memadukan semuanya hingga menjadi kita. Itu yang saya pahami ketika suami saya bertanya langsung kepada Pak Sa’ad,”Cak Nur dan Harun Nasution dikenal liberal, untuk apa panjenengan berguru kepada mereka?“.

Pak Sa’ad lahir pada 17 November 1954. Mengutip pewartaan majalah Mimbar edisi Februari 2016, 40 hari sebelum dilahirkan ke dunia, beliau menjadi yatim. Duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah (MI), beliau diajari membaca kitab kuning. Usai lulus dari MI, Pak Sa’ad membantu sang kakak bertani dan mencari kayu bakar. Pak Sa’ad ini bisa dijadikan teladan dalam mencari ilmu. Tekadnya amat kuat. Saat kuliah, selain dibiayai sang kakak, beliau berani menjual sawah warisan bapaknya. Pak Sa’ad juga seorang kutu buku. Kala kakek dari garis ibu wafat, sang kakek meninggalkan banyak kitab kuning. Semisal ke toko buku sedang tidak membawa uang, beliau pinjam temannya.

Hingga tulisan ini terbit, beliau sudah pensiun mengajar dari UIN Malang. Murid KH. Hasyim Abbas ini mengisi masa pensiun dengan menjadi narasumber di amal usaha Muhammadiyah, di MUI Jawa Timur dan juga penceramah di masjid-masjid kota Malang, kota Batu, Pasuruan, dan Lamongan. Di tubuh persyarikatan Muhammadiyah tercatat menjadi pimpinan PWM Jawa Timur. Dan kini namanya bertengger di jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah.

Sedikit saya ceritakan disini momen 11 Juni 2018, Pak Sa’ad memberi kuliah tujuh menit (kultum) di Masjid Manarul Islam-Perumnas Sawojajar. Dalam ingatan saya, beliau menerangkan secara runtut perihal “Siapakah ulama itu?”. Hanya ada isyarat siapa yang dinamakan ulama dalam surah Fathir ayat 27-30. Pertama, tanda seseorang disebut ulama ialah mereka yang memahami dan menganalisa fenomena alam. Tidak berhenti pada fenomena, tapi harus sampai pada nomena, yakni Allah Swt.

Banyak yang ahli tentang kosmologi tetapi tidak sampai kepada Allah Swt. Contoh mendiang Stephen Hawking. Ia ahli fisika dan kosmologi. Sayangnya semasa hidup, ia punya pandangan Tuhan tidak ada.” Ucap Pak Sa’ad. Kedua, mereka yang memahami manusia dengan berbagai dimensinya. Bisa melalui sosiologi, antropologi, dan psikologi. Pengetahuan tentang manusia harus sampai pada ke maha besaran Allah. Ketiga, harus bisa memahami Qur’an dan sunnah Nabi. Keempat, mendirikan sholat. Kelima, harus punya komitmen bersama masyarakat mendekatkan diri kepada Allah.

Sekilas mencermati pemaknaan yang diungkap Pak Sa’ad, ada satu tanda atau kriteria yang kurang yakni seseorang bisa disebut ulama jika ia membela dan menolong agama Allah seperti yang tercantum dalam surah Muhammad ayat 7. Janji Allah itu pasti bagi ulama yang punya kepedulian nyata kepada agama Islam. Allah akan mengokohkan kedudukan dan muru’ahnya.

Dalam kajian Ahad pagi yang bertempat di Masjid Al-Hidayah Bangil-Pasuruan, Pak Sa’ad memberikan petuah yang menggugah peserta kajian. Sebagaimana liputan laman Sinarmu.co (20/3.2022), beliau mengingatkan, Muhammadiyah itu tidak hanya urusan ngaji saja, tapi juga beraksi nyata. “Ngaji di Muhammadiyah itu ngaji yang menggerakkan, tak cukup hanya paham saja,” ucapnya. “Jangan undang saya lagi kalau tidak ada pergerakkan,” imbuhnya tegas. Para peserta kajian pun kemudian menunjukkan ekspresi yang beragam, terkejut bercampur tawa tipis.

Terakhir sewaktu diskusi panel dengan Guru Besar UIN Sunan Ampel, Prof. Ahmad Zahro di UIN Malang, Pak Sa’ad memberi petuah yang tidak pernah saya lupakan,”Warga NU memberi manfaat bagi sesama warga NU itu biasa. Warga Muhammadiyah memberi manfaat bagi sesama warga Muhammadiyah juga biasa. Yang luar biasa adalah ketika warga NU memberi manfaat bagi warga Muhammadiyah, atau sebaliknya, warga Muhammadiyah memberi manfaat bagi warga NU“. Semoga kisah perjalanan hidup Dr. Sa’ad Ibrahim bisa menginspirasi generasi muda masa kini. Wallahu’allam.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/afh/pak-saad-muhammadiyah-dan-petuah-petuahnya-b248501p/