Daftar Isi:
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
2.2 Guru-Guru
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Mendidik Masyarakat dengan Uswah
3.2 Dukungan Penuh atas Pancasila
3.3 Memprioritaskan Ukhuwah
3.4 Santri dan Pesantren, Sebuah Predikat Moral
3.5 Kyai Hasani dan Kritik Sosial
4. Teladan
4.1 Hidup dalam Kesederhanaan
4.2 Bermimpi Bertemu Ir. Soekarno
4.3 Dalam Semalam, Istikamah Bangun 5 kali
5. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Hasani Lahir sekitar tahun 1924/1925 M. Abah beliau, KH. Nawawie bin Noerhasan wafat ketika Kiai Hasani masih berusia sekitar 2 tahun. Tanda-tanda sebagai ulama yang dekat dengan Allah SWT. sudah tampak semenjak muda. Tidak seperti umumnya anak-anak muda, Kyai Hasani menghabiskan masa mudanya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyuk, rajin, dan berbudi pekerti luhur.
Menghabiskan waktu dengan aktivitas tak berguna merupakan hal yang sangat tidak disukainya. Raut wajahnya sejuk dipandang. Bila berjalan, selalu menundukkan kepala dan tampak sangat tenang.
1.2 Riwayat Keluarga
KH. Hasan Nawawi menikah dengan Nyai Sholihah yang berasal dari Malang. Beliau adalah janda dengan putra 7 orang. Putranya yang ikut ke Sidogiri hanya 2 orang, yaitu, Mas H. Abdul Barri dan Mas Anshori. Dari pernikahan beliau tidak dikaruniai anak.
Terhadap keluarganya, Kyai Hasani mempunyai perhatian penuh terutama pada sisi moral. Nuansa zuhud dan sufi tidak hanya kental pada diri beliau semata, tapi juga segenap keluarganya. “Kamu mau saya jadikan apa saja, ikutlah!” dawuh beliau kepada Mas H. Abdul Barri.
1.3 Wafat
KH. Hasani Nawawie wafat pada malam Selasa, 13 Rabiuts Awal 1422 H/05 Juni 2001, pukul 03.50 dini hari. Beliau wafat pada usia 77 tahun karena serangan darah tinggi yang sudah sejak lama dideritanya. sehari setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tepatnya.
Sehari sebelum wafat (malam Senin), KH. Hasani masih sempat menghadiri acara peringatan Maulid Nabi di Masjid Sidogiri. Kyai mengikuti pembacaan diba’ dengan sempurna mulai awal sampai selesai. Beliau juga masih sempat berta’ziyah ke rumah H. lsmail, seorang warga desa Sidogiri yang wafat sehari sebelum peringatan hari Maulid. Saat itu, Kyai sudah terlihat sakit parah. Sambil dipapah, beliau berjalan ke rumah H. Ismail yang berjarak kira-kira 150 meter dari dalemnya.
Menurut penuturan dari salah satu putra tirinya, Mas H. Abdul Barri, 10 hari sebelum wafat, Kyai Hasani bercerita telah didatangi Imam Al-Ghazali dalam tidurnya. Beliau mushafahah (berjabat tangan) dengan tokoh sufi terkemuka Abad Pertengahan itu. Kyai Hasani merasakan perjumpaan dengan Imam Al-Ghazali seperti dalam alam nyata, tidak dalam mimpi.
Beliau tidak menceritakan lebih lanjut tentang pertemuan dengan Imam Al-Ghazali tersebut. Cuma, pada hari itu pula beliau dawuh kepada KH. Nawawi Abdul Djalil,” Sing enak sa’iki mastur (Yang enak sekarang ini tidak dikenal orang).”
Sebelumnya, beliau akan naik haji pada tahun ini menemani Nyai Shalihah, istri beliau. Niat itu telah diutarakan kepada beberapa anggota keluarga Sidogiri. Yang membuat keluarga Sidogiri tersentak sedih dengan niat Kyai ini, beliau mengatakan bahwa usai naik haji, dirinya tidak akan kembali lagi.
Di masa hidupnya, Kyai Hasani banyak mengingat akhirat dan minta didoakan segera mati. Karena beliau dekat dengan Allah SWT. dan rindu segera bertemu. Tetapi Allah SWT. menganugerahi beliau umur panjang, 77 tahun. “Pilih!” dawuh Kyai Hasani suatu ketika pada seseorang, “Mati sekarang masuk surga, atau mati 70 tahun lagi juga masuk surga.” Orang itu hanya diam. “Kalau saya, memilih mati sekarang. Sama halnya dengan diberi uang 100 ribu sekarang atau 100 ribu 70 tahun lagi,” lanjut beliau mengibaratkan.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
Tak seperti kebanyakan putra ulama besar, Kyai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai lembaga pendidikan. Beliau tidak pernah bersekolah dan mondok di pesantren manapun kecuali di pesantren abahnya sendiri itupun di bawah asuhan KH. Abdul Djalil, menantu sang ayah yang berarti juga kakak iparnya. Dalam hal ini Kyai Hasani mengaku dirinya mondok ke Sidogiri dari rumah ibunya (Nyai Asyfi’ah) di Gondang, Winongan ke Sidogiri. Selain itu, beliau tidak pernah mondok ke mana-mana.
Kyai Hasani lebih banyak mendapatkan ilmunya secara otodidak. Semasa hidup, putra bungsu KH. Nawawie bin Noerhasan ini hanya mempunyai tiga orang guru. Pertama kali beliau belajar kepada KH. Syamsuddin, Tampung Winongan Pasuruan. Kepada ulama yang biasa dipanggil Gus Ud ini, Kyai Hasani ngaji kitab al-Ajurumiyah, Imrithi dan Mutammimah. Selain kepada Gus Ud, di Tampung, beliau juga ngaji kepada KH. Birroel Alim.
Selanjutnya, Kyai Hasani belajar kitab Alfiyah ibn Malik kepada kakak iparnya sendiri, KH. Abdul Djalil, di Sidogiri. Kitab monumental tentang ilmu nahwu (gramatika Arab) ini beliau pelajari sampai tuntas. Usai mengkhatamkan Alfiyah atas saran kakak iparnya itu, Kyai Hasani bermaksud belajar ilmu Fikih. Kyai Djalil juga berjanji akan membacakan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir kepadanya. Tapi, sebelum kitab kaidah-kaidah Fikih itu sampat diajarkan kepada Kyai Hasani, KH. Abdul Djalil terlebih dahulu wafat.
