Biografi KH. Sa’doellah Nawawie, Ingin Syahid Ditembak Belanda Demi Indonesia

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Ingin Syahid Ditembak Belanda Demi Indonesia
3.2  Membekali Tentara dengan Ilmu Batin
3.3  Berjuang Tanpa Pamrih
3.4  Kembali ke Pesantren
3.5  Kaderisasi untuk Masa Depan
3.6  Mendirikan RMI
3.7  Terjun ke Dunia Politik
3.8  Membrantas PKI

4.    Teladan
4.1  Sikap Terhadap Keluarga
4.2  Telaten Mendidik Santri
4.3  Disiplin dan Tepat Waktu
4.4  Supel dalam Bergaul
4.5  Menolak jadi Menteri Agama
4.6  Penghubung Ulama dan Umara

5.    Keistimewaan dan Karamah
6.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
Kyai Sa’doellah lahir di Sidogiri pada tahun 1922 M. Beliau terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Nawawie bin Noerhasan dan Nyai Asyfi’ah yang sering disebut Nyai Gondang. Kakaknya yang seayah dan seibu adalah KH. Siradjul Millah-Waddin, sedangkan adiknya KH. Hasani dan seorang perempuan yang meninggal pada usia 4 (empat) tahun.    

KH. Nawawie, abahnya, adalah ulama besar yang menjadi salah seorang pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri ini menyetujui pendirian NU dengan syarat tidak mengurus uang (baca: tidak mengambil iuran pada anggota).

Kyai Sa’doellah, dibandingkan saudara-saudaranya, sejak kecil Kyai Sa’doellah bisa dibilang aneh. Saat kecil, beliau sangat dekat pada abahnya, KH. Nawawie. Saking dekatnya, apa saja yang dilakukan abahnya beliau tiru. Dan setiap kali abahnya bepergian, beliau mengikutinya dari belakang. Selain itu, KH. Nawawie memberi perhatian penuh padanya. 

Sejak kecil sudah tercermin bahwa beliau kelak akan menjadi orang besar dan ahli berdiplomasi. Suatu ketika ada seorang Arab bertamu pada KH. Nawawie. Saat itu Kyai Sa’doellah kecil duduk di samping abahnya tanpa memakai busana apapun.

Lantas orang Arab itu berkata,” Lho kelihatan pusarnya, aurat itu. Haram, haram!”. Dibilang begitu, Kyai Sa’doellah kecil ‘nyelonong masuk ke dalam dan kembali dengan memakai sabuk untuk menutupi pusarnya, tapi tetap tidak memakai baju.   

1.2 Riwayat Keluarga
Kyai Sa’doellah menikah dengan Nyai Sa’diyah binti KH. Syamsul Arifin dari Bondowoso tahun 1953 M. Dua hari setelah pernikahannya, Kyai Sa’doellah diberi seekor burung Kakak Tua oleh temannya. Setiap melihat beliau, burung ini mengangkat satu kakinya dan memekikkan kata, “Merdeka!”. Dari pernikahan beliau dikaruniai satu putri dan satu putra, yakni:

  1. Ning Dewi Hikmatus Sa’diyah (Istri Mas Muzammil Ma’shum Probolinggo)
  2. Mas D. Nawawy Sa’Doellah

Sebagai kepala rumah tangga, beliau sangat mengayomi dan sayang terhadap keluarganya, utamanya pada putra-putri beliau. Sering putra beliau, ketika masih kecil, dibawa rapat dengan Pengurus. 

Pernah di suatu rapat, sambil menggendong putranya itu, beliau bercerita,”Nawawy iki mandar dadi wong ae mbesok. Bien sek cili’e Nawawy iki ono Sidogiri nangis tok. Tak gowo mule nang Bondowoso, sik nangis ae. Embuh pirang dino ono ndik Bondowoso nangis ae. Akhire tak gowo muleh maneh nang Sidogiri, sik nangis ae. Dadi aku duwe samurai, tak dudukno pedang (iku) bek aku, ‘opo koen ‘Wy, kok nangis tok ‘Wy, enjuk iki tah?’”. Maka sejak saat itu, putranya tidak menangis lagi.

1.3 Wafat
Pada tanggal 11 Muharram 1392 H/25 Februari1972 M, suasana di sekitar Sidogiri terasa suram, salah satu tokoh panutannya, KH. Sa’doellah Nawawie, telah berpulang ke Rahmatullah. Dengan wafatnya, dunia terasa gelap.

Seakan setiap perasaan tercekam, merasa kehilangan tokoh yang diidolakan, sehingga tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Masyarakat sangat gelisah, karena beliau akrab sekali dengan masyarakat. Setiap orang yang mendengar berita kewafatannya sangat merasa kehilangan.  

Sampai-sampai KH. Ahmad Jufri Besuk, setelah datang dari Makkah menunaikan ibadah Haji dan mendengar kewafatan beliau, langsung ke Sidogiri. Saat itu KH. Jufri seperti akan pingsan, karena merasa eman (sayang) kehilangan beliau. Katanya, ”Siapa gantinya Kyai Sa’doellah?!”.  

Menjelang wafatnya, beliau ternyata sudah merasakan akan segera sampai umurnya. Tiga hari sebelum kewafatannya, ada suara yang uluk salam pada beliau tanpa diketahui orangnya. Sehingga beliau mengungkapkan, ”Aku iki wis kate mati, paling. Telung dino aku diuluk salami wong sing ndak katok. Aku yakin iki Malaikat Izrail! (Aku ini mungkin sudah akan mati. Tiga hari aku diuluk salami orang yang tidak kasat mata. Aku yakin ini Malaikat Izrail!)”.  

Pada hari kewafatannya, kekeramatan beliau sangat tampak. Di hari pemakamannya, rintik-rintik gerimis mengiringi. Padahal ketika itu musim kemarau. Dan lagi kira-kira jam 11 atau jam satu malam beliau wafat, namun jam 9 pagi lapangan Sidogiri sudah penuh dengan bus yang datang dari mana-mana untuk memberikan penghormatan terakhir pada tokoh yang selalu menjadi tumpuan untuk dimintai nasehat dan ide-ide yang brilian.  

Padahal telepon pada masa itu sangat jarang. Sampai sampai KH. Cholil karena merasa takjub dengan keadaan itu mengatakan di hari wafat adiknya itu, ”Kok bisa begini Kyai Sa’doellah ini? Saya tidak menyangka Kyai Sa’doellah punya kekeramatan seperti ini. Saya belum tentu seperti ini”. Akhirnya Kyai Cholil berkesimpulan, mungkin itu karena barakah beliau yang berbakti pada ibu. 

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan

Pendidikan beliau dimulai dari bangku madrasah yang bertempat di Gondang, desa asal ibundanya. Namun sekolahnya hanya sebentar, lalu pindah ke Sidogiri. Selanjutnya beliau tidak pernah sekolah lagi. Kyai Sa’doellah juga tidak tampak mengaji pada siapapun. Tapi sebetulnya, beliau turut mengikuti pengajian KH. Cholil Nawawie, kakak tirinya, yang diadakan di Masjid Sidogiri. Caranya dengan memakai salon yang disambungkan ke dalem.

2.1 Guru Beliau

  1. KH. Nawawie bin Noerhasan (ayah)
  2. KH. Cholil Nawawie (kakak)

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Ingin Syahid Ditembak Belanda Demi Indonesia
Semasa revolusi memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kyai Sa’doellah Nawawie mempunyai peran penting dalam memobilisasi rakyat guna membendung invasi asing yang menjajah bumi Nusantara. Bahkan dengan sigap penuh keberanian beliau mengangkat senjata dan memimpin pasukan untuk mengusir kolonial Belanda.  

