Bahasa Indonesia dan Perangai Ilmiah

Sebuah karya dari seorang cendekiawan yang mengajar di Universitas Sydney, Australia, Hans Pols pada tahun 2019 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Thomas Bambang Murtianto dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Buku tersebut berjudul Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Buku memuat kajian komprehensif terkait dengan sejarah pendidikan dokter pada masa sebelum kemerdekaan.

Hans memberikan pengisahan sedemikian rupa bagaimana kalangan pribumi dapat menempuh pendidikan di Sekolah Kedokteran Djawa atau disebut dengan STOVIA. Mereka kemudian menjadi penggerak dalam menggapai misi nasionalisme. Misi bergerak tak sebatas pada pendidikan, namun melainkan pula juga terhadap bahasa, kebangsaan, dan pengabdian.

Buku memberikan pengesahan bahwa ilmu kedokteran menjadi keilmuan awal yang dikenal oleh kalangan pribumi. Walakin, ilmu itu terhubung dengan cabang lainnya dalam kaidah sains. Sebuah keterangan disampaikan oleh Hans, bahwa di zaman itu, bagi kebanyakan pelajar, perguruan kedokteran merupakan jalan masuk pertama ke dunia sains.

Bahasa bergerak di kalangan terpelajar lewat buku ajar, majalah, koran, dan bacaan lain. Pada zaman itu bahasa Belanda dirasa lebih mangkus menjadi kunci dalam pembelajaran sains, meski di sisi lain keberadaan bahasa Inggris, Jerman, dan Prancis lebih menonjol dalam persebaran sains secara global.

Ada sebuah pengakuan yang membuat kita terus perlu merenungkan sampai Iwan Pranoto menulis esai “Tantangan Berbahasa Indonesia Akademik” (Kompas, 30 Oktober 2023) sebagai refleksi peringatan ke-95 Hari Sumpah Pemuda. Pengakuan datang dari Abdul Rivai, lulusan pertama Sekolah Dokter Djawa. Baginya, bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa-bahasa lain yang digunakan di Nusantara tidak mampu mengekspresikan konsep ilmiah dan gagasan kompleks.

Pernyataan itu terucap di akhir abad XIX, tentu belum terjadi apa yang dinamakan peristiwa Sumpah Pemuda yang menjadi kesepakatan atas Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928. Tulisan Iwan memberi pengisahan babak kaum sarjana dan intelektual membuat perundingan, pertemuan, dan pendiskursusan agar bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mangkus dan sangkil dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan. Yang lebih menarik, meski dalam porsi sedikit, ia juga mengisahkan sejarah kamus ilmu untuk menegaskan penyenaraian ilmu dalam perkembangan kebahasaan.

Iwan mengutip sebuah esai garapan Sudjoko, cendekiawan dan munysi bahasa yang pernah mengajar di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Tulisan berjudul “Wisata Kata”, namun ia tak menyebutkan di mana letak tulisan tersebut. Tulisan itu rupanya bersama tulisan dari para cendekiawan lain, seperti Mahar Mardjono, Otto Soemarwoto, T. M. Soelaiman, R. K. Sembiring, H. Johannes, Dali S. Naga, Anton M. Moeliono, Mien A. Rifai, R. M. J. T. Soehakso, dll termaktub di buku Ilmuwan dan Bahasa Indonesia: Menyambut 60 Tahun Sumpah Pemuda (Penerbit ITB, 1988).

Sebagai seorang yang pernah belajar di bidang sains—ilmu fisika, bagi saya, buku tersebut komprehensif dengan memuat lintas disiplin keilmuan dalam menyoal keberadaan bahasa Indonesia. Walakin, sebelum buku itu terbit, sepengetahuan saya, ada beberapa tulisan penting lain yang perlu dijadikan sebuah diskursus bahasa Indonesia dalam keilmuan. Pertama adalah makalah garapan Andi Hakim Nasoetion berjudul “Penggunaan Bahasa dalam Ilmu Pengetahuan”.

Makalah tersebut disampaikan ketika momentum Seminar Bahasa Indonesia yang dilaksanakan Konsorsium Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudajaan pada tanggal 2-3 Maret tahun 1972. Andi Hakim Nasoetion menaruh gagasan bahwa bahasa ilmu pengetahuan tidak boleh bermakna ganda. Keberadannya perlu diajarkan sejak anak menempuh pendidikan di sekolah dasar.