KH. Abdul Djalil adalah pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri pada era 1930-an serta menantu KH. Nawawie bin Noerhasan, abah Kyai Hasani.
Konon, salah satu penyebab Kyai Hasani alim tanpa perlu belajar di lembaga pendidikan mana pun adalah berkat doa KH. Ma’ruf, Kedungloh Kediri. Kyai Ma’ruf adalah teman akrab KH. Nawawie bin Noerhasan, Abah Kyai Hasani. Beliau masyhur sebagai wali Allah SWT. Bisa bertemu langsung dengan Nabi Khidir AS. dan bahkan bila ada kesulitan, bisa langsung berdialog dengan Rasulullah.
Suatu saat, Kyai Hasani sowan kepada ulama sepuh Itu. Setelah menceritakan asal usulnya, beliau ditanya oleh KH. Ma’ruf “Apakah sudah hafal nadham Alfiyah?”. Dengan jujur, Kyai Hasani menjawab, “Tidak.” Lalu Kyai Ma’ruf menawari kertas-kertas kecil untuk belajar di pesantrennya selama 40 hari, tapi Kyai Hasani menolak. Kyai Hasani mengatakan beliau sulit untuk kerasan.
Kyai Ma’ruf lalu menawari Kyai Hasani untuk mengamalkan puasa selama tiga hari. Selama berpuasa, hanya diperkenankan sahur dan berbuka hanya dengan satu biji kurma. Dengan tirakat ini, KH. Ma’ruf menyampaikan Kyai Hasani bisa alim tanpa belajar. Tapi, lagi-Iagi Kyai Hasani menolaknya karena merasa tidak mampu melaksanakan amalan itu.
Mendengar jawaban Kyai Hasani itu, KH. Ma’ruf menyuruhnya pulang dan berjanji akan mendoakannya setiap kali melaksanakan Shalat.
Kyai Hasani memang tidak pernah mengenyam pendidikan di lembaga tertentu. Akan tetapi beliau tekun me-muthalaah (mengkaji) Berbagai kitab. Tafsir dan Akhlaq merupakan disiplin pengetahuan kesukaannya. Kitab-kitab yang beliau miliki penuh dengan catatan-catatan hikmah dan kertas-kertas kecil sebagai tanda bahwa terdapat sebuah pernyataan penting pada halaman kitab tersebut. Beberapa hari setelah wafatnya, kitab-kitab itu diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri.
2.1 Guru-Guru
- KH. Syamsuddin, Tampung Winongan Pasuruan,
- KH. Birroel Alim,
- KH. Abdul Djalil, di Sidogiri.
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Kyai Hasani hidup pada masa di mana penjajahan Belanda sedang berada pada puncaknya. Kyai Hasani muda lebih mengutamakan berjuang melawan para penjajah daripada menghabiskan waktunya di sebuah menara gading.
Namun modus perjuangan yang beliau tempuh adalah modus yang unik. Tidak seperti KA. Sa’doellah Nawawie, kakaknya yang memilih berjuang memanggul senjata, Kyai Hasani lebih suka berjuang melalui jalan diplomasi. Beliau kerap mendatangi kamp-kamp Belanda dan berpidato disitu.
Dengan mendekati Belanda Kyai Hasani berupaya menetralisir incaran Belanda terhadap Sidogiri. Sidogiri, saat itu, memang sedang menjadi salah satu incaran utama pasukan kompeni. Sidogiri merupakan markas perjuangan KA. Sa’doellah dalam mengusir Belanda. Kakak Kyai Hasani itu sering memimpin pasukan untuk mengadakan penyerbuan terhadap Belanda dari desa kecil ini.
Apa yang dilakukan Kyai Hasani dengan mendekati Belanda ternyata cukup efektif untuk mengamankan Sidogiri dari serangan mereka. Jika pasukan Belanda mau menyerang Sidogiri, Kyai Hasani sudah menyetop mereka sebelum masuk ke desa Sidogiri. Beliau menyuruh mereka untuk kembali. Dan mereka pun menuruti apa yang dikatakannya.
3.1 Mendidik Masyarakat dengan Uswah
Tidak ada Kyai Hasani, Sidogiri seperti kehilangan urat nadi. “Kyai Hasani wafat, siapa lagi yang punya perhatian penuh pada Shalat?” Kalimat itu kerap terdengar dari santri Sidogiri pasca wafatnya Kyai Hasani.
Memang, pada dasawarsa terakhir, Sidogiri memiliki komitmen pendidikan Shalat yang luar biasa. Upaya pendidikan SHalat bagi santri digalakkan sedemikian rupa. Hal ini juga direspon oleh pihak Madrasah, semenjak dua tahun yang terakhir, lembaga ini menetapkan lulus ujian Shalat sebagai syarat kenaikan kelas.
Komitmen yang luar biasa hebatnya ini merupakan buah perhatian ekstra Kyai Hasani terhadap Shalat santri. Dalam dawuhnya, beliau menyatakan bahwa Shalat merupakan standar keberhasilan pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri. Jika SHalat santri baik, berarti pendidikan berhasil, Shalat santri jelek, berarti pendidikan gagal total.
Kyai Hasani memang lebih sering memerankan sebagai sosok yang mengerem langkah Pondok Pesantren Sidogiri agar tidak bergeser dari visi semula, ingin mencetak ‘ibadillâh ashshâlihîn. Beliau adalah supervisor, penyelia segenap komponen pesantren yang sedang berproses.
Tugas ini beliau akui sebagai beban yang maha berat, soalnya menyangkut tanggung jawab di hadapan Allah Swt. Tugas mahaberat ini sejalan dengan pandangan beliau bahwa Pesantren merupakan lembaga yang ussisa ‘ala at-taqwa, dibangun dan berdiri atas dasar takwa kepada Allah Swt. Jadi, bagaimanapun dan kemanapun Pesantren ini melangkah, takwa tetap harus menjadi oreintasi dasar.
Hal tersebut betul-betul membuat Kyai Hasani tidak bisa tenang, terutama ketika menyaksikan ibadah santri. Di dalem, Kyai kadang berdiri sampai berlama-Iama menghadap ke arah Masjid. Beliau memperhatikan dengan seksama santri yang sedang melakukan Shalat. Kyai memang mempunyai keprihatinan yang mendalam melihat Shalat santri belakangan ini.
Beliau menjalankan kontrol penuh terhadap Masjid. Sampai sekarang pun, setelah wafatnya, dalemnya yang terletak bersebelahan dengan masjid itu seperti menjadi pengawas bisu bagi santri yang masuk ke Masjid. Mereka terlihat amat hati-hati berada di Masjid ini, terutama ketika KH. Hasani masih hidup.
