Biografi KH. Abdul Aziz, Pengasuh Pesantren Panggung

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru Beliau
2.3  Pengasuh Pondok Pesantren
2.4  Mendirikan Pondok Pesantren

3.    Penerus Beliau
3.1  Anak Beliau

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Karier Beliau

5.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga 

1.1 Lahir
KH. Abdul Aziz lahir di Tulungagung, tepatnya di desa Mojosari, Kecamatan Kauman tahun 1942. Mengenai tanggal dan bulan tidak diketahui secara pasti. Nama asal beliau adalah Moedamsir. Orang-orang mengenal beliau sebagai sosok yang pemberani, namun juga humoris dan sangat akrab dengan masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan. Masyarakat disapanya dengan ramah, namun demikian tetap segan dan menaruh hormat kepada beliau karena kewibawaan dan kharismanya yang begitu tinggi. Beliau merupakan putra keempat dari Bapak Munadi dan Ibu Inah dari enam bersaudara. Sekaligus sebagai putra yang gemar mondok.

1.2 Riwayat Keluarga
Pada sekitar tahun 1965 KH. Abdul Aziz mengakiri masa lajangnya dengan menikahi Ibu Muntianah, Ibu Muntianah adalah putri dari Bapak Munahid dan Ibu Tonah Sumbergempol. Saat itu ibu Muntianah diasuh oleh neneknya (mbah Musi) Pacet. Pernikahan beliau dengan ibu Muntianah dikaruniai 5 putra, yaitu Ning Mir‟atul Hasanah, Gus Samsul Umam, Ning Ni‟matul Basroh, Ning Siti Khumayah dan Gus M. Bahrudin.

Sudah menjadi sunnatullah, apabila seorang akan diangkat ke derajat yang lebih tinggi, maka Allah akan mengujinya lebih dahulu. Demikian halnya dengan KH. Abdul Aziz, pada tahun 1981 beliau diuji dengan wafatnya istri tercinta, setelah melahirkan putra kelima. Namun luka kesedihan yang melanda segera terobati dengan menikahi Ibu Nyai Sa‟adah, putri dari KH Nurudin Ghozali, Bolu, Karangrejo. Ketika disunting oleh KH. Abdul Aziz, ibu Nyai Sa‟adah memiliki dua putra yaitu Ning Halimatus Sa‟diyah dan Gus Syaifuddin Zuhri. Setelah pernikahan beliau berjalan 4 tahun, barulah dikarunia seorang putri yang bernama Ning Alien Kholifah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Karena ketaatan KH. Abdul Aziz kepada sang guru menjadikan beliau santri yang disayangi. Sehingga kemanapun sang guru pergi, beliau sering diajak. Dan di sinilah beliau sering mendapat nasehat-nasehat keagamaan secara langsung dan tak jarang melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh KH Mansur.

Kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk selalu berkumpul dengan orang-orang sholeh, membuat beliau tidak puas hanya belajar di Pondok Bancaan, maka segeralah beliau melanjutkan mondok di Pondok Wonokromo Gondang untuk mendalami ilmu alat.

Di pondok yang diasuh oleh alm KH Nahrowi inilah mulai tampak bakat Beliau dalam menekuni disiplin ilmu ilmu alat (nahwu-shorof). Sehingga beliau termasuk santri yang disegani oleh teman-teman maupun guru beliau. Selama belajar di pondok Wonokromo, karena terbentur kondisi ekonomi, tak semulus yang dibayangkan.

Sehingga apabila tak punya bekal, Beliau sering pulang dan duduk dari rumah. Selama di rumah Beliau manfaatkan untuk membantu orang tua mencari sayuran ke daerah Pagerwojo untuk dijual ke pasar dengan kesabaran dalam menghadapi rintangan serta kesungguhan beliau yang diiringi dengan riadhoh (tirakat) selama belajar menjadikan beliau termasuk orang-orang yang berhasil dalam menuntut ilmu.

