Ibrahim bin Adham: Ketika Sang Raja Memilih Jalan Tasawuf

Mengingat beratnya beban dan tanggungjawab pemimpin untuk memikul amanat, tidak jarang raja-raja muslim (khalifah) yang menolak anaknya agar melanjutkan tongkat estafet kekuasaan. Dalam sistem kerajaan, biasanya anak laki-laki dipersiapkan untuk menduduki tampuk dinasti kerajaan. Tetapi, dalam sistem kekhalifahan, kursi kepemimpinan tak ubahnya jabatan publik yang mesti diwariskan kepada yang memiliki kapasitas dan kompetensi berdasarkan hikmah kebijaksanaan, keadilan dan permusyawaratan.

Bahkan, Khalifah kedua dalam Islam (Umar bin Khattab) tetap menolak anaknya untuk melanjutkan kursi kepemimpinan, meskipun masyarakat menilai Abdullah bin Umar memiliki syarat-syarat yang memungkinkan ia dapat dijadikan pemimpin yang adll. Tapi, Umar justru menghendaki agar puteranya dapat menjadi bapak dan kepala keluarga yang baik bagi istri dan anak-anaknya.

Barangkali Umar bin Khattab lebih paham dan mengetahui karakteristik puteranya ketimbang kebanyakan masyarakat awam. Sehingga, ia memiliki otoritas untuk menilai Abdullah bin Umar yang dikhawatirkan tak mampu mengemban amanat atau menegakkan keadilan. Bagi Umar, bersikap adil dan bijaksana kepada keluarga dan orang-orang terdekat adalah cikal-bakal yang membuat seseorang layak diangkat menjadi pemimpin adil di tengah masyarakatnya.

Alkisah, dalam puluhan abad silam, Nabi Ibrahim pernah meninggalkan istri dan anaknya (Ismail), sampai kemudian memancar mata air zamzam dari hentakan kaki bayi yang masih menyusu tersebut. Ketika sang anak tumbuh remaja, dan sangat menarik untuk dijadikan sahabat, Tuhan justru memerintahkannya agar mengorbankan anak yang dicintainya itu, sebagai simbol kebaktian dan penghambaan diri. Tuhan memerintahkannya agar membunuh Ismail dengan menyembelih dan mengalirkan darahnya ke tanah. Mungkin dalam konteks saat ini, perintah pengorbanan itu dimanifestasikan dalam bentuk penembakan dengan senjata, ketimbang disembelih dengan pisau maupun golok. Ibrahim menuruti perintah Tuhannya, meski kemudian sosok Ismail diganti dengan pengorbanan domba gemuk (harta), sebagai konsekuensi dan wujud kepatuhan pada perintah Tuhan.

Kecintaan pada harta dan anak-anak, memang diwanti-wanti dalam ajaran Islam (Alquran) agar tidak membuat manusia terbius dan terlena, hingga melupakan kebaikan dan kebaktian pada Allah Swt. Terlebih bagi seorang pemimpin umat yang harus menjadi teladan (uswah hasanah) di tengah budaya dan peradaban umatnya.

Untuk tulisan kali ini, saya ingin menampilkan seorang raja bernama Ibrahim bin Adham, yang merasa gerah ketika duduk di singgasana kerajaan, kemudian ia mengembara untuk mendalami ajaran-ajaran Islam. Sampai akhirnya, ia tertarik mendalami dan menjalankan lelaku dari ajaran-ajaran tasawuf. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansyur. Ia lahir di Balkh (sekarang bagian dari Afghanistan), dan masih memiliki garis keturunan dari khalifah kedua Umar bin Khattab.

Mencari mursyid

Ibrahim bin Adham meninggalkan takhta kerajaannya di Balkh (sekarang bagian dari Afghanistan). Garis nasabnya terhubung dengan Umar bin Khattab yang merupakan khalifah kedua dalam sejarah kepemimpinan Islam. Suatu hari, ia hengkang meninggalkan istana Balkh, lalu berangkat menuju Syam (Suriah) untuk menemui guru-guru tasawuf. Di antara guru-guru (mursyid) yang ditemuinya adalah Imam Baqir, Muhammad bin Ziyad al-Jumahi, al-A’masy, hingga Malik bin Dinar.

Rekam jejaknya cukup jelas. Ibrahim pernah bergelimang dalam kemegahan duniawi, di tengah kenyamanan menikmati status quo. Banyak orang berdecak kagum lantaran nekat memilih hidup zuhud dalam petualangan dan pengembaraan rohani. Namun demikian, untuk mencari makan dan menafkahi dirinya, Ibrahim bertekad untuk tidak mengemis, tetapi berusaha bekerja untuk mencari rizki yang halal.

Ia pernah menjadi kuli panggul, mengurus kebun, membantu panen buah-buahan, hingga menerima imbalan dari sang pemilik kebun. Setelah singgasananya ditinggalkan, kini ia menjejakkan kakinya di bumi manusia sebagai anak semua bangsa. Di sisi lain, masih banyak orang mengenalnya sebagai mantan raja yang memilih jalan tasawuf, meskipun ia berusaha untuk menyamar dengan pakaian lusuh dan penampilan ala kadarnya.

Karena ia pernah menikmati kemakmuran awal dan hidup serba ada, justru pilihannya untuk memilih zuhud menjadi perhatian khusus di kalangan para sufi di berbagai daerah, dari wilayah Suriah (Syam) hingga kota Mekah. Tidak jarang orang menjulukinya sebagai tokoh sufi yang unik dan eksentrik, meski ia tak terlampau mempedulikan julukan apapun yang disematkan kepadanya.

Kisah-kisah menarik mengenai dirinya, termasuk berbagai karomah yang dimilikinya, telah ditulis oleh para ulama dalam berbagai versi. Namun menurut saya, versi yang ditulis pujangga dan sastrawan lebih mengenai sasaran, karena keterampilan mereka dalam menuangkan gagasan sejurus dengan semangat zamannya. Uniknya perjalanan hidup sang maestro sufi ini, pernah pula ditulis oleh pujangga muslim Fariduddin Attar dalam “Tadzkiratul Awliya” atau “Manthiq at-Thayr”. Tetapi kali ini, izinkan saya membuat versi yang disesuaikan (elaborasi), agar dapat disimak oleh masyarakat yang hidup di era milenial saat ini.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/haz/ibrahim-bin-adham-ketika-sang-raja-memilih-jalan-tasawuf-b248589p/