Menyaksikan Masjid Sidogiri akan terlihat aktivitas ibadah yang berlangsung tertib. Masjid selalu ramai dengan lalu-lalang santri yang hendak, usai, atau sedang melaksanakan ibadah. Bangunan tua itu memang padat dengan aktivitas dalam 24 jam. Tapi, semuanya berjalan tenang dan tertib. lni semua buah kontrol ketat Kyai Hasani terhadap tempat ibadah itu. Kontrol penuh Kyai Hasani atas masjid itu memang terbukti efektif bagi pembangunan semangat ibadah bagi santri Sidogiri.
Kyai Hasani sangat tidak suka jika tempat ibadah itu dicampuri dengan hal-hal yang bisa merusak makna ketertundukan terhadap sang Maha Pencipta. Setiap kali ada hal-hal yang mengurangi kesopanan terhadap tempat suci ini, Kyai Hasani mesti memberi respon kontrolnya, minimal dalam bentuk teguran kepada orang yang dipasrahi untuk menjaga ketertiban ibadah di Masjid.
Beliau sering memberi teguran jika terjadi keramaian yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Peringatan yang sering beliau sampaikan kepada santri menjadi kontrol efektif bagi mereka untuk tidak berlaku urakan dan keterlaluan dalam bergurau dan mengekspresikan sesuatu. Kontrol itu sampai sekarang sangat melekat dalam jiwa masing-masing santri. Saking lekatnya kontrol dari KH. Hasani ini, setiap terjadi keramaian, satu kata “dalem” saja. betul-betul ampuh untuk membuat mereka seketika, diam dan tenang kembali, kendati sebelum itu sangat ramai.
Dalam segala hal, Kyai Hasani menekankan pentingnya keseriusan. Pada aspek apapun Kyai berpegang pada prinsip falyadl-haku qalilan wal-yabku katsiran, perbanyaklah menangis dibanding tertawa. Prinsip tersebut merupakan prinsip dasar yang diajarkan Al-Qur’an sebagai pandangan hidup bagi setiap Muslim.
Sebagai pemangku utama Pondok Pesantren Sidogiri, peran Kyai Hasani dalam menjaga keseimbangan arus Pesantren agar tidak bergeser dari prinsip al-Salaf al Shalihin betul-betul vital. Beliau menitikkan perhatiannya pada pembentukan haliyah, perilaku dan moral santri. Ini adalah bagian dari pandangan dan komitmen beliau yang luar biasa. bahwa santri merupakan tanggung jawab mahaberat dun’ya wa ukhra.
3.2 Dukungan Penuh atas Pancasila
Jika teliti, Anda akan menangkap sebuah pemandangan aneh di pintu gerbang Pondok Pesantren Sidogiri. Di pintu masuk timur tepat di sebelah barat jalan, Anda akan disambut ukiran Burung Garuda. Lambang Republik Indonesia tersebut diukir di tembok sebelah kiri gerbang, Di bawahnya, tertera butir-butir Pancasila. Tak ada gambar dari tulisan lain selain itu, termasuk petunjuk bahwa gerbang itu adalah pintu masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri, tak ada nihil.
Ada apa gerangan dengan gerbang Sidogiri? Konon, ukiran Burung Garuda dan butir-butir Pancasila itu dibuat atas instruksi dari Kyai Hasani. Tidak diketahui pasti semenjak kapan. Namun dari wajah gambar, tampak bahwa ukiran tersebut sudah berusia puluhan tahun.
Tak heran, KH. Hasani menginstruksikan membuat gambar itu di pintu gerbang. Jika Anda membaca manuskrip Kyai yang disebar anggota keluarga Sidogiri beberapa puluh hari setelah wafatnya, Anda pasti bisa meraba-raba apa maksud beliau dengan gambar itu.
Kyai Hasani, seperti yang banyak beliau tulis dalam manuskripnya, merupakan tokoh yang memiliki kekaguman luar biasa dengan butir demi butir Pancasila. Butir-butir itu sejalan dengan pemikiran beliau, tapi dalam penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki orang pada lazimnya. Perbedaan penafsiran itu terletak pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan tegas Kyai Hasani menyatakan bahwa sila pertama ini hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak dengan agama-agama lain. Logikanya, dengan sila ini semua agama tidak berhak untuk hidup di Indonesia karena tidak sesuai dengan dasar negara.
Apa yang beliau ungkapkan tentang tafsir sila ini tidak hanya sekadar apologia. Kyai Hasani membangun sebuah argumentasi teologis yang mapan. Beliau mengurut arti kata “esa” dari langgam teologi, bahwa pada titik makna dasarnya, keesaan itu hanya sesuai dengan akidah Islam.
Argumentasi yang beliau bangun tentang kemanunggalan sila pertama dengan akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa sila tersebut mengandung dua unsur pokok. Pertama, kepercayaan akan eksistensi Tuhan (i’tirafal-uluhiyah). Kedua, kepercayaan akan keesaan Tuhan (i’tiraf al-wahdaniyah).
Dengan unsur pertama, dasar negara tersebut menolak komunisme-atheisme; sedang unsur kedua menolak akidah agama selain Islam.
Konsekwensi dari sila tersebut adalah bahwa Republik Indonesia harus menyesuaikan segala haluan, kebijakan dan undang-undangnya dengan ajaran-Islam, karena ideologi negaranya hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak agama lain.
Itulah yang ada dalam pandangan Kyai. Sebagai dasar negara, tentu hal tersebut harus betul-betul ditegakkan di Indonesia. Kyai Hasani menyerukan agar kaum Muslimin betul-betul memperjuangkan Pancasila, dalam arti bahwa “al-Hukm bimâ anzalallâh (memutuskan sesuatu harus dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah )” harus berlaku di Bumi Pertiwi ini.
Dalam pandangan Kyai Hasani, kemanunggalan ajaran Islam dengan Pancasila juga terbentuk melalui sila kedua (Keadilan Sosial). Jika sila pertama mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan vertikal dengan Allah, maka sila kedua mempresentasikan ajaran Islam terkait hubungan horizontal antara hamba dan hamba.
Visi umum ajaran Islam hanya ada dua: al-qiyam bi haqq al-Haqq dan al-qiyam bi haqq al-khalq. Pertama, melaksanakan kewajiban terkait dengan Sang Pencipta; kedua, melaksanakan tanggungjawab terkait dengan makhluk. Kedua visi itu dipresentasikan seluruhnya oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan Sosial.