2.2 Guru-Guru Beliau
KH. Mansur Bancaan Mojosari
KH. Nahrowi

2.3 Mengasuh Pondok Pesantren
Setelah tamat belajar di Wonokromo, KH. Abdul Aziz diminta untuk mengajar di Madrasah Pondok pesantren Panggung, Tulungagung yang diasuh oleh KH. Asrori Ibrahim sekitar tahun 1965. Dari sinilah beliau mulai mentransfer ilmu-ilmu yang beliau peroleh ketika mondok. Selama berkhitmad di pondok panggung, beliau slalu menunjukkan sifat-sifat seorang pemimpin. Maka wajarlah kalau KH. Asrori Ibrahim (pendiri Jamaah Sholawat Nariyah) menunjuk beliau untuk menggantikan pucuk kepemimpinan Jamaah Sholawat Nariyah Kab Tulungagung.

2.4 Mendirikan Pondok Pesantren
 Ketika masyarakat mulai gandrung kepada keindahan ajaran islam KH. Abdul Aziz mendirikan masjid yang sangat sederhana, yaitu atas kerelaan mbah Musi untuk mengubah bale rumahnya menjadi Masjid. Di masjid yang berdindingkan anyaman bambu (gedek) dan berlantaikan anyaman daun kelapa (blarak) ini beliau mulai mengajar dan membimbing santri-santri tentang masalah keagamaan. Suatu ketika, masjid tersebut roboh dan menimpa salah seorang santri, melihat hal itu mereka yang sejak awal tidak suka dengan Islam dengan nada mengejek berkata “ngedekne masjid kok nang kene” (mendirikan masjid kok di sini).

Satu hal yang menarik dari masjid ini ialah walaupun kedaannya begitu sederhana dan lantainya sering basah oleh banjir, tidak membuat para santri untuk meninggalkannya, sehingga tak hayal masjid ini menjadi saksi bisu atas khatamnya pelajaran Alfiah oleh empat orang santri . mereka adalah Bapak. Musytari (Kedungsuko) yang sekarang menjadi modin desa moyoketen, Bapak Kayis (Gedangsewu), Bapak Sakban (Waung) dan bapak Imam Turmudi (Sobontoro). Semangat merekalah yang patut kita tiru.

Sekitar tahun 1972 masjid mengalami renovasi dengan berdindingkan tembok dan bertambah luas. Biaya pembangunan didapat dari jamaah dan sumbangan Bpk H. Mashuri, Bapak H. Abdul Manan, Bpk. H. Abdul Rozak, Bpk.H. Sayuti. Dengan bertambah besarnya masjid kegiatan keagamaan semakin meningkat. Masyarakat berduyun-duyun melintasi rawa-rawa dengan perahu kecil. Kesulitan dan rintangan yang mereka hadapi mengingatkan kita akan cobaan-cobaan yang harus dihadapi santri untuk mencapai kesempurnaan ilmu dan batin yang lebih tinggi.

Pada perkembangan selanjutnya, karena kondisi alam yang makin membaik dengan makin jarangnya terjadi banjir, masjid sering digunakan untuk kegiatan jamiah daerah luar. Salah satunya adalah Jantiqo (jama‟ah anti koler) yang digagas oleh gus Miek (KH. Hamim Jazuli) Ploso Mojo-Kidiri dari beliaulah mulanya usulan supaya KH. Abdul Aziz segera medirikan Pondok. Maka atas bantuan dari jamah dan para teman akrab, KH. Abdul Aziz mulai mendirikan lokal untuk pondok dan madrasah. Secara resmi pondok berdiri pada tahun 1994 yang diresmikan oleh KH. Nurul Huda, pengasuh Pondok Ploso Mojo Kediri, dengan nama “MIA” (Ma‟hadul Ilmi Wal Amal) yang nantinya diharapkan menjadi tempat bagi para pencari ilmu serta pengamalannya. Nama MIA itu sendiri merupakan pemberian dari Gus Miek.

Dengan bermodal sekitar sepuluh santri yang menetap di pondok, MIA terus mengalami pengem-bangan. Lambat laun pondok yang memberlakukan santri seperti keluarga sendiri ini, segera menaruh minat santri-santri dari daerah lain yang jauh untuk mondok. Pada umumnya mereka berasal dari kaum dhuafak yang ingin mengaji sambil bekerja.