Mulai 10 Oktober 1945 sampai 1 Januari 1946, beliau bergabung dengan front perlawanan Hizbullah selaku komandan Kompi II untuk Divisi Timur. Tentara yang dipimpin sekitar 250-an yang bermarkas di Sidogiri. Beliau bersenjatakan keris dan Pegras, sejenis pistol. 

Menurut pandangannya, agresi Belanda harus dihadapi dengan berperang. Memerangi Belanda adalah peperangan suci untuk membela tanah air dari invasi kaum kafir.  

Dengan ketegasan dan kedisiplinan seorang militer, Kyai Sa’doellah memimpin pasukannya dengan strategi yang matang dalam bergerilya. Kepiawaiannya dalam memimpin pasukan sangat dikagumi oleh pasukannya, sehingga mereka sangat patuh terhadap semua perintahnya. Bahkan pada tahun 1946, ketika berumur 24 tahun, beliau dan pasukannya ada di Tulangan Sidoarjo untuk mempertahankannya dari serangan Belanda. Dalam pertempuran itu, mereka kadang harus maju dan kadang terpaksa mundur untuk menyusun strategi.  

Ketegasan beliau melawan Belanda, berbeda jauh dengan KH. Hasani, adiknya, yang berjuang melalui pendekatan terhadap Belanda. Pernah beliau mendapat keluhan dari bawahannya tentang sikap Kyai Hasani yang dekat dengan Belanda, sampai memakai baju doreng tentara Belanda dan pernah naik tank Belanda. ”Kalau betul Kyai Hasani itu ikut Belanda, tidak usah kalian yang membunuhnya. Aku sendiri yang akan menembaknya. Tapi aku akan menanyakan pada Kyai Hasani dulu apa maksudnya dia seperti itu,” ungkap beliau.  

Lalu beliau mengajak Kyai Hasani bertemu di suatu tempat, dan menanyakan apa maksud dari semua perbuatannya. Lantas Kyai Hasani mengungkapkan alasannya, yakni ingin menyelamatkan santri. Karena pada masa itu pesantren kosong ditinggalkan berjuang dan mengungsi oleh semua Kyai. “Kalau aku tidak berbuat begini, pasti pondok dibakar,” ungkapnya. Mendengar alasan itu, Kyai Sa’doellah tidak bertindak apapun.

Semangat dan keberanian Kyai Sa’doellah dalam berjuang sangat tinggi, sehingga tidak mementingkan diri sendiri. Kesehariannya rela ada di mana-mana, bergerilya dan bertempur di medan perang. Pernah beliau pergi ke Semarang, Yogyakarta dan tanah Betawi untuk menghadapi agresi Belanda, dengan menunggang seekor kuda dan memegang cemeti. Sedangkan pasukannya diangkut dengan truk. 

Untuk menyemangati pasukannya, sebelum berangkat berperang, Kyai Sa’doellah membakar semangat mereka dengan orasinya yang menggebu. Beliau mengintruksikan pada semua pasukannya agar jangan takut dan susah. Walau digertak bagaimanapun juga oleh Belanda, jangan sampai ada yang menyerah. 

Ayat Al-Qur’an yang sering disampaikan pada pasukannya adalah, ”Kullu nafsin dza’iqatu al-maut” (QS. Ali Imron:185). Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Menurut beliau, ”Walau bagaimanapun juga, setiap manusia pasti akan merasakan kematian. Jadi jangan sampai takut mati dan susah. Pantang mundur, dan terus maju!”.  

Perjuangan beliau sangat sistematis dan taktis. Diceritakan bahwa suatu ketika, untuk mengacaukan daerah kekuasaan Kyai Sa’doellah, musuh menyebarkan isu bahwa gagak hitam akan menyerang daerahnya. Mendengar isu itu, Kyai Sa’doellah juga menyebarkan isu bahwa gagak putih akan melawan gagak hitam itu.  

Untuk membakar semangat pasukannya di medan tempur, dengan penuh keberanian beliau ada di garis depan dan memekikkan kalimat, ”Allahu Akbar!!”. Konon keanehan terjadi setiap kali beliau membaca takbir. Yaitu langit menjadi mendung gelap, sehingga Belanda tidak bisa melihat dan merasa gentar. Takut untuk menghadapi tentara Islam.  

Di kalangan pasukannya, beliau dikenal sebagai sosok yang pemberani. Sehingga beliau pernah masuk ke markas gudang penyimpanan senjata Belanda yang bertempat di Pasuruan, bersama KH. R. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, santri sekaligus anak buahnya dalam pasukan.  

Saat peperangan melawan tentara Sekutu meletus di Surabaya tanggal 23 November 1945, Kyai Sa’doellah dengan membawa pasukannya membantu pejuang arek-arek Suroboyo itu untuk mempertahankan tanah air dari ambisi penjajah yang ingin menguasainya. Tepatnya di daerah Wonokasian. Selama 20 hari peperangan berlangsung seru. Ribuan manusia bergelimpangan terkena mortir-mortir yang dimuntahkan dari kapal-kapal Sekutu. Peristiwa itu dikenang sebagai Hari Pahlawan. 

Di saat agresi kesatu, 21 Juli 1947 sampai 3 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan besar-besaran secara umum, meliputi Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Bondowoso. Saat itu, pertahanan yang ada di Pandaan Pasuruan jebol, sehingga Belanda merembet ke daerah Pasuruan.

Mereka menyisir keberadaan tentara pejuang terus menuju Sidogiri, yang merupakan tempat markas para pejuang. Setelah sampai di Pelinggisan, mereka dihadang oleh pejuang dari Kompi IV, yang dipimpin Kapten Abdul Latif dan Mahfud Jupri, dengan senjata seadanya. Hingga pertahanan di Pelinggisan pun jebol. 

Merembetnya Belanda menuju Sidogiri sudah diketahui para pejuang yang ada di Sidogiri lewat tiliksandi (mata-mata). Untuk menghindari kebengisan Belanda yang sudah mengamuk, akhirnya para pejuang, termasuk Kyai Sa’doellah, keluar dari Sidogiri menuju Kepanjen Malang. Mereka berkumpul dengan Komandan Batalyon TNI Syamsul Hisyam, dari tahun 1947 s.d. 1949 M.  

Rupanya serangan Belanda ke Sidogiri sangat merugikan. Karena saat itulah salah satu tokoh pejuang, KH. Abdul Djalil bin Fadlil (ayahanda KH. Abdul Alim Abdul Djalil Pengasuh PP. Sidogiri), gugur ditembak oleh Belanda. Kyai Sa’doellah ketika mendengar kakak iparnya itu meninggal, langsung mengambil senjatanya dan hendak melawan Belanda. Namun beliau dihalangi oleh KH. Abdul Adzim, kakak iparnya yang lain, demi menghindari jatuhnya korban yang berkelanjutan. 

3.2 Membekali Tentara dengan Ilmu Batin 
Selain persiapan dzahir, beliau juga membekali pasukannya dengan berbagai ilmu batin sebelum berangkat ke medan laga. Caranya, beliau mengambil Al-Qur’an lalu diletakkan dalam sebuah wadah yang berisikan air, kemudian diminumkan pada semua tentara.  

Konon ijazah itu akan membuat orang yang meminumnya kebal dari peluru. Tapi pasukan yang meminumnya harus menjauhi dua pantangan. Yaitu tidak boleh menggoda perempuan dan mengambil harta jarahan perang (ghanimah). Kalau melanggar pantangan pertama, maka akan terkena penyakit belang. Dan kalau melanggar pantangan kedua, maka akan meletus badannya. 

Selain itu, Kyai Sa’doellah memberi wirid yang dibaca ketika berperang. Yakni  Bismillâh bi ‘aunillâh 3 x, Allâhu yaghfir 3 x , Ilâhanâ Anta Maulânâ wanshurna ‘alal qaumilkafirîn. Konon ketika wirid ini dibaca tentara beliau, Belanda tidak bisa melihat mereka. Wirid itu oleh Kyai Sa’doellah diberi nama Lembu Sekelan.