3.3 Memprioritaskan Ukhuwah
Menjelang Pemilu tahun 1997, Sidogiri terlibat dalam sebuah polemik di majalah Editor. Adalah Ustadz H. Mahmud Ali Zain yang menjadi jubir Sidogiri ketika itu. Apa yang katanya tentang pemilu? “Berpartai hukumnya haram!”.
Ada apa Sidogiri dengan pernyataan yang menyentak publik itu? Penegasan itu datang dari Kyai Hasani. Tak ada hal lain yang mendorong Kyai menegaskan hal itu kecuali ghirah dan keprihatinan yang sangat kuat melihat fenomena umat. Begitu mudah persatuan umat tercabik-cabik hanya karena fanatisme yang dihembuskan oleh kalangan partai.
Urusan partai betul-betul telah membuat umat ini berada pada pertikaian yang tak tentu ujungnya. Bahkan, kerap kali tokoh umatnya sendiri yang menjadi motor pertikaian itu. Melihat kenyataan bahwa berpartai mengandung potensi sangat kuat dalam tafriq al-jama’ah (memecahbelah umat), Kyai Hasani mengharamkan berpartai ini. Masalah berpartai merupakan salah satu sarana untuk tanshib al-imamah (memilih pemimpin), maka berpartai bukan satu satunya cara untuk memilih pemimpin itu.
Bagaimanapun, kata Kyai Hasani, orang berpartai akan memupuk sifat ta’ashhub (fanatisme) dalam hatinya. Ia akan membela partainya tanpa melihat apakah partai itu patuh pada Syariat atau tidak. Fanatisme partai sudah sedemikian lama menjadi penyakit yang menggilas semangat ukhuwah. Politik dan berpartai merupakan motif utama konflik umat secara massal.
Kyai Hasani tak kuasa melihat fenomena ini. Pertikaian umat betul betul menyesakkan ruang dada beliau. “Bagaimana nanti aku akan bertanggung jawab di akhirat terhadap santri-santri Sidogiri yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar?” tanyanya bernada kecewa suatu ketika kepada H. Thoyyib (Ketua Yayasan STIE Malang kucecwara), sahabat dekat beliau.
Kyai Hasani sangat konsisten dengan pandangan-pandangan tentang persatuan umat. Tak ada kamus fanatisme terhadap madzhab dan golongan tertentu bagi beliau. Yang terpenting adalah Islam dan berperilaku Islami, bukan golongan ini dan golongan itu atau madzhab ini dan madzhab itu.
3.4 Santri dan Pesantren: Sebuah Predikat Moral
Santri. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan mengikuti Sunnah Rasul Saw. dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah SWT, yang maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya”.
Mirip sebuah prasasti, kalimat tersebut terpampang besar di bagian depan asrama “J” Pondok Pesantren Sidogiri di atas koperasi selatan. Terukir di tembok seluas kira-kira 7×2 m², berwarna putih dengan latar belakang hijau. Di sebelah atas tercantum redaksi aslinya dalam bahasa Arab di bawah judul As-Santri.
Ukiran itu dibuat sekitar 11 tahun yang lalu. Kalimatnya disusun oleh al-Maghfurlah Kyai Hasani pada tahun 1972 M. Sejak semula kalimat tersebut dijadikan sebagai asas dasar Pondok Pesantren Sidogiri. Santri yang mondok di situ pasti hafal luar kepala. Bagi mereka, menghafal kalimat itu sama artinya dengan membaca prinsip hidup dan jati dirinya sendiri.
Pandangan Kyai Hasani tentang santri dan pesantren, setidaknya, telah dicurahkan dalam beberapa kalimat itu. Dalam kemasan ta’rif santri tersebut, Kyai Hasani mempertegas bahwa kata “santri” adalah murni sebagai predikat moral. Santri, bukanlah nama dari sebuah komunitas tertentu atau kelompok dengan budaya tertentu, tapi murni sebagai predikat dari sebuah ketaatan beragama.
Ada dua hal pokok yang disebut Kyai Hasani dalam ta’rif santri itu, ketaatan pada garis agama serta prinsip tegas dan perilaku yang lurus. Dan persis seperti apa yang dikemukakannya tentang santri, beliau juga memberi arti Pesantren, murni dalam sebuah predikat moral keagamaan. Menurut Kyai Hasani, Pesantren adalah lembaga yang berdiri atas dasar takwa kepada kepada Allah SWT. atau menjadikan ketaatan beragama sebagai pijakan dasarnya (ussisa ‘ala at taqwa).
Dalam memandang segala sesuatu (terutama masalah agama), Kyai Hasani memang selalu bertumpu pada substansi dan prinsip keagamaan. Jika prinsip dan substansinya sudah benar, beliau tak pernah menghiraukan lagi siapa dan dari kelompok mana. Hal ini selalu beliau tampakkan dalam setiap langkah-Iangkahnya, baik dalam berdakwah, membangun ukhuwah, maupun dalam kehidupannya sehari-hari.
3.5 Kyai Hasani dan Kritik Sosial
Pandangannya yang lurus dan tak kenal kompromi membuat Kyai Hasani disegani ulama-ulama lain. Beliau memang putra ulama besar, tapi yang membuatnya disegani adalah sikap dan pandangannya yang lurus serta tegas.
Kyai Hasani tak segan-segan menegur siapa saja yang dianggapnya tidak mengindahkan ajaran agama, tak terkecuali beliau itu tokoh besar atau mempunyai pengaruh luas. Dalam menyikapi sesuatu, beliau selalu teliti dan kritis. Kritik-kritiknya lebih banyak ditunjukkan untuk para pengemban ilmu pengetahuan, baik santri, pelajar, maupun ulama, dibanding yang lain.
Menyikapi kerusakan moral di masyarakat, Kyai Hasani tidak terlalu menyalahkan mereka. Beliau melihat hal ini sebagai kesalahan para pengemban dakwah Islam. “Mereka tidak salah, yang salah itu kamu dan saya,” dawuhnya.
Rusaknya moral umat bersumber dari rusaknya moral para ulama”. Begitulah salah satu inti dari tulisan beliau dalam beberapa manuskripnya. Menurutnya, seperti ditegaskan Rasulullah SAW, komponen yang paling menentukan baik buruknya umat ada 2, yaitu ulama (kaum cendekiawan) dan umara (kaum birokrat).
Kerusakan moral masyarakat merupakan akibat dari bobroknya moral para penguasa (birokrat). Kebobrokan penguasa, disebabkan karena tidak becusnya para ulama. Begitulah Kyai Hasani mengurai sumber utama kebobrokan yang terjadi. Dalam pandangannya, ulama saat ini telah banyak yang tergila-gila pada harta dan kedudukan (hubb aljaah wa almaal).