Sehingga sampai sekarang pondok tidak melarang bagi mereka yang nyambi bekerja di luar. Tentunya pondok seperti ini di samping memiliki beberapa kelebihan juga memiliki kelemahan, diantara nilai tambah dari pondok ini ialah santri di dalam membiayai kebutuhannya tidak lagi menanti kiriman dari orang tua, yang tidak tentu datangnya itupun jarang sekali, bahkan bagi sebagaian santri tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Di samping itu pengalaman bekerja selama mondok dapat mereka jadikan bekal jika santri sudah pulang dan terjun ke masyarakat. Adapun kelemahannya ialah jika santri tidak pandai-pandai dalam membagi waktu, waktu belajar mereka menjadi tersita oleh pekerjaan.

Tanpa disadari bangunan pondok dan madasah menjadi telalu sempt bagi para santri yang jumlahnya semakin membengkak sehingga tidak mencukupi untuk menampung mereka. banyak dari kegiatan belajar mengajar diadakan di luar kelas, seperti di dalam dan serambi masjid, serambi dalem Romo Kyai, serta rumahnya Bapak Mualim. Kurangnya gedung tentu menjadi masalah yang mengganggu proses belajar mengajar. Namun tidak lama kemudian masalah ini segera teratasi dengan dibangunnya madrasah bagian barat yang berjumlah delapan lokal, dan peresmian bangunan ini bersamaan dengan khataman Alfiyah dan haflah akhirissanah tahun 2002 M.

3. Penerus Beliau

3.1 Anak Beliau
KH.M. Samsul Umam Aziz

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

KH. Abdul Aziz mulai berjuang menyebarkan Islam. laksana pendekar yang baru turun gunung, gebrakan pertama yang dimulai beliau adalah dengan mendirikan Masjid. Di masjid ini, beliau merekrut santri dari desa sekitar untuk dididik secara khusus dan intensif, mereka diajak untuk mencintai ilmu nahwu shorof. Hasilnya segera terlihat, semangat mereka menyala-nyala walaupun jumlah mereka yang sangat minim.

Salah satu kelebihan KH. Abdul Aziz yang sangat dikagumi santri-santri beliau adalah semangat yang tak pernah padam di tengah-tengah kesibukan dalam melayani tamu yang datang dan kesibukan dakwah di berbagai tempat, Beliau tidak meninggalkan keistiqomahan dalam memimpin jama’ah dan pengajian kitab.

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa kegiatan sehari-hari Romo KH. Abdul Azis, adalah berdakwah mengisi pengajian pada malam hari tertentu ke beberapa daerah sekitar. Di samping itu pada tiap hari kecuali hari jum‟at dan selasa setelah sholat subuh beliau mengadakan kuliah subuh dan pengajian tafsir Al-Qur‟an Al Ibris. Dan setiap malam selasa setelah sholat maghrib beliau mengadakan pengajian kitab kuning secara umum dan dalam kesempatan ini beliau gunakan untuk memberikan fatwa-fatwa tentang masalah hukum keagaman dan masalah sosial kepada jama‟ah yang sebagian besar adalah masyarakat umum. Sejak pagi hari setelah pengajian tafsir Jalalain Beliau, menerima tamu yang datang dari berbagai penjuru daerah.

Setelah sholat isya‟ sebagaimana kehidupan ulama‟ salaf beliau beristirahat didalam kamar dan melakukan sebagian besar malamnya dengan beribadah kepada Allah SWT. Suatu amalan yang dianjurkan oleh kitab suci Al-Qur‟an sebagai seorang yang mengaku pengikut sejati Nabi, beliau curahkan hampir seluruh waktu siangnya untuk mengabdi kepada umat manusia dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi kepada Allah SWT.

4.1 Karier Beliau
Karier Profesional
Pengasuh pesantren Panggung

Karier Organisasi

5. Referensi

https://campsite.bio/ponpesmia

https://www.laduni.id/post/read/517836/biografi-kh-abdul-aziz-pengasuh-pesantren-panggung.html