Artinya, dalam perasaan Belanda pelurunya akan mengenai sasaran, namun pada kenyataannya luput. Sedangkan hizib beliau yang kedua adalah Lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhil‘aliyyil-‘azhîm 200 x. Hizib ini diberi nama Hizib Tembok Suarga, yang akan membentengi pasukan dengan kekuatan yang kokoh. 

3.3 Berjuang Tanpa Pamrih
Kemerdekaan Bangsa Indonesia dari belenggu kaum penjajah adalah tujuan utama perjuangan Kyai Sa’doellah. Hal ini tercermin dari perkataan beliau pada seorang temannya tentang gugurnya KH. Abdul Djalil, ”Seandainya Indonesia belum merdeka, saya juga ingin mati ditembak Belanda, tapi asalkan Indonesia merdeka”. Artinya, beliau tidak rela mati kalau Indonesia tidak merdeka.  

Semangat beliau untuk menjadikan Indonesia lepas dari kaum imperialis Barat sangat tinggi. Sehingga, saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Presiden Soekarno di Jakarta, beliau hadir mendengarkannya dan berkumpul dengan para tokoh Proklamasi yang lain.

Beliau juga menyanyikan lagu, ”Sorak-sorak bergembira, bergembira semua. Sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka. Indonesia merdeka… merdeka! Republik Indonesia. Itulah hak milik kita, untuk selama-lamanya. Merdeka… merdeka… merdeka…!!”.

Ikhlas dan tanpa pamrih, itulah perjuangan beliau. Ini terbukti pada saat ada rasionalisasi pasukan dari Pemerintah pada tahun 1950 dan Belanda sudah angkat tangan sekaligus angkat kaki dari Indonesia. Pemerintah menginstruksikan agar semua pasukan pejuang memfusikan diri menjadi satu badan pasukan yang disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI). Saat itu Kyai Sa’doellah tak berkenan untuk masuk dalam jajaran ketentaraan, walaupun kawan-kawannya ada yang sampai menjadi jenderal setelah masuk TNI. 

Dan setelah perjuangan, beliau tak pernah mengambil gaji pensiunan yang diberikan Pemerintah pada veteran perang, dan hal itu juga diperintahkan pada semua pasukannya. Alasan beliau, takut perjuangannya tidak ikhlas demi membela tanah air. Karena itulah sampai sekarang sebagian pasukan beliau tidak mau menerima gaji pensiunan.

3.4 Kembali ke Pesantren 
Setelah Indonesia betul-betul merdeka, pada tahun 50-an Kyai Sa’doellah kembali ke Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) untuk mengurusi santri, yang pada masa itu kira-kira berjumlah 1.500-an. Beliau menjabat Penanggung Jawab sekaligus Ketua Umum PP. Sidogiri. Walau banyak yang menganjurkan agar masuk ke jajaran TNI, Kyai yang dalam surat-surat resmi suka memakai nama A.S. Nawawie ini tetap tidak berkenan. Ini menunjukkan betapa ikhlasnya beliau dalam perjuangannya dan begitu semangatnya beliau untuk mendidik santri.  

Keberadaan Kyai Sa’doellah di tengah-tengah pesantren rupanya memberi banyak arti dalam memajukan PP. Sidogiri pada masa selanjutnya. Banyak kebijakan dan gagasannya yang memperpesat perkembangan PP. Sidogiri, utamanya dalam hal administrasi dan pengorganisasian. Peninggalan dan jasanya sangat banyak, sehingga ketika beliau wafat ada taushiyah dari KH. Cholil Nawawie, ”Apa-apa yang direncanakan Kyai Sa’doellah supaya dilanjutkan, agar menjadi (amal) jariyah-nya”.  

Kebijakan beliau, antara lain pada tahun 1961 memprakarsai terbentuknya koperasi PP. Sidogiri. Pada awalnya, koperasi tersebut hanya berupa toko-toko kecil yang terletak di Daerah-daerah (kompleks pemukiman santri PP. Sidogiri) dan di Perpustakaan Sidogiri sekarang. Kini, rintisan beliau yang berupa koperasi ini berkembang menjadi 10 unit yang tersebar di beberapa desa, dan omzetnya mencapai milyaran rupiah.  

Selain itu, pada tahun 1961 M, beliau juga memprakarsai pengiriman guru tugas PP. Sidogiri ke berbagai daerah di Jawa Timur, bagi yang lulus Tsanawiyah. Dengan itu, diharapkan agar santri bisa menyalurkan ilmunya dan belajar untuk beradaptasi dengan masyarakat. 

Beliau juga sangat syafaqah (sayang) pada santri. Rasa syafaqah beliau pada santri terbukti ketika para santri akan pulang sendiri-sendiri saat pulangan santri. Beliau memberi intruksi agar santri disediakan bis rombongan, tujuannya agar tidak ditipu orang. Sebab pada masa itu sedang marak-maraknya penipuan. Dawuh beliau, ”Kalau santri ditipu orang, maka berarti saya yang dikena tipu”.

3.5 Kaderisasi untuk Masa Depan Santri 
Menurut pandangan Kyai Sa’doellah, pesantren bukan hanya merupakan suatu lembaga tempat pengembangan ajaran Ahlussunnah waljamaah dan tempat mempertahankannya dari serangan akidah-akidah yang lain, tapi juga sebagai tempat latihan bermasyarakat Islami. Oleh karenanya sangat perlu kaderisasi sebagai pembekalan untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat. 

Beliau sangat antusias dalam mengkader santri agar menjadi pemimpin yang profesional. Kalau melantik pengurus, beliau bersedia untuk hadir dan memberi arahan yang kadang sampai jam dua malam. Beliau sering memanggil para pengurus Pesantren, lalu membimbing dan membina mereka. Kadang dengan cara diceritai bermacam-macam cerita. Tujuannya untuk membina watak mereka. 

Beliau juga transparan dalam forum rapat, sehingga kalau dikritik bagaimanapun juga beliau terima dengan baik. Beliau berharap, santri keluaran Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) sampai tingkat apa saja, supaya berkiprah sesuai dengan tingkatannya. 

Dalam pelatihannya, yang diutamakan oleh beliau adalah para putra pemimpin atau tokoh masyarakat. Karena beliau beranggapan, bagaimanapun juga dia kelak akan menjadi pemimpin, oleh karenanya harus dilatih. Untuk membimbing mereka dalam hal kepemimpinan, beliau menjadikan mereka Pengurus. Agar mereka bisa berlatih menjadi pemimpin.  

Pembekalan jiwa kepemimpinan terhadap santri beliau wujudkan melalui sistem kepengurusan PP. Sidogiri. Pada masa itu format kepengurusan disesuaikan dengan tatanan pemerintahan negara. Seperti di PP. Sidogiri dulu ada Dewan Perancang dan Dewan Pelaksana. Sedangkan kedaerahan dibagi menjadi tiga seperti yang ada di Pulau Jawa. Daerah Tingkat I Timur meliputi Daerah A, B, dan I; Daerah Tingkat I Tengah meliputi C, D, dan E; dan Daerah Tingkat I Barat meliputi H, G, dan F. Masing-masing dipimpin oleh satu orang, laksana sistem Gubenuran. Sehingga mirip Gubenur Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Penanganan di lapangan secara penuh diamanatkan pada Pengurus Daerah. Sehingga pada masa itu kepatuhan santri pada Pengurus seakan-akan sama dengan kepatuhannya ketika berhadapan dengan Kyai. 