Kritik keras juga beliau alamatkan kepada para pelajar dan santri. Dalam hal ini, yang menjadi bidikan utama beliau adalah kebiasaan tidak serius dalam mencari ilmu. Tertawa dan kegaduhan yang tidak perlu telah menjadi kebiasaan yang telah melekat di tempat belajar dan majlis al-Ilm. Kebiasaan tidak serius ini amat disayangkan KH. Hasani.
Dalam sebuah manuskripnya beliau bercerita tentang suasana belajar di Majelis pengajian Imam al-A’masy. Suatu ketika, seorang murid al-A’masy tertawa saat berlangsungnya pengajian. Syahdan, al-A’masy menindaknya dan menyuruhnya berdiri. “Engkau mencari ilmu yang telah di-taklif-kan Allah SWT kepadamu, sedang engkau tertawa,“ kata al-A’masy memarahinya. Setelah itu al-A’masy tidak menyapa murid itu selama 2 bulan.
4. Teladan Beliau
4.1 Hidup dalam Kesederhanaan
Terletak di tepi selatan asrama Pesantren Sidogiri bersebelahan dengan Masjid, dalem itu tampak sepi. Seperti tak ada kegiatan kerumahtanggaan di situ. Bangunannya tampak tua sekali, dengan jendela dan pintu bercat coklat. Bagian depan berlantai semen seluas 1×3 m². Tak ada aksesoris apapun, hanya tampak beberapa pohon pisang di depannya. Pagar bambu yang menutupinya di bagian depan sudah tampak agak rusak. Dari sebelah barat, dalem itu ditutupi beberapa satir dari anyaman bambu. (Sekarang beberapa bagian sudah mengalami perubahan).
Di sinilah, Kyai Hasani tinggal. Jika Anda ke sana, Anda tak akan mengira bahwa itu adalah dalem seorang ulama besar yang amat disegani, terutama di Jawa Timur. Rumah itu memang terlalu sederhana. Tapi, dari sinilah figur panutan itu meniupkan angin sufisme dari pikiran ke pikiran: sufisme yang tidak hanya dalam bentuk konsepsi, tapi sebuah realitas kehidupan.
Kyai Hasani memang menyukai hidup sederhana. Apa yang dijalani dalam hidupnya merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai sufistik yang tak mengacuhkan materi.
Sufisme memang telah menjadi pandangan hidup beliau sejak muda. Beliau konsisten dengan nilai-nilai itu, qawlan wa fi’lan. Sehingga ada kesan unik pada pola hidup yang beliau jalani. Memang, pola hidup sufistik pada zaman ini secara realitas tidaklah popular, meski hal itu sering muncul sebagai komoditas wacana. Ia telah menjadi tumpukan cerita di masa lalu.
Nilai utama sufisme yang selalu dipegang teguh oleh beliau sampai akhir hayatnya adalah al-bu’d ‘an al-dun’ya (menjauhkan diri dari dunia). Dalam catatan sejarah, nilai ini dipopulerkan oleh Sayidina Ali yang menyatakan talak tiga untuk dunia. Begitu pula dalam pandangan Kyai Hasani, hubb al-dun’ya (suka dunia) adalah penyakit yang telah amat kronis menimpa umat ini. Suatu ketika, dalam sebuah manuskripnya, beliau mengungkapkan bahwa akar dari kerusakan umat ini adalah kesenangan ulama ulamanya kepada dunia.
Dari 8 orang putra Kiai Nawawie, semuanya hidup miskin. Tak terkecuali Kyai Hasani. Kesempatan untuk kaya selalu ditolak oleh Kyai. Beliau tidak pernah menghiraukan urusan uang dan harta. “Jangan sampai engkau tahu, berapa jumlah uang yang ada di sakumu,” dawuh beliau seperti mengingatkan akan bahaya dunia.
Begitulah Kyai Hasani dalam memandang dunia. Zuhud (asketisme) menjadi cermin utama dalam para hidup yang beliau jalani. Seperti tak ada kesukaan sedikit pun terhadap dunia. Kalau pada umumnya, para tokoh (termasuk ulama) menyukai fasilitas-fasilitas mewah, tapi lain halnya dengan Kyai Hasani. Beliau malah hidup sangat sederhana. Tidak suka mobil. Sering tampak berjalan kaki atau naik becak untuk sebuah keperluan. “Keinginan punya mobil saja, aku tidak ingin,” dawuhnya suatu ketika kepada KH. Nawawi bin Abdul Djalil, salah satu keponakannya.
Jika Anda masuk ke dalem Kyai, maka pasti tersirat sebuah kesimpulan, betapa sederhananya beliau. Di dalem, tidak terdapat peralatan apa-apa. Tak ada hiasan dan di bagian bawah hanya berlantai semen. Menariknya di dinding sebelah dalam, Kyai menggantungkan clurit, pacul dan tangga. Entah isyarat apa yang beliau maksudkan dengan peralatan tani ini. Yang jelas, barang-barang itu bukan hiasan yang dimaksudkan untuk menambah keindahan pemandangan.
Dalam dahar-nya (makan) sehari-hari, Kyai Hasani biasanya hanya cukup dengan nasi putih dengan lauk krupuk dan kecap. Makanan kesukaan beliau adalah kentang rebus diletakkan di piring kecil dan tempe mendol.
Pada hari Senin, sehari sebelum wafat, kondisi beliau semakin melemah. Dokter yang memeriksanya menganjurkan agar makan lebih banyak, tapi beliau beralasan bahwa sejak dulu beliau tidak pernah makan banyak. Akhirnya dokter hanya menyarankan agar yang penting perut tetap ada isinya.
Uniknya, Kyai malah memberi makan kucing piaraannya dengan ikan tongkol dan ikan-ikan yang biasanya menjadi lauk kebanyakan orang. Kyai memang suka memelihara hewan yang konon juga merupakan hewan piaraan kegemaran Abu Hurairah, salah seorang Sahabat Nabi yang juga perawis Hadits paling masyhur.
Kucing-kucing yang terlantar dan sakit-sakitan oleh beliau dirawat dan pelihara dengan baik sampai sehat dan gemuk. Kalau ada kucing yang mati, maka beliau akan menguburkannya layaknya manusia. Suatu saat salah satu kucing piaraan beliau terlindas kendaraan salah satu anggota keluarga Sidogiri. Lalu dikuburkan di suatu tempat.
