Daftar Isi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Wafat
1.3 Riwayat Keluarga
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu
2.2 Guru-Guru Beliau
2.3 Mendirikan Pondok Pesantren
3. Penerus Beliau
3.1 Anak Beliau
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1 Karier Beliau
5. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Kyai Haji Dimyathi dilahirkan pada tahun 1875. di Dusun kauman, desa campurdarat, kecamatan Campurdarat, kabupaten Tulungagung. Beliau adalah putra keenam dari sepuluh orang putra-putri Mbah Zayadi dan ibu Warisah. yaitu Mirah, Hindun, Khodijah, Klumpuk, Sulbiyah, Katminah, Mariam dan Kasmi. Pada waktu dilahirkan oleh kedua orang tuanya. beliau diberi nama Khossun, dengan makna Khos: Kedudukannya dan Sun: perbuatan atau tingkah lakunya.
1.2 Wafat
Pada tahun 1974 beliau KH. Dimyathi wafat dan dimakamkan di dusun Kauman Desa Campurdarat (dibelakang Masjid Daruttaibin, Campurdarat), masyarakat Campurdarat dan sekitarnya menyebut makam mbah wali campur, ada juga yang menyebut mbah wali Dimyathi. Wallohu a’lam.
1.3 Riwayat Keluarga
KH. Dimyathi menikah dengan putri dari Desa Kalirong Kecamatan Gringging Kabupaten Kediri yang bernama Syufi’ah binti KH. Abdulloh Hasyim (Abdul Jalal), saat itu beliau baru saja menyelesaikan pendidikan di di pondok pesantren Nduwu Nganjuk.
Dari pernikahannya dengan Syufi’ah, Khossun memiliki putra-putri sebanyak 10 orang, yaitu Muti’ah, Moh. Syamsudin, Fathonah, Imam Mawardi, Musrifatin, Suparti, Syamsul Mu’adzom (meninggal pada usia kanak-kanak), Musrifah, Rodiyah dan Nurhadi. Saat ini putra-putri beliau tinggal dibeberapa kota di Jawa Timur. Sebagai penerus perjuangan beliau dalam mendidik masyarakat dengan nilai-nilai Islam di Campurdarat saat ini diemban oleh Mohammad Syamsudin.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Pada saat di Tremas inilah, suatu ketika Khossun dipanggil oleh gurunya yakni KH. Dimyathi dengan maksud meminta agar Khossun mengganti nama yang sama dengan dirinya yaitu “DIMYATHI”. Mendengar perintah dari Gurunya Khossun tidak berani menolak, namun beliau menyatakan kepada KH. Dimyathi bahwa dirinya berkenan memakai nama Dimyathi jika sudah berhasil sampai di Makkah untuk menunaikan ibadah Haji.
Perjalanan pendidikan KH. Dimyathi Campurdarat tidak hanya berhenti di Tremas, seteleh masa nyantri di Pondok Tremas dianggap cukup, KH. Dimyathi Campurdarat melanjutkan ke Pondok Tragal-Jawa Tengah. Dari Tragal KH. Dimyathi Campurdarat kemudian berguru pada KH. Kholil – Bangkalan – Madura. Menyelesaikan pendidikan di Madura, KH. Dimyathi Campurdarat lalu berguru pada KH. Zainudin di Mojosari, Nganjuk. Usai dari Mojosari KH. Dimyathi Campurdarat meneruskan mencari ilmu pada KH. Marwah di Mangunsari Nganjuk.
Merasa belum cukup bekal untuk mengemban amanat Kholifatullah fil Ardl, KH. Dimyathi Campurdarat kembali meninggalkan kota kelahirannya untuk menambah bekal pengetahuan melanjutkan mondok di pondok pesantren Sekar putih, Nganjuk, setelah menyelesaikan pendidikan di Sekar Putih beliau meneruskan ngaji di pondok Klumpit, Nganjuk. Dari Klumpit beliau melanjutkan lagi di Pondok Pesantren Lirboyo yang diasuh oleh KH. Abdul Karim, saat itu jumlah santri masih 8 orang.