Kyai Sa’doellah punya cara unik untuk membiasakan pengurus bersikap kritis dalam rapat, meskipun kepada beliau. Caranya, sebelum rapat beliau memanggil dan menyuruh Ust. Zainal Abidin untuk menanggapi pendapat beliau dalam rapat. Oleh ‘Gubernur Jawa Tengah’ ini, perintah Kyai dilaksanakan.

Tentu saja Pengurus-pengurus lain kaget dan mencelanya seusai rapat, “Masak Kyai ditentang!”. Namun setelah itu mereka tidak sungkan lagi bersikap kritis dalam rapat-rapat, sesuai keinginan Kyai Sa’doellah.    

Untuk mewujudkan sosok pemimpin yang ulung dan menguasai kemampuan berorasi, Kyai Sa’doellah mencetuskan berdirinya organisasi Jam’iyatul Muballighin (Jamub) sebagai wadah kreasi santri dalam bidang dakwah. Sehingga mampu melahirkan beberapa orator handal. Semua itu tak lain agar ketika santri harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, mereka sudah menguasai betul teori dakwah yang sebenarnya. 

Kyai Sa’doellah menginginkan santri tetap berdisiplin tinggi dan mempunyai rasa tanggungjawab. Misalnya ketika Ketua Koperasi pada masa itu akan berhenti menangani koperasi, karena merangkap Ketua II PP. Sidogiri dan wali kelas, Kyai Sa’doellah memperbolehkannya dengan berkata, ”Boleh, asalkan (pada) penggantinya, kamu yang bertanggung jawab”. Ucapannya itu sebagai cerminan begitu sistematisnya cara beliau mendidik dan mengkader santri. 

Pernah ditanyakan pada beliau, kenapa di Sidogiri tidak didirikan perguruan tinggi seperti di pesantren lainnya. Beliau menjawab, ” Sidogiri itu sumber. Kalau sumber itu murni sumber, maka bisa dibuat apa saja. Bisa jadi es, jindul dan lainnya. Kalau sudah dibuat sesuatu, maka tidak bisa dibuat apa saja”.

3.6 Mendirikan RMI
Untuk menyatukan visi dan misi seluruh pondok Pesantren dalam mempertahankan Ahlussunnah Waljamah, utamanya pesantren salaf, Kyai Sa’doellah bersama KH. Achmad Jufri Besuk serta KH. Achmad Shiddiq Jember, menginginkan agar semua pondok pesantren berafiliasi dalam satu wadah organisasi. Sering mereka bertiga berembuk mematangkan ide, baik di Sidogiri atau di Besuk, sehingga pada akhirnya diputuskanlah organisasi itu bernama IMI (Ittihad Ma’had Islami).  

Untuk mendapat pengesahan dari PBNU, mereka sepakat untuk mengajukannya pada KH. Abdul Wahab Hasbullah yang ketika itu menjabat Rais Aam PBNU. Rupanya Kyai Wahab merespon dengan baik, sehingga organisasi itu menjadi salah satu organisasi dibawah naungan NU. 

Pada akhirnya, pada tahun 50-an, dilaksanakanlah konferensi, yang bertempat di rumah KH. Achmad Siddiq Jember. Konferensi ini dihadiri oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Setelah melalui perdebatan seru tentang nama organisasi persatuan antar pondok pesantren itu, akhirnya atas usulan KH. Abdul Wahab Hasbullah diputuskan organisasi itu bernama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) dengan mengacu pada ayat,”Ya ayyuha alladzîna âmanû ishbirû wa shâbirû warâbithû wattaqullâha, la’allakum tuflihûn”(QS. Ali Imron:200). Sampai sekarang RMI menjadi salah satu organisasi otonom NU.

3.7 Terjun ke Dunia Politik
Sebagai tokoh masyarakat yang disegani, peran dan otoritas Kyai Sa’doellah bukan hanya menjangkau wilayah keagamaan. Sebab, dalam perjuangannya membela rakyat kecil, beliau terjun langsung ke dalam ranah sosial dan politik. Pada Pemilu tahun 1955 beliau sangat gigih membela Partai Nahdlatul Ulama (NU) hingga rela menjadi Jurkam untuk memperjuangkan kemenangannya.  

Prinsip beliau dalam memperjuangkan NU tak lain karena NU adalah partai para ulama, sedangkan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa yang takut pada Allah SWT. hanyalah para ulama.

Selain itu, karena NU masih memperjuangkan misi sebagaimana awal berdirinya untuk mempertahankan prinsip Ahlussunnah waljama’ah dan sesuai dengan restu KH. Nawawie bin Noerhasan, ayahnya, yang mensyaratkan tidak mengurusi uang. Maka sangat pantas kalau beliau sangat mendukung untuk kebesaran NU.

Rupanya, ikutnya NU sebagai kontestan dalam Pemilu 1955, sangat mengejutkan publik. Partai NU pada waktu itu menduduki posisi ketiga dengan meraup 18,4% suara, setelah PNI dengan 22,3% suara dan Masyumi 20,9% suara, sehingga mengantarkan Kyai Sa’doellah ke kursi anggota sekaligus Ketua DPRD Gotong Royong Pasuruan. Padahal NU termasuk partai baru, sebelumnya pada tahun 1952 NU memutuskan berafiliasi dengan Partai Masyumi. Semua itu tak lepas dari peran ulama, termasuk Kyai Sa’doellah.  

Di kursi Ketua DPRD, beliau menunjukkan sikap politikus yang handal, sehingga pendapatnya di DPRD selalu dihargai. Sebagai wakil rakyat, dengan otoritas keilmuan dan ketegasannya, beliau sampaikan aspirasi rakyat dengan keberanian yang tinggi, sehingga beliau sangat disegani oleh anggota DPRD yang lain. Perjuangan beliau lewat jalur politik memang betul-betul murni memperjuangkan nasib rakyat kecil. Terbukti selama beliau berada DPRD sama sekali tidak pernah menerima gaji. 

Jabatan beliau di DPRD disandang selama tiga tahun, karena pada tahun ketiga beliau mengundurkan diri. Penyebabnya adalah perasaan beliau dihantui oleh kebimbangan atas langkah politiknya selama ini. Beliau mundur setelah menyuruh salah satu santri asal Pamekasan untuk melakukan ritual istikharah lewat Al-Qur’an, dengan sistem menghitung huruf Kha’ dan Syin, tanpa mengutarakan alasannya. Ternyata istikharah menunjukkan  beliau harus berhenti. 

Akhirnya, beliau memutuskan berhenti. Setelah itu, baru beliau mengungkapkan alasannya menjadi DPRD, karena untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Dan ternyata semua itu menurut beliau tidak tercapai. “Dan saya waswas terhadap apa yang saya makan.

Bagaimana tidak? Karena yang dibahas di sidang itu bukan menghapus prostitusi, tapi memutuskan agar dilegalisasi dengan membuatkan lokalisasi dan ditarik pajak dengan alasan-alasan yang bermacam-macam. Pada akhirnya argumen anggota yang menolak tidak kuat. Sedangkan yang mengetok palu adalah saya. Bagaimana ini, apakah saya tidak dosa?” ungkap beliau.

“Sementara itu, minuman bir yang dibahas di dalam sidang adalah pajaknya. Bukan memberantasnya, melainkan akan ditarik pajak. Pada akhirnya diputuskan tentang penarikan pajak. Sedangkan yang mengetok palu adalah saya. Berarti tidak pok (sesuai) amar ma’ruf yang dijuangkan dengan ketokan palu yang saya putuskan,” imbuhnya.  

Pada pemilu pertama dalam kekuasaan Orde Baru tahun 1971, beliau tetap memperjuangkan kemenangan NU. Padahal di masa-masa itu sedang kisruh-kisruhnya negara dengan gerakan yang dilancarkan Orde Baru bagi yang tidak memihak pada Golkar. Pada akhirnya Partai NU bisa meraup 18,7% suara. Nomor dua setelah Partai Golkar yang mendapat 67,8% suara. Namun saat itu beliau tidak mau dicalonkan lagi menjadi anggota DPRD.