Kedua, sebuah esai berjudul “Bahasa dalam Karangan Keilmuan Popular” di buku Realita dan Desiderata (Duta Wacana University Press, 1990) garapan Liek Wilardjo. Meski buku terbit di 1990, esai itu dijadikan makalah pada penataran pers di UKSW pada 1986. Liek dengan lihai menguraikan bagaimana pentingnya tulisan keilmuan dalam kerangka bahasa populer. Jelasnya, karangan keilmuan populer ialah karangan keilmuan yang ditujukan kepada sidang pembaca awam, artinya yang bukan ahli di bidang masalahnya dikemukakan dalam karangan tersebut.

Iwan Pranoto menunjukkan keresahan yang amat pilu. Barangkali Iwan mengamini apa yang diungkapkan ahli biologi, Mien. A Rifai dalam sebuah liputan berjudul “Maka Belajarlah Menulis” di Majalah Panji Masyarakat edisi 11 Oktober Tahun 2000. Sosok cendekiawan yang juga tekun dalam kebahasaan itu mengingatkan dalam perkembangan globalisasi yang ditandai dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, membuat kalangan publik mudah terpaksa dan terbiasa menyerap utuh istilah asing.

Dalam liputan itu dicontohkan istilah asing yang mulai merebak, seperti di antaranya: keyboard, mouse, down load, hang, memory, dan playstation. Mien A. Rifai justru kemudian membuat ajakan pentingnya menulis dengan diimbangi kesadaran terhadap kosakata bahasa Indonesia. Pada kesempatan itu, ia juga memberikan hitungan yang perlu dijadikan pijakan akan perkembangan kata dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) garapan W. J. S. Poerwadarminto menjadi Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam kurun waktu 40 tahun dari 20.000 lema bertambah pesat menjadi 70.000 lema.

Hal yang belum disinggung oleh Iwan adalah ajakan terhadap kalangan akademisi maupun intelektual khususnya yang membidangi sains kealaman untuk menjuarakan kepenulisan sains populer. Ini menjadi sebuah dilema ketika budaya akademis menunjukkan bahwa menulis untuk jurnal bereputasi lebih menjanjikan, ketimbang katakanlah menulis untuk media publik—di media cetak maupun dalam jaringan.

Kita masih sedikit mendapati akademisi dan intelektual yang melakukan. Syukurnya ada beberapa sosok yang dapat dijadikan panutan dalam persebaran tulisan sains populer. Selain Iwan Pranoto (Dosen Matematika Institut Teknologi Bandung), ada Liek Wilardjo (Fisikawan dan Pendekar Bahasa), Siti Murtiningsih (Dekan Filsafat Universitas Gadjah Mada), Terry Mart (Dosen Fisika Universitas Indonesia), Yanuar Nugroho (Dosen STF Driyarkara), Premana W. Premadi (Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung), hingga Saras Dewi (Dosen Filsafat Universitas Indonesia).

Selain itu, berdasarkan penelitian saya yang dimulai sejak 2016 lalu terhadap perkembangan diskursus wacana sains populer, ada sebuah temuan menarik. Bahwa dalam produksi buku sains populer yang bersebaran di Indonesia, didominasi oleh karya terjemahan. Ini membuktikan bahwa di satu sisi sains sebagai keilmuan masih sulit digerakkan oleh kalangan cendekiawan maupun intelektual untuk kalangan publik maupun sidang pembaca awam.

Padahal, bila mengacu pada perkembangan zaman, jelaslah sains perlu menjadi perangai ilmiah dalam menaja kesadaran untuk berpikir ilmiah, bertindak masuk akal, dan mengedepankan objektivitas. Pada sisi lain, fakta tadi juga menyiratkan bahwa budaya penulisan buku sains populer tidak banyak menjadi perhatian di kalangan cendekiawan dan intelektual Indonesia. Kita tentu sadar, pergerakan bahasa Indonesia terhadap keilmuan perlu disandarkan pada kalangan tersebut dengan keahlian ilmu di tiap bidang.

Benar apa yang pernah ditulis seorang munsyi bahasa yang pernah menjabat ketua Pusat Bahasa 1984 – 1989 dan mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Anton M. Moeliono. Dalam salah satu bukunya, Santun Bahasa (Gramedia, 1984) termaktub esai berjudul “Menuju Gaya Bahasa Keilmuan”. Ia mengatakan bahwa pengungkapan bahasa justru harus didukung dan dijalankan oleh para sarjana dan pemelajar yang sanggup berpikir dalam bahasa Indonesia di bidang ilmu.[]

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/joko-priyono/bahasa-indonesia-dan-perangai-ilmiah-b248577p/