Ketika tahu kejadian tersebut, beliau langsung membongkar lagi kuburan kucing tersebut dan dipindahkan ke tempat penguburan kucing yang terletak di belakang dalem beliau. Dalam dawuh-nya, Kyai Hasani menyatakan bahwa kucing merupakan nunutan beliau untuk masuk surga. “Kamu tidak punya dosa, Pus!” dawuh beliau suatu hari seperti berdialog dengan kucing kesayangannya.
Memang, beliau sangat akrab dengan kesederhanaan itu. Hidup layaknya orang biasa sudah menjadi manhaj al-hayah (prinsip hidup) bagi beliau. Berpakaian seperti lazimnya orang biasa. Sering terlihat memakai baju takwa hitam. Tidak suka memakai sorban seperti kebiasaan para ulama. Bahkan, beliau juga lebih suka memakai kopyah hitam dibanding kopyah putih. Itu semua merupakan manifestasi dari pandangan kesederhanaan dan kesukaan untuk hidup layaknya orang biasa.
Kyai Hasani memang amat tidak suka memakai atribut jasmaniah para ulama. Beliau juga tidak senang diperlakukan istimewa. Pernah suatu ketika, beliau diundang menghadiri walimatul arusy salah seorang tokoh di Pasuruan. Di tempat yang disediakan untuk undangan para Kyai, tertulis kalimat “Khusus Masyayikh”.
Mengetahui tulisan semacam itu, Kyai Hasani yang kebetulan diundang dan hadir dalam acara tersebut tidak berkenan masuk. Apa kata beliau? “Aku bukan masyayikh!”. Akhirnya tuan rumah melepas tulisan itu dan Kyai Hasani pun berkenan masuk. Konon, Kyai juga pernah diundang oleh salah seorang di Probolinggo, karena di tempat itu beliau tidak diistimewakan dari yang lain.
Jika Kyai Hasani mau, bukannya beliau tidak bisa untuk hidup seperti lazimnya tokoh-tokoh lain dalam hal harta benda. Dalam pembagian tirkah warisan setelah beliau wafat, uangnya banyak tercecer di mana-mana. Kadang di bawah kasur, di dalam kitab dan di tempat-tempat lain.
Ini merupakan sebuah cermin bahwa Kyai tidak pernah memasukkan urusan harta ke dalam pikirannya. Beliau tidak pernah menghitung berapa uang yang dimilikinya. “Jangan sampai kau ketahui uang yang masuk ke sakumu, agar kamu tidak bersandar pada uang,” ungkap beliau menyiratkan sebuah pandangan zuhdiyah-nya.
Dulu, Kiai Hasani pernah titip modal kepada H. Makki, salah satu jutawan terkenal di Pamekasan Madura. Hal ini dimaksudkan beliau sebagai pemenuhan atas kewajiban berkasab (bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup) bagi seorang Muslim. Tapi, sampai akhir hayatnya Kyai Hasani tidak pernah menghiraukan uang itu lagi. Menjelang pembagian warisan, uang itu diserahkan oleh H. Makki kepada keluarga beliau di Sidogiri.
“Al-Dun’ya Dawa’,“ dawuh Kyai Hasani Dunia adalah obat. Kalimat singkat itu diperoleh beliau melalui mimpi.
4.2 Bermimpi Bertemu Ir. Soekarno
Syahdan, Kyai Hasani pernah bermimpi bertemu Soekarno (Presiden ke-1 Republik Indonesia). Dalam mimpi itu, Soekarno hanya menyampaikan kalimat “al-Dun’ya Dawa’,” kepada Kyai. Konon, mimpi yang sempat beliau tulis dalam manuskripnya itu terjadi sebanyak 21 kali.
Awalnya Kyai Hasani tidak paham apa maksud dari kalimat tersebut. Lalu beliau menceritakan mimpi itu kepada kakak beliau Almaghfurlah KH. Cholil Nawawie. Setelah berpikir cukup lama, KH. Cholil bisa menerka apa maksud dari kalimat “dunia adalah obat” itu. “Obat, hanya digunakan jika keadaan sakit (betul-betul membutuhkan), begitu pula dunia,” papar Kyai Cholil kepada Kyai Hasani. Mengenai hal itu, Kyai Hasani juga berdawuh, ”Yang baik, berobat itu apa kata dokternya. Tidak boleh overdosis.”
Pandangan dan sikap hidup asketis itu memang telah beliau tampakkan semenjak muda. Tak ada tempat di hati untuk kesenangan duniawi. “Saya ingin tahu, seperti apa rasanya senang dunia itu?” kata beliau suatu ketika, penuh tanda tanya.
Begitulah Kyai Hasani, selalu memelihara keselarasan antara dawuh dan perilaku. Kekentalannya dengan sufisme tidak hanya terjemahan dalam kata-kata, tapi juga pola hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, beliau sering mewanti wanti bahwa yang terpenting bagi kita sekarang ini adalah mengamalkan ilmu. “Kalau dulu memang dibutuhkan orang-orang alim, sekarang sudah tidak perlu lagi. Semuanya sudah alim-alim. Kita hanya perlu menyelamatkan diri,” tegas Kyai Hasani.
Ulama memang telah begitu banyak. Lalu, sebanyak itukah orang yang bermoral ulama? Sufisme telah menjadi kajian luas, di Majelis taklim, seminar, halaqah, dan mimbar-mimbar kuliah. Buku-buku tentang Tasawuf membanjiri toko-toko. Lantas, seluas itukah nilai-nilai sufisme itu telah diterapkan? Kyai Hasani seperti mengkritik itu semua: “Al-Ilm al-yawm mazhlum,“ dawuh beliau penuh kecewa. Saat ini, ilmu pengetahuan (terutama pengetahuan agama) memang telah menjadi korban.
Pandangan kritis itu tidak hanya ditunjukkan Kyai Hasani untuk para ulama dan cendekiawan. Dalam pandangan beliau, orang-orang yang melaksanakan ibadah pun sekarang banyak yang maghrur, tertipu dan terjerumus dalam lembah kedunguan.
Setelah naik haji pada tahun 1958, beliau enggan untuk naik haji lagi. Kyai Hasani begitu prihatin melihat Ka’bah sekarang. Begitu banyak munkarat di sekitar bangunan tinggi kokoh-kuno itu. Padahal kita mesti ekstra hati-hati di Tanah Suci itu. Tanah yang mendapat julukan “Haram” ini tidak bisa dibuat sembarangan.
Mengenai ibadah, Kyai Hasani memberi penekanan utama pada sisi makna. Ibadah bukan cuma urusan ritual badaniah belaka, tapi berintisari pada pemaknaan hati. Oleh karena itu, beliau lebih suka melakukan ibadah yang dirasanya sebagai hal berat.
Di situ ada upaya menundukkan hati kepada illahi. Mengatur gerak hati memang lebih berat dibanding aktivitas jasmaniah. Ini terutama menyangkut keikhlasan dan gerak kalbu yang lain. “Lebih berat maksiatnya hati dari pada maksiatnya badan,” kata beliau.
Menjadikan gerak kalbu sebagai esensi segala aktivitas merupakan pandangan yang diperkenalkan kalangan sufi. Kendati demikian, Kyai Hasani sangat kukuh dan tegas memegang norma-norma ritual sebuah ibadah. Beliau amat tegas dengan kebenaran tata laksana Shalat menurut aturan Fiqih, begitu pula dalam ibadah-ibadah lain.
Bahkan, sampai masalah adzan pun beliau mempunyai perhatian amat serius. Sampai sekarang, adzan di Masjid Sidogiri tidak pernah berlagu dan berirama mendayu-dayu. Kyai Hasani marah jika adzan dikumandangkan berlagu. Kalau dipikir, pada aspek tatakrama, adzan berlagu hanya mementingkan dominasi seni serta telah kehilangan makna panggilannya menghadap Allah SWT.
Persis seperti umumnya para sufi, Kyai Hasani sejak lama merindukan mati, sebuah keinginan yang agaknya sulit dicerna dalam pikiran orang “waras” yang belum merasakan betapa sesak dunia ini dan betapa indah bertemu dengan Sang Rabb. Kerinduan itu sering beliau ungkapkan, terutama menjelang hari wafatnya.
Apa yang menguntungkan dari mati? “Kalau orang baik, pendek umur, ia akan cepat ketemu dengan kebaikannya. Kalau orang jelek, pendek umur, ia cepat putus dari kejelekannya agar tidak banyak dosanya,” dawuh KH. Hasani membangun logika dari pandangannya.
Jika ada tamu, Kyai Hasani selalu mengantarkan sendiri suguhan untuk tamunya. Beliau juga sangat sedih jika banyak tamu, khawatir tidak bisa menghormati mereka dengan layak.
Etiket sufisme lain yang juga sudah begitu melekat pada Kyai Hasani adalah melestarikan ajaran khumul. Dalam kamus sufi, khumul berarti tidak mau dikenal orang (tentang keistimewaan yang ada pada dirinya). Dalam tuntunan Tasawuf lbnu Atha’ As-Sakandari ajaran ‘tidak suka tampil’ itu adalah dimaksudkan sebagai langkah penyelamatan bagi seorang yang menjalani kehidupan sufi agar tidak terjerumus oleh popularitas dan ketenaran. “Sing enak sa’iki iki mastur,” dawuh Kyai kepada KH. Nawawi bin Abdul Djalil, salah seorang keponakannya.
Memang, khumul telah menjadi filosofi baku, tidak hanya bagi Kyai Hasani tapi juga Sidogiri. Pondok Pesantren yang sudah berusia 256 tahun itu seperti besar dalam ketersembunyian. Terbukti pondok salaf ini tidak pernah menyebar brosur atau jenis promosi lain, bahkan memasang plakat pun bagi Sidogiri terkesan sangat tabu.
4.3 Dalam Semalam, Istikamah Bangun 5 Kali
Disiplin ajaran Islam betul-betul beliau terapkan pada keluarganya. Kyai melarang keras keluarganya keluar tanpa disertai mahram. Wanita yang bukan mahram tidak boleh masuk ke dalemnya. Beliau juga melarang televisi bagi keluarganya. Dalam pandangan Kyai Hasani, televisi punya peran besar dalam pembentukan moral. “Meskipun ikut thariqat kalau masih ngingu punya) TV, itu thariqat gendeng,” tandas beliau mengometari media hiburan plus sarana informasi itu.
Sehari-hari beliau menekankan pentingnya Shalat berjamaah bagi keluarganya. Beliau sendiri, sejak masih belum baligh tidak pernah meninggalkan Shalat berjamaah. Dan, Kyai lebih suka melaksanakan Shalat jamaah di dalemnya daripada di Masjid. Konon, beliau tidak betah Shalat di Masjid yang sehari-hari ramai dengan santri itu. Kyai Hasani tidak tahan melihat ibadah santri, yang menurut beliau, tidak karuan. “Kalau aku Shalat di Masjid, marah-marah nanti,” dawuhnya.
Kyai Hasani melalui hari-harinya dengan lakon yang amat berat. Anjuran Tasawuf tentang “perbanyak menangis daripada tertawa” betul-betul beliau laksanakan. Hari-hari beliau dilalui dengan perasaan susah, terutama ketika ada hujan, petir dan banjir. Hal ini beliau lakukan sebagai kiat untuk menjaga hati agar selalu mengingat Allah SWT.
Bahkan, jika merasa gembira beliau memaksakan diri untuk susah. “Hati yang dibuat susah, meskipun karena urusan dunia, baik untuk hati tersebut. Sebaliknya, jika dibuat gembira, meskipun karena akhirat itu justru tidak baik untuk hati itu,” tutur beliau tentang prinsip hidup.
Setiap malam, Kyai Hasani istikamah bangun hampir tiap jam. Dalam semalam Kyai bangun sebanyak 5 kali, mulai pukul 11.00 malam sampai pukul 03.00 dini hari. Setiap selesai Shalat Isya, beliau beristirahat sampai pukul 11.00 malam. Kemudian bangun dan berwudu, lalu membaca surah Al-Fatihah.
Setelah itu, beliau istirahat lagi. Pukul 12.00 malam, beliau bangun dan melakukan hal yang sama. Begitu juga pada pukul 01.00 dini hari. Pukul 02.00 beliau bangun lagi, berwudlu, membaca surah Al-Fatihah lalu bertafakkur sebentar kemudian istirahat kembali. Pukul 03.00, beliau bangun dan terus melakukan ibadah sampai Subuh tiba.
Dalam ibadah, Kyai Hasani lebih senang mengerjakan yang dianggapnya paling berat. Beliau suka ber-mujahadah. Ning Hikmah Sa’doellah (keponakannya) pernah bercerita mengenai CD (compact disc) Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab lain kepada beliau. Dengan CD, seseorang dapat dengan mudah mencari data-data yang diperlukan. Tapi, Kyai Hasani menyatakan tidak suka dengan kemudahan-kemudahan dari produksi teknologi tersebut. “Aku nggak seneng, kurang ganjarane (Aku tidak suka, karena kurang pahalanya)”, jawab beliau.