3.8 Memberantas Kebiadaban PKI 
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada tahun 1965 dan diawali dengan penculikan Dewan Jenderal, rupanya menggugah Kyai Sa’doellah untuk kembali turun ke medan juang demi memberantas pengkhianat bangsa tersebut. Juga demi menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. 

Dasar beliau begitu gigih memberantas gerakan PKI karena mereka tidak mempercayai adanya Tuhan (atheis). Bukan syirik, melainkan lebih parah lagi hingga tak bertuhan. Itu menyalahi hati nurani, juga menyalahi aturan negara. Bagaimana bisa dibenarkan hal sedemikian, yang pada akhirnya akan menuhankan diri sendiri.   

Sebagai pimpinan, beliau sangat membela gerakan-gerakan yang dilakukan Ansor. Suatu ketika ada anak-anak Ansor membantai seorang PKI di Pelinggisan, lantas semuanya ditahan di Kodim oleh pihak keamanan.

Lalu Kyai Sa’doellah meminta pada pihak Kodim untuk membebaskan mereka dengan mengancam, ”Kalau jam lima tidak dibebaskan, maka markas akan saya balik!”. Ancaman ini membuat panik aparat. Setelah mendengarnya, aparat Kodim langsung menghubungi beliau lewat telepon dan berjanji akan membebaskan tawanan. Ternyata sebelum jam lima, sudah dibebaskan.

4. Teladan Beliau
“Surga berada di telapak kaki ibu”. Itulah arti sebuah hadits yang menggambarkan betapa agungnya kedudukan seorang ibu. Hadits ini rupanya menancap kuat di hati Kyai Sa’doellah Nawawie, sehingga betul-betul diaplikasikan dalam bentuk nyata. Terbukti, beliau menggendong ibundanya, Nyai Asyfi’ah, ketika akan ke jeding dan lainnya. Padahal beliau sendiri sudah sepuh sekitar umur 50-an.  

Selain itu, Nyai kebetulan tidak mengetahui kenaikan nominal uang dan kenaikan harga barang. Kalau menyuruh khadam membeli sesuatu, beliau hanya memberi uang satu ci dua ci (nominal terendah saat itu).

Namun Kyai Sa’doellah tidak menegurnya, beliau hanya memanggil si khadam dan menambah uangnya. Pesan Kyai Sa’doellah pada santri sebelum pulangan, “Santri-santri ketika mau kembali ke pesantren diharapkan mencuci kaki ibunya kemudian diminum”.  

Pernah suatu ketika, Khai Sa’doellah mengadakan rapat dengan seluruh Pengurus dan guru yang bertempat di gedung Madrasah (Daerah K sekarang). Di tengah-tengah pidato beliau menangis, karena terbayang akan ibunya yang sudah meninggal. Dengan lirih beliau berkata, ”Kalian jangan berani-berani pada ibumu. Surga itu ada di telapak kaki ibu”.

Pernah ada santri yang bernama Ra ‘Datsir (sekarang KH. Mudatsir) dari Pamekasan yang menjabat ketua II pada masa itu, minta izin pulang guna menyelenggarakan Haul abahnya. Dan dia mengajak KH. Bahrullah Aziz dari Jember yang menjabat Bendahara Umum. Setelah diizini, mereka pulang. Setelah itu, ternyata keduanya terlambat kembali ke pondok dari ketentuan yang diizinkan. 

Setelah sampai di pondok, keduanya tidak langsung laporan, padahal sebelumnya Kyai Sa’doellah telah menanyakan keberadaan keduanya. Tak selang begitu lama, Ra ‘Datsir dipanggil ke dalem. Setelah sampai, dia langsung dimarahi oleh Kyai.

Ketika itu beliau sangat marah, sampai mukanya merah padam dan menggebrak meja. ”Kenapa kamu terlambat?! Kamu kan punya tanggung jawab!! Kamu kan Wali kelas dan Bahrullah itu kan Bendahara, bagaimana dibawa sampai lama-lama begini!!” kata beliau.  

Ra Datsir pun mengutarakan halangannya, kenapa terlambat. Yakni karena oleh ibunya masih belum diizinkan kembali sebelum menyelesaikan sesuatu di rumah. Sebelum Ra Datsir meneruskan ucapannya,

Kyai Sa’doellah langsung menangis tersedu-sedu sambil berkata, ”Sudah saya memaafkan, kalau itu karena ibu, kamu terlambat. Saya memaafkan. Tidak ada bandingannya orang berbakti pada ibu”. Beliau terus menangis sampai lama. Semua itu membuktikan bahwa Kyai Sa’doellah sangat tinggi pengabdiannya pada kedua orang tua, terutama pada ibu. 

4.1 Sikap terhadap Keluarga 
Hubungan dengan keluarga Sidogiri yang lain sangat harmonis dan bagus sekali, sampai-sampai berbicara pada semua saudara beliau memakai bahasa yang sopan (boso, Jawa).  

Di masa remajanya, sikap beliau pada saudara-saudaranya sangat akrab. Sering beliau berboncengan dengan KH. Cholil, kakaknya, dengan menaiki sepeda ontel. Dan sering beliau tidur di kasur kakaknya tersebut. Pada KH. Noerhasan Nawawie, kakak tertuanya, juga sangat akrab. Suatu ketika saat KH. Noerhasan tidur-tiduran, beliau tindih dari atas. Padahal KH. Noerhasan berbadan kecil dan Kyai Sa’doellah berbadan gemuk. Kontan Kyai Noerhasan tidak bisa bergerak. 

Namun anehnya, setelah berkeluarga dan punya anak, beliau bisa merubah sikapnya 180 derajat. Yang pada awalnya beliau sering bersenda gurau dengan kakak-kakaknya, seketika langsung boso pada semua keluarga yang dianggap lebih tua.

Sebelumnya, kalau bersalaman pada kakak-kakaknya biasa saja, seketika berubah mencium tangan. Pada awalnya, kejadian ini dianggap gurauan oleh KH. Noerhasan. Kata beliau ketika dibosoi oleh Kyai Sa’doellah,”He, opo ae koen ‘Lo!”. “Mboten Kang ‘Mat,” jawab Kyai Sa’doellah. Keheranan KH. Noerhasan pun diungkapkan pada temannya 

Kyai Sa’doellah adalah salah satu Panca Warga (Lima putra KH. Nawawie bin Noerhasan) yang merangkul semua kalangan keluarga, sehingga pada masanya semua keluarga dapat bersatu untuk membangun kesuksesan PP. Sidogiri.

Beliau sangat perhatian terhadap anggota Keluarga Besar PP. Sidogiri yang lain, sampai menggratiskan I’anah Mashlahah (iuran tahunan pondok) dan iuran sekolah pada putra-putra mereka, dan tidak menarik uang listrik yang dialirkan lewat mesin Diesel ketika itu. 

Pada mula berdirinya koperasi yang bertempat di Daerah Daerah, beliau menyuruh anggota Keluarga untuk mengisi jajan di warung-warung koperasi, agar ada pemasukan pada Keluarga dalam hal nafkah hidup. ”Masak Keluarga akan jual tempe di pasar? Tidak pantas,” ungkap beliau.

Ketika Koperasi sudah menjadi satu, Kyai Sa’doellah juga meminta pada Keluarga untuk menanam saham di koperasi. Sehingga sampai sekarang anggota Keluarga Besar PP. Sidogiri masih punya saham di koperasi PP. Sidogiri. 