Ketika menjadi santri dari KH. Abdul Karim Lirboyo, KH. Dimyathi Campurdarat juga ikut belajar / merangkap belajar di pondok Banjar Mlati dan di Pondok Jamsaren Kediri.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Lirboyo, KH. Dimyathi Campurdarat lalu melanjutkan belajar di pondok pesantren Nduwu pada tahun 1917. Mulai saat itulah KH. Dimyathi Campurdarat mulai mengembangkan ilmunya di Pondok Klupit dan dinikahkan dengan seorang putri dari Kalirong yang bernama Syufi’ah binti KH. Abdulloh Hasyim (Abdul Jalal).
Selama menempuh pendidikan dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain, selalu saja ada kisah yang membuat KH. Dimyathi Campurdarat dinilai sebagai santri yang memiliki keistimewaan. Pernah ketika menjadi santri di Pondok pesantren Mojosari yang diasuh oleh KH. Zainudin, Setiap sang guru mulai membuka kitab untuk diajarkan kepada santri-santrinya di masjid, pada saat yang sama KH. Dimyathi Campurdarat mulai mengerubuti dirinya dengan kain jarit (kemulan jarek) pemberian orang tuanya, dan tidur di depan dampar tempat KH. Zainudin mbalah kitab.
Melihat perilaku tersebut KH. Zainudin tidak marah, beliau membiarkan saja tingkah laku KH. Dimyathi Campurdarat , tak ayal lagi perbuatan itu membuat santri-santri yang lain menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak hendak mencela KH. Dimyathi Campurdarat, apalagi saat melihat kitab-kitab yang dimiliki KH. Dimyathi Campurdarat, ternyata kitab-kitab yang telah diajarkan oleh KH. Zainudin milik KH. Dimyathi Campurdarat tidak ada satu kata pun yang terlewat maknanya. Wallahua’lam.
2.2 Guru-Guru Beliau
- KH. Dimyathi Tremas
- KH. Kholil Bangkalan
- KH. Zainudin Mojosari
- KH. Marwah Mangunsari
- KH. Abdul Karim Litboyo
- Mbah Mesir di Durenan
2.3 Mendirikan Pondok Pesantren
Pondok Pesantren Daruttaibin merupakan lembaga pendidik an sekaligus wadah pemberdayaan masyarakat, terletak di Dusun Kauman Desa/Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Propinsi, Jawa Timur.
Pondok Pesantren Daruttaibin didirikan oleh KH. Dimyathi Campurdarat pada tahun 1948. Kegiat an utama Pondok Pesantren Al-Islami Assalafi Daruttaibin adalah pendidikan keagamaan, mulai tingkat das ar hingga menengah.
Operasional belajar mengajar Pondok Pesantren Daruttaibin mulai tahun 1990 diserahkan kepada KH. Mohammad Damanhuri Risya beserta para putra-putri KH. Moh. Syamsudin Dimyathi sampai sekarang.
3. Penerus Beliau
3.1 Anak Beliau
KH. Moh. Syamsudin Dimyathi
4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Semasa hidupnya beliau selain syiar agama juga tekun dalam bertani. Sebagai ulama besar kyai dimyati di segani dan banyak memberi contoh tauladan untuk kita semua. Dimana beliau mengajarkan keseimbangan antara beribadat juga dalam bekerja.
Di Campurdarat beliau tinggal di rumah bekas milik seorang pegiat seni jaranan yang telah dibeli oleh orangtuanya. Di tempat itulah, KH. Dimyathi Campurdarat mulai mengabdikan ilmu pengetahuannya pada masyarakat sekitar. Dimulai dengan merubah fungsi bale miliknya menjadi Langgar, KH. Dimyathi Campurdarat mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam pada orang-orang disekitar rumahnya.
Dalam kehidupan sehari-hari beliau ta’dzim dengan siapapun walaupun itu cucunya sendiri. Hal itu berlangsung hingga Tahun 1955, pada tahun itu beliau masih ngaji sampai selesai (khatam) tiga kitab yaitu Al Qur-an, Fatkhul Wahab dan Bughiyah. Sejak tahun 1957 beliau uzlah (mengasingkan diri) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4.1 Karier Beliau
Karier Profesional
Pengasuh pesantren Al-Islami Assalafi Daruttaibin
5. Referensi
Buku HAUL 32 tahun wafatnya mBah Dim (Kyai Haji Dimyathi)
https://www.laduni.id/post/read/517861/biografi-kh-dimyathi-campurdarat-tulungagung.html