Selain tegas serta kukuh dalam menegakkan dan melaksanakan ajaran Islam, Kyai Hasani juga sangat syafaqah, penyayang. Rasa syafaqah-nya yang mendalam tidak hanya beliau tunjukkan untuk sesama manusia, tapi juga kepada makhluk Allah SWT yang lain.
Beliau menyayangi binatang-binatang. Beliau tidak pernah memberi makan kucing di dalemnya dengan ikan yang masih ada tulangnya. Ikan yang mau diberikan kepada kucingnya mesti dibuang tulangnya dulu. Ayamnya pun diberi makan roti “Meskipun semut, ia juga makhluk Allah,” kata beliau.
Kyai juga terkenal telaten dalam mengajar. Dulu, Kyai Hasani mengadakan pengajian khusus untuk keponakan-keponakannya. Pengajian itu dilaksanakan di dalem Ibu Nyai Hanifah (saudari beliau). Beliau sangat telaten mengajar keponakan-keponakannya itu. Sampai-sampai ada seorang keponakannya yang tidak bisa menulis karena sering dituliskan oleh beliau.
Komentar Tokoh
Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf, Tokoh Habib Pasuruan “Saya Kagum Dengan Visi dakwahnya”‘
Saya cukup kenal dekat dengan Kyai Hasani sekalipun tidak lama. Beliau saya anggap sebagai guru dan orang tua. Banyak hal yang saya teladani dari figur beliau. Wara’, sederhana, dan tidak mau menonjolkan diri adalah di antara sebagian sifat utamanya.
Satu hal dari Kyai Hasani yang selalu saya ingat adalah kelapangan hati untuk menerima kritik sekalipun dari orang yang masih muda. Pernah satu ketika, karena melihat beliau sering datang ke Pendopo Kabupaten Pasuruan, didorong rasa sayang saya menyampaikan, “Sebaiknya Kyai jangan sering-sering datang ke pendopo, biar saya saja yang menjadi corong kyai”. Dibilang begitu, Kyai Hasani sangat gembira sampa-sampai uang yang ada disakunya dikasihkan pada saya semua, kalau tidak salah sekitar 150 ribu Rupiah. “Orang berani dan jujur begini yang saya senangi,” katanya saat itu.
Dalam dakwah, Kyai Hasani tidak pernah mempermasalahkan dari golongan mana. Asal visinya jelas dan lurus pasti didukungnya. Entah itu NU atau bukan. Dan, saya termasuk orang yang selalu diberi semangat oleh beliau untuk berdakwah.
Satu hal lagi, Kyai Hasani tidak pernah menyakiti bahkan selalu memberi manfaat pada orang lain. Dan orang yang seperti itu sangat jarang.
KH. Jusbakir Al-djufri, Wakil Bupati Pasuruan
Penyejuk Birokrat
Pertama kali mendengar Kyai Hasani wafat saya terkejut sekali, sebab salah satu pelita yang menerangi umat telah dipanggil oleh Allah SWT. Kyai Hasani sangat punya. perhatian pada masalah-masalah kepemerintahan.
Beliau sering datang dalam pertemuan atau rapat di pendopo. Walau tidak banyak berkomentar bahkan tak jarang. tak sepatah kata pun beliau ucapkan, namun dengan kedatangannya saja kami sudah merasa tenang dan sejuk, sebab kami merasa apa yang kami lakukan telah mendapat restunya.
Kyai Hasani memang lebih senang diam, Jika berkata sekalipun pendek, mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Justru dengan sikap diamnya itulah kami semakin respek dan kagum.
Kyai Hasani sangat peka dan tanggap terhadap persoalan keumatan. Beliau sering bertanya tentang bagaimana situasi keamanan Pasuruan dan memberikan nasehat-nasehat kepada para pejabat. Perhatian dan kesungguhannya setidaknya bisa dilihat dari masalah suksesi bupati yang sempat menjadi polemik beberapa saat lalu, “Yang saya inginkan bagaimana Pasuruan bisa tenang kembali”, kata Kyai Hasani saat itu.
Sikap yang beliau tunjukkan selalu memberikan kesejukan pada siapapun yang melihat. Dan ternyata dalam kesederhanaannya beliau tetap punya kharisma yang begitu kuat.
H. Thayyib, Pemilik dan Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Daftar Pustaka
IImu Ekonomi (STIE) Malangkucecwara Malang
Kyai Hasani itu Ayah dan Guru Saya
Bagi saya dan keluarga, Kyai Hasani adalah guru sekaligus ayah. Sampai sekarang pun, saya masih punya semacam perasaan bahwa Kyai masih ada. Oleh karena itu, saya harap hubungan dengan Sidogiri terus berlanjut sampai kapan pun.
Saya sangat kagum kepada Kyai Hasani. Sangat sulit mencari sosok ulama yang patut diteladani seperti beliau. Seorang ulama yang betul-betul ulama. Saya yakin Kyai Hasani adalah wali Allah. Bahkan, kata Kyai Mujahid, Malang, dan seorang Habib, Kyai Hasani itu mempunyai dua kewalian,
Saya menerima banyak wejangan dari Kyai Hasani, terutama terkait dengan prinsip hidup serta jalinan ukhuwah dengan sesama Muslim. Salah satu pesan Kyai Hasani yang selalu saya ingat adalah prinsip menjaga kesatuan umat dengan tidak terjerumus ke dalam fanatisme partai dan golongan. Pesan Kyai Hasani ini sering saya kampanyekan kepada masyarakat dan para ulama.
Dua pekan sebelum wafatnya, Kyai Hasani sempat menyatakan niatnya untuk naik haji pada tahun mendatang. Saya menyambut niat beliau ini dengan gembira. Tapi, saya juga sedih, sebab Kyai menyatakan setelah haji tidak akan kembali lagi. Saya berfirasat ini adalah isyarat bahwa beliau akan meninggalkan kita.
Pernah, saat saya sowan pada beliau, saya diberi minum air Zamzam sampai tiga gelas. Padahal waktu itu sebenarnya saya puasa sunnah, Dengan nada berat, Kyai Hasani mengutarakan bahwa hal utama yang membuatnya sesak berada di dunia ini, adalah konflik yang kerap terjadi sesama Muslim akhir-akhir ini yang dipicu konflik masalah partai. Kyai Hasani dawuh, ”Bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap santri-santri Sidogiri yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar?”.
5. Referensi
- Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
- Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/