4.2 Telaten Mendidik Santri 
Keistimewaan Kyai Sa’doellah dalam cara mendidik santri adalah sangat telaten dan penuh perhatian. Sehingga santri lebih merasa berhadapan dengan seorang ayah dari pada seorang guru. Cara beliau mendidik jiwa santri ialah sangat berhati-hati dalam menjaga perasaan.

Ketika ada santri yang kurang tepat dalam melaksanakan sesuatu, beliau tidak langsung memarahinya. Namun mengarahkannya dengan ucapan, ”Kalau begini, bagaimana? Kalau begini, bagaimana?”.  

Beliau sering turun tangan sendiri, baik ketika berhubungan dengan santri atau orang lain. Dan ketika memberi wejangan pada orang lain, kadang beliau sampai menangis. Sering Kyai Sa’doellah mewanti-wanti santri agar jangan sampai melanggar sedikitpun. Beliau tidak ingin sedikitpun ilmu yang didapatkan di Pesantren ada yang tidak bermanfaat.   

Maka dari itu, beliau menganjurkan agar semua santri mentaati semua peraturan PP. Sidogiri, dan selalu bersungguh-sungguh (IJTIHAD) dalam mencari ilmu. Sering beliau mengutip ucapan KH. Abdul Djalil bin Fadlil, kakak iparnya, ”Uthlub ‘uluman wajtahid katsiran”. Carilah ilmu sebanyak mungkin dan bersungguh-sungguhlah. 

Kalau diamati, semua pesan-pesan beliau pada santri mengarah pada perjuangan dan keberhasilan nanti di masyarakat setelah boyong. Ambil contoh, beliau pernah berpesan pada seorang santri yang akan boyong agar kalau ada di masyarakat jangan lekas marah terhadap omongan orang lain.

Pesan beliau, ”Jek peggelen dek ocean oreng, lamon tero deddieh oreng”. Pesan itu memberi arti bahwa ketika berhadapan dengan masyarakat, maka kesabaran harus ditanamkan dalam hati. 

Selain itu, beliau sering berpesan terhadap santri yang akan boyong, agar jangan sampai lupa pada Pondok Pesantren Sidogiri. Kalau sempat, sambang ke Sidogiri. Dan kalau sangat tidak sempat, maka bacaan Al-Fatihah-nya saja sambungkan.

Dan beliau mengharapkan kalau sudah menjadi tokoh masyarakat dan akan membangun Madrasah, maka diberi nama “Madrasah Miftahul Ulum”, disamakan nama Madrasah di PP. Sidogiri. Agar ketika melihat papan nama bertuliskan “Madrasah Miftahul Ulum”, sesama alumni PP. Sidogiei merasa dekat dan bisa berhubungan.  

Sebagai tempat bercermin bagi santri, ketika berpidato di hadapan mereka biasanya pada malam Jumat beliau sering menceritakan perjalanan para ulama dalam berjuang dan menuntut ilmu. Yang sering diceritakan adalah perjalanan Syaikhona Cholil Bangkalan dari tempat mondoknya di Wonosari ke Sidogiri, untuk mengaji pada KH. Nawawie bin Noerhasan.

Sedangkan jarak antara Wonosari dan Sidogiri kira-kira 13 KM. Setiap kali berangkat ke Sidogiri, Syekh Cholil Bangkalan membaca surat Yasin 20 kali. Sedangkan pulangnya ke Wonosari membaca 20 kali, dan diimbuhi membaca satu kali di Warungdowo, hingga genap 41 kali. ”Bagaimana tidak akan menjadi wali, kalau tirakatnya seperti itu,” sambung beliau.

Selain itu, beliau juga sering menceritakan dakwah para Walisongo. Kadang apa yang beliau sampaikan sifatnya seperti menceritakan orang lain, namun ternyata dialaminya sendiri. Hal itu terungkap setelah beliau wafat, ketika ada salah satu anak buahnya di masa perjuangan mengatakan bahwa yang diceritakan Kyai Sa’doellah itu terjadi pada dirinya sendiri.  

Intinya, semua kehidupan beliau adalah ajaran bagi santri. Semua langkah beliau, haliah atau kauniah, dan semua yang tampak, menjadi panutan bagi santri.

4.3 Disiplin dan Tepat Waktu 
Sebagaimana seorang tentara yang harus selalu disiplin, Kyai Sa’doellah dalam kesehariannya memegang teguh kedisiplinan. Bila ada rapat jam 8, maka jam 8 beliau sudah ada di tempat acara. Beliau juga sering memberi wejangan pada Pengurus Pleno ketika rapat, agar selalu disiplin, jangan sampai ada sesuatu yang lain masuk, lalu meninggalkan kedisiplinannya. 

Semua itu tercermin dari kebijakan beliau dalam menangani sistem keamanan PP. Sidogiri yang membentuk Keamanan Daerah dan Keamanan Umum. Semuanya diatur langsung oleh beliau.

Dan anehnya, beliau sangat senang bila santri jebolan Pesantrennya jadi tentara, sesuai dengan karakter jiwanya yang pernah menjadi komandan tentara Hizbullah.

Sampai-sampai beliau berkata, ”Kenapa santri tidak ada yang mau jadi tentara?”. Dimasa beliau juga dibentuk Pertahanan Sipil (Hansip), yang juga mengamankan Pesantren. 

Untuk kepulangan santri, beliau sangat ketat, sehingga menginginkan santri pulang hanya satu kali dalam satu tahun. Yaitu pada bulan Ramadlan saja. Bagi santri yang terlambat kembali setelah pulangan, maka harus membawa keterangan wali santri kenapa terlambat. Kalau tidak membawa surat keterangan, maka disuruh pulang lagi.

Keinginan beliau itu hampir menjadi ketetapan dalam peraturan, dan sudah diumumkan sebelum pulangan Ramadan ketika itu. Namun setelah diajukan pada Kyai Cholil Nawawie, kakaknya yang menjadi Pengasuh PP. Sidogiri, ternyata beliau tidak menyetujui. Akhirnya rencana ketetapan itu dicabut. 

Selain disiplin, Kyai Sa’doellah sangat tegas dalam menindak santri yang melanggar, sampai memberikan ultimatum pada seluruh Pengurus, ”Santri yang salah tetap disalahkan, jangan dibela-bela. Dan santri yang melanggar, maka ditindak sebelum ditindak di rumah”.   

Beliau senang sekali melihat santri berambut pendek, dan sebaliknya sangat tidak senang melihat santri berambut panjang. Beliau langsung memanggilnya untuk dipotong rambutnya. Kyai Sa’doellah juga sangat tidak suka kalau santri bermain api, bersiul dan bernyanyi di sungai atau tempat lain, dan selain pengurus memperbaiki kerusakan listrik sendiri.  

Kalau ada santri mau pulang boyong lalu minta maaf, maka takkan diterima kecuali menyebutkan satu persatu kesalahannya. Semua itu agar tidak diambil mudah oleh santri. Suatu ketika ada seorang santri yang akan berangkat tugas minta doa wirid, dengan alasan takut mengecewakan Sidogiri sebagai utusan Sidogiri. Kyai Sa’doellah menjawab, ”Kalau Sidogiri kecewa, itu karena kamu tidak becus!”.  

Keinginan beliau agar santri menaati peraturan pesantren sangat ketat. Beliau sering mewanti-wanti santri agar jangan sampai melanggar peraturan di pesantren, baik kecil atau besar.

Ucapnya, ”Sukur gak melanggar santri-santri iku, tak dungakno sak boyonge teko pondok pesantren, lek dadi Kyai dadi Kyai sing gede, sing manfaat nang masyarakat. Lek dadi wong sugeh, mandar dadi wong sugeh sing temenan, sing manfaat nang masyarakat”. (Asalkan santri-santri itu tidak melanggar peraturan, saya doakan setelah boyong dari pesantren, kalau menjadi kiai, jadi kiai yang besar, yang bermanfaat bagi masyarakat, kalau menjadi orang kaya, semoga jadi orang yang betulbetul kaya, yang bermanfaat bagi masyarakat). Hal itu sering beliau ungkapkan dalam rapat-rapat Pengurus.

