Daftar Isi:
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
2.2 Guru Beliau
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Strategi Melawan Belanda
3.2 Perpecahan Terhadap Belanda
3.3 Perlawanan Terhadap Belanda
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
Kyai Mahfudz merupakan putra dari Kyai Abdussalam yang silsilahnya sampai ke Syekh Mutamakkin lewat Mbah Hendrokusumo. Kyai Mahfudz merupakan saudara dari Kyai Abdullah Zen Salam (Mbah Dullah). Dalam sebuah kisah, Mbah Mahfudz merupakan Kyai, pejuang, dan santri yang cerdas. beliau memahami turats secara mendalam, menguasai ilmu-ilmu politik-intelijen dan hafidzul qur’an.
1.1 Lahir
Kyai Mahfudz lahir sekitar tahun 1900-an. Putra dari Kyai Abdussalam bin Ismail, dan ibu Nyai Mirah. Beliau merupakan putra ketiga dari empat saudara.
1.2 Riwayat Keluarga
KH. Mahfudz bin Abdussalam menikah dengan Hj. Badi’ah. Dari pernikahan beliau dikaruniai enan Putra-putri, yakni:
- KH. M. Hasyim,
- Nyai Hj. Muzayyanah (istri KH. Manshur Pengasuh PP.an-Nur Lasem),
- Dr. KH. MA. Sahal Mahfudz,
- Nyai Hj. Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP. Bugel-Jepara, kakak istri KH. Abdullah Salam),
- Nyai Hj. Fadhilah (istