Mitos Polarisasi Politik

Salah satu isu terbesar politik terkini adalah polarisasi. Namun, alih-alih dipahami sebagai realitas sosial yang wajar, polarisasi selalu dibayangkan sebagai ancaman yang akan berujung pada disintegrasi. Tidak hanya masyarakat, tetapi juga bangsa, akan mengalaminya jika dibiarkan begitu saja. 

Bahkan ketika terjadi serbuan Israel di (lebih tepatnya genosida) Gaza, sejumlah orang menyayangkan mengapa masyarakat Palestina terpolarisasi menjadi Hamas dan Fatah. Polarisasi ini dibesar-besarkan seolah-olah itu merupakan kelemahan yang membuat perjuangan rakyat Palestina melemah. Tidak berhenti di sana, polarisasi biasanya diikuti oleh cara pandang hierarkis terhadap masyarakat di mana satu kelompok diunggulkan daripada kelompok yang lainnya. 

Di Indonesia, para pengamat melihat perseteruan elektoral mulai dari 2014 hingga 2019 dan rangkaian aksi 212 adalah ajang yang melahirkan polarisasi masyarakat (Afrimadona, 2021; Sodenberg & Muhtadi, 2021; Jati, 2022). Di dalam polarisasi itu terdapat kebencian (resentment) yang membahayakan. Oleh karena itu, mengikuti pandangan ini, apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ketika merekrut Prabowo Subianto ke dalam pemerintahan sejak 2019 adalah tindakan yang tidak hanya diterima, tetapi juga diharapkan, untuk mengatasi permasalahan. 

Akan tetapi, polarisasi terus menerus digelorakan sebagai isu yang mengancam disintegrasi. Imajinasi tentang bahayanya Islam politik sebagai faktor yang menyebabkan polarisasi tetap dipelihara. Narasi dan video tentang konflik Syiria, Libya, atau Yaman diolah sedemikian rupa agar publik tetap waspada. Berbagai acara digelar, umumnya disponsori pemerintah, menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa yang dibungkus Bhinneka Tunggal Ika. 

Kenyataannya, setelah hubungan antara Presiden Joko Widodo dan partainya (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) terlihat merenggang dan kemunculan Gibran (anaknya presiden) ke panggung politik utama mewakili Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden, kiranya publik berhak bertanya: apa kabar polarisasi? Jika sungguh ada, apakah itu bersumber dari Islam politik sebagaimana selalu diwacanakan selama ini? Tetapi jika tidak, apakah itu sekadar prakondisi bagi kemunculan politik dinasti? 

Sejak awal isu mengenai polarisasi memang meragukan. Jika ada dan memang pasti ada, lalu apa permasalahannya? Bukankah masyarakat adalah entitas yang terdiri dari beragam kelompok dan individu yang pasti mudah terpolarisasi? Khususnya di era digital sekarang, pertanyaanya justru apakah mungkin masyarakat kita tidak terpolarisasi? 

Ketakutan terhadap polarisasi berakar pada filsafat romantik yang memandang masyarakat sebagai entitas yang tunggal. Meskipun di dalamnya terdapat keragaman, masyarakat dalam filsafat romantik dipandang mempunyai nilai-nilai pokok yang menjadi jangkar kehidupan mereka. Kepada jangkar itulah semesta perselisihan dikembalikan, sehingga apapun yang terjadi masyarakat tidak boleh terpolarisasi. 

Dalam sejarah modern, filsafat romantik yang bersumber dari tradisi kontra-Pencerahan di Eropa ini dibawa ke Indonesia oleh orang Belanda (Bourchier, 2016). Bercampur dengan warisan feodalisme dari era pra-kolonial, filsafat romantik menghasilkan konsep gotong royong yang kemudian diadopsi oleh pemerintahan pascakolonial sebagai jati diri bangsa. Pokoknya masyarakat Indonesia harus guyub rukun tentrem kerto raharjo. Dalam ‘iman’ kenegaraan modern ini, polarisasi adalah ‘kemusyrikan’ politik yang harus dihindari. 

Oleh karena itu, oposisi adalah konsep yang asing dalam politik kita. Apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada 2019 dengan merangkul Prabowo Subianto membuktikan itu. Oposisi yang cukup pasti akan memberi fondasi bagi polarisasi mesti dimatikan dengan cara dipangku. Metode kekuasaan Jawa kuno digunakan sebagai strategi dalam hal ini. 

Berdasarkan itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa polarisasi adalah mitos yang sengaja dibuat untuk kepentingan elite. Di mata elite, polarisasi berarti adanya dua matahari kembar yang potensial merongrong kekuasaan. Karena tahu bahwa sejatinya polarisasi akan ada dan terus ada sebagai sesuatu yang inheren di dalam masyarakat, maka dibuatkan wacana yang mengesankan itu adalah irrasionalitas. Para pengamat politik modern sering terkecoh dengan mengatakan polarisasi bersumber dari kebencian (resentment). Dari sini lahir analisis mengenai politik keluhan (grievance politics) dari kelompok atau masyarakat yang kalah dalam pertarungan. Jika mereka melakukan protes, maka itu digambarkan lahir dari emosi yang tidak terkendali, bukan aksi yang wajar dalam demokrasi. 

Mitos polarisasi politik juga membayangi perumusan kebijakan pembangunan. Dalam indeks pembangunan masyarakat (IPMas) yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kekhawatiran terhadap polarisasi politik ditanggapi salah satunya dengan konsep kohesi sosial. Menggunakan metodologi pengukuran tertentu, Bappenas melansir indeks kohesi sosial masyarakat kita pada 2021 adalah 56,37 % yang dianggap masih di bawah 62,85 % IPMas secara keseluruhan. Meski tidak ada kata-kata polarisasi politik, pemerintah mengharapkan jalinan kohesi sosial masyarakat kita akan naik karena itu adalah prasyarat bagi pembangunan. 

Jalinan antara kepentingan elite dan perencanaan pembangunan yang dibingkai oleh pandangan ilmiah tertentu menciptakan polarisasi bertumbuh menjadi mitos yang kompleks. Dari arah global, penciptaan ini difasilitasi oleh penataan neoliberal lewat program-program sustainable development goals (SDGs). Ujungnya adalah harapan agar polarisasi politik tidak akan pernah muncul di tengah masyarakat. Namun, pertanyaan reflektifnya, dalam masyarakat tanpa polarisasi, masihkah kita bisa berbicara tentang demokrasi? 

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/amin-mudzakkir/mitos-polarisasi-politik-b248592p/