4.4 Supel dalam Bergaul  
Ramah tamah pada semua orang, hubungannya luas dan siapa saja bisa menghubunginya. Itulah kepribadian Kyai Sa’doellah Nawawie, yang tidak mau menonjolkan keKyaiannya dalam bergaul. Sikapnya dalam bergaul sangat supel. Kalau dilihat sepintas, dari akrabnya beliau pada teman, orang takkan menyangka bahwa beliau orang besar.  

Beliau sering mengajak boncengan orang kampung yang ditemuinya di jalan, misalnya dari Warungdowo ke Sidogiri. Suatu ketika saat beliau akan pulang dari Pasuruan naik sepeda motor, ada seorang wanita yang menjadi karyawan Pemerintah Daerah, ingin berboncengan dengan beliau.

Wanita itu beranggapan Kyai Sa’doellah pasti mau memboncengnya, mengingat betapa supelnya beliau dalam bergaul. Namun beliau memberi alasan mau membeli sesuatu dan langsung pulang lewat Besuk.  

Sebagai Penanggung Jawab dan Ketua Umum PP. Sidogiri, beliau sangat mengayomi dan akrab sekali dengan Pengurus pondok selaku bawahannya. Beliau sering mengajak mereka mayoran (tanak bersama) dengan lauk ikan, yang biasanya hasil menjala di sungai selatan pondok. Kadang-kadang beliau menyembelih merpati atau memesan kerak nasi (kerrek, Madura) pada santri.  

Saat bercengkerama dengan Pengurus Pondok, beliau suka bercerita diselingi dengan gurauan. Sehingga dalam rapat pun kalau melihat anggota sudah lesu dan ngantuk, maka beliau memberikan joke-joke segar, sehingga mereka bersemangat kembali.

Sikap humor beliau semisal ada seorang santri yang akan berangkat tugas ke Malang. Dengan bahasa Madura, beliau berpesan sambil bergurau, ”Ingat, masyarakat Malang jangan dimahabbah semua, nanti anak orang dibuat tertarik semua. Jangan-jangan nanti semua perempuannya tertarik pada kamu!”.

4.5 Menolak Jadi Menteri Agama 
Kalau melihat penampilannya sehari-hari, pasti orang yang melihatnya akan mengira Kyai Sa’doellah bukan tokoh masyarakat yang berpredikat Kyai dan disegani. Kalau akan bepergian, pakaiannya necis, pakai celana dan tidak pakai songkok. Kesenangannya pakai baju tentara atau polisi dan mengendarai sepeda motor. Sedangkan ketika bersantai, beliau senang pakai kaos oblong dan sarung. Suatu penampilan di luar kebiasaan kaum Kyai.  

Namun ternyata dibalik semua itu, karena didorong oleh sifat khumul (low profile) dan tidak mau menonjolkan diri, beliau suka menutupi kebaikan yang ada pada dirinya. Sesuai dengan ajaran sufi, Idfin Nafsaka Fî Ardli al-Khumûl (Pendamlah dirimu dalam bumi ketidakterkenalan). Suatu bukti, setiap keluar rumah dan pakai celana, beliau tidak lupa membawa tasbih yang ditaruh dalam saku celananya. Dilihat dari itu, pasti beliau tidak pernah lupa berzikir pada Allah SWT.  

Menurut penuturan KH. Hasani Nawawie, adiknya yang sekamar dengan Kyai Sa’doellah, dan hanya dipisah dengan dinding bambu (gedhek, Jawa) suatu malam Kyai Hasani mendengar isak tangis Kyai Sa’doellah. Pada awalnya Kyai Hasani menduga, mungkin kakaknya itu punya problem dengan istrinya. Namun kejadian itu berlangsung setiap malam.  

Akhirnya Kyai Hasani mengintip lewat celah-celah dinding bambu. Beliau pun terpana, ternyata Kyai Sa’doellah sedang terpekur menghadap ke barat memakai jubah dan surban sambil membaca Shalawat (Kesenangannya memang membaca Shalawat).

Setiap sampai pada lafal Muhammad, beliau langsung menangis tersedu-sedu. ”Takjub aku pada kang Sa’doellah. Kalau anu (siang?) sepertinya banyak tertawa, tapi kalau malam menangis. Sering aku mengintipnya”. Pernah kejadian itu beliau ceritakan pada Kyai Cholil, kakaknya yang lain. “Aku tak bisa seperti itu,” tambahnya. Kyai Cholil yang termasyhur sebagai wali itu menjawab, ”Meskipun aku, tidak bisa ‘Ni”.  

Secara dzahir, sepertinya Kyai Sa’doellah menutupi kewalian dan keilmuannya. Sikap beliau seakan tidak menggambarkan sosok yang Alim. Saat berpidato saja beliau tidak menggunakan ayat atau Hadits, melainkan terjemahannya saja. Segala dawuh-nya cocok dengan Al-Qur’an dan Hadits, sampai-sampai Kyai Cholil berkomentar, “Coba Kyai Sa’doellah begitu, rajin mengaji, kalah semua saudaranya!”.  

Kehidupan Kyai Sa’doellah qanaah (ngalap cukup), sederhana tidak bermewah-mewahan, dan tidak menonjolkan keKyaiannya. Kalau ada tamu, beliau menyuguhinya dengan apa adanya. Beliau juga dikenal dermawan. Orang yang tidak mampu bersekolah, beliau biayai.

Beliau tidak mau menumpuk harta. Sekalipun beliau mantan pejuang dan pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, beliau tidak mau menerima gaji dari pemerintah, walaupun sebenarnya saat itu bisa saja beliau mengumpulkan harta sebanyak mungkin.  

Kyai Sa’doellah merasa khawatir perjuangannya untuk membela tanah air dan menjadi wakil rakyat tidak ikhlas, tidak murni berjuang fi sabilillah. Beliau khawatir perjuangannya dikarenakan uang gaji dsb. Di hati beliau tidak terlintas untuk mencintai dunia, suatu cerminan kesufian beliau untuk menjaga hati dari ketergantungan pada dunia.

Sikap khumul dan tidak mau menonjolkan diri rupanya sudah menancap kuat dalam jiwa Kyai Sa’doellah, sehingga beliau tidak terjangkit Hubbu al-Ri’asah (senang jadi pemimpin).

Kenyataannya beliau tidak mau masuk TNI, meski berkesempatan menjadi jenderal seperti teman-temannya sesama pejuang kemerdekaan. Beliau juga pernah ditawari menjadi Bupati Pasuruan.

Bahkan Presiden Soekarno, lewat seorang Kolonel utusannya, menawari Kyai Sa’doellah untuk menjadi Menteri Agama RI. Namun berkenaan dengan semua itu meskipun merupakan kesempatan yang baik beliau malah berkata, ”Saya menghindar dari Hubbur ri’asah, tidak senang merebut kedudukan semacam itu”.

4.6 Penghubung Ulama dan Umara 
Sebagai figur pemimpin sejati, beliau sangat mahir tentang kenegaraan dalam pembukuan dan administrasi, sekaligus ahli nasehat. Dan kedisiplinan beliau sangat tinggi. Tak heran beliau sangat disegani semua bawahannya. Pandangan masyarakat pada kepemimpinannya, sangat mendambakan dan mencintainya. Kalau beliau berpidato, diperhatikan penuh. Dan beliau sangat mengayomi pada bawahan, telaten memberi pendidikan.  

Yang nampak dalam diri beliau adalah jiwa kepemimpinan Rasul, sehingga tidak mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Sampai ada orang yang menggambarkan kepemimpinan Kyai Sa’doellah dengan ucapan, ”Seandainya ada empat orang saja di Negara Indonesia ini semacam Kyai Sa’doellah, maka akan segera tercapai negara yang adil dan makmur yang diridhai”.   

Dari keluwesan beliau memimpin bawahannya, beliau sampai menjadi rujukan dan tempat permusyawaratan pemimpin lain. Kyai Sa’doellah pernah didatangi Gubernur DKI Jakarta, yang akrab dipanggil Pak Nur.

Dan kira-kira antara tahun 1968-1969 KH. Idham Cholid, Perdana Menteri II RI, pernah datang ke PP. Sidogiri menemui Kyai Sa’doellah. Dan sekalipun beliau telah berhenti dari korps ketentaraan, sering tentara mendatanginya untuk mencari petunjuk mengenai keamanan di Pasuruan, sehingga mobil panser sering ada di depan dalem beliau. 

Dari itu Kyai Sa’doellah bisa dikatakan ‘Sekringnya Sidogiri’. Maksudnya, antara ulama dan umara sama dengan kabel min dan plus. Keduanya dapat menghidupkan lampu, namun tidak bisa bersentuhan langsung, karena akan menimbulkan kebakaran. Makanya, untuk menghindari hal itu dibutuhkan sekring. Dan Kyai Sa’doellah bisa dikatakan sekring KH. Cholil Nawawie, kakaknya yang menjadi Pengasuh PP. Sidogiri dengan umara.  

Hal itu tak lain karena umara dan ulama harus saling membutuhkan dalam membangun keamanan Negara. Dan lagi kalau ulama terlalu mendekati umara, bisa dikatakan maling. Sedangkan umara untuk bisa adil membutuhkan ilmunya ulama.

Bagaimana sekiranya ilmu ulama bisa sampai pada umara? Maka membutuhkan sekring. Oleh karenanya, Kyai Sa’doellah bisa dikatakan sekring yang bisa menyampaikan ilmunya Kyai Cholil pada umara. Sehingga pada masa itu umara bisa masuk ke Sidogiri.

5. Keistimewaan dan Karamah  
Sebagaimana lazimnya para Kyai berpengaruh, Kyai Sa’doellah juga diyakini oleh masyarakat memiliki kesaktian waliyullah. Banyak cerita-cerita supranatural tentang beliau yang beredar di kalangan masyarakat, utamanya pasukan di bawah komandonya. 

Di masa perjuangan melawan Belanda, keistimewaan dan kekeramatannya sangat nampak. Seperti diakuinya pada salah satu Pengurus Pondok, ketika bercerita tentang perjuangannya.

Saat berperang, peluru yang ditembakkan pasukan Belanda padanya lewat saja ke belakang tubuhnya. Untuk memagari pesantren dari serangan Belanda, beliau memerintahkan salah satu anggota pasukannya yang bernama Abu untuk menarik benang mengelilingi Sidogiri. Maka Belanda tidak bisa melangkahi benang itu. 

Menurut cerita yang berkembang, selain kebal beliau juga mempunyai ilmu menghilang (Halimun). Saat Belanda beriringan lewat di pematang sawah, beliau ada di bawahnya, tapi Belanda tidak melihatnya. Apalagi saat bertempur, santai saja menyerang Belanda tanpa diketahui oleh mereka.

Menurut salah satu pasukannya, ketika akan menghadapi Belanda, beliau membaca, “Ya Sattar,” 3x. Maka beliau tidak kelihatan oleh musuh dan peluru yang ditembakkan Belanda hancur seperti air. Selama berperang melawan Belanda, beliau tidak pernah kena tembak Belanda. 

Sebagaimana laiknya pendekar pilih tanding, di masa perjuangan kemerdekaan, rambut beliau dibiarkan memanjang sampai ke pinggang. Konon rambutnya memang tidak bisa dipotong kecuali oleh ibunya sendiri.  

Di masa perjuangan, Kyai Sa’oellah tidak pernah makan. Selain karena memang tidak ada yang mau dimakan, juga karena memiliki semacam karamah. Ketika merasa lapar, beliau bersama pasukannya membaca Tasbih 33x. Setelah membaca bersama, semua pasukannya merasa kenyang, lalu membaca Hamdalah 33x. Dan begitulah seterusnya, setiap kali merasa lapar.

Keanehannya lagi, sejak kecil beliau dikenal tidak pernah mengaji ilmu agama, Al-Qur’an pun tidak. Sehingga banyak orang yang berasumsi beliau tidak bisa baca kitab kuning dan Al-Qur’an. Namun anehnya, apa yang dikatakan oleh Kyai Sa’doellah tidak bertentangan dengan isi kitab.

Hal itu pernah diungkapkan oleh KH. Hasani pada KH. Cholil. Kyai Cholil menjawab, “Namanya ndakak (cerdas/ladunni) ya begini ini. Kalau sampai pandai baca kitab, yang lainnya takkan kebagian”.

Pernah Kyai Hasani isykal tentang foto dan menanyakannya pada Kyai Sa’doellah. Kyai Hasani menanyakan, ”Menurut kitab, yang diharamkan itu tashwir yang memakai tangan [melukis]. Lha kalau seperti foto, bagaimana?. Kyai Sa’doellah menjawab, Sama saja dengan melukis, meskipun foto kan tetap membutuhkan tangan. Foto kalau tidak dipencet (tombolnya) dengan tangan, masak bisa? Cuma alatnya sudah modern, tinggal jepret, begitu saja”.  

Suatu ketika beliau pergi ke Malang, di tengah jalan ada orang gila yang mengamuk di pasar dengan membawa sebilah belati yang membuat orang sepasar takut. Kemudian Kyai Sa’doellah datang bermaksud untuk lewat, namun beliau dihadang oleh orang agar tidak memasuki pasar. Tapi beliau bergeming.

Ternyata kedatangan beliau membuat orang gila itu merasa takut, sehingga belatinya disembunyikan di belakang tubuhnya. Lalu Kyai Sa’doellah menghampirinya dan menanyakan pada orang gila itu, ”Apa itu?”. Orang gila itu menjawab, ”Belati”. ”Jatuhkan,” perintah Kyai. Lantas orang gila itu menjatuhkan belatinya dan diambil oleh Kyai. Maka amanlah pasar itu. 

Selain itu beliau diyakini bisa mengetahui sesuatu yang bakal terjadi (ma’rifat). Satu bukti, saat bersama pasukannya di kamp perjuangan, tiba-tiba beliau memerintahkan pasukannya untuk pindah dari tempat itu, dengan alasan Belanda akan menyerang dengan kekuatan besar. Ternyata yang dikatakan beliau betul-betul terjadi. Pada jam yang dikatakan, Belanda menyerang dan mengobrak-abrik tempat itu. 

Contoh lagi, sebelum Shalawat Badar tersebar di kalangan masyarakat, beliau sudah hafal dulu. Beliau juga mengetahui apa yang dilakukan sebagian pasukannya, yang telah mengambil uang gaji, padahal sudah dilarang oleh beliau. Kyai Sa’doellah juga tahu santri yang melanggar peraturan.

Dan sebelum pemberontakan G/30/S PKI yang diawali dengan penculikan Dewan Jenderal meletus, Kyai Sa’doellah sudah memprediksikan hal itu sebelumnya, dan pernah mengungkapkan kekhawatirannya itu. Rupanya Kyai  Sa’doellah sangat tanggap atas  keadaan yang akan terjadi.

6. Referensi

  1. Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
  2. Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/

https://www.laduni.id/post/read/517852/biografi-kh-sadoellah-nawawie-ingin-syahid-ditembak-belanda-demi-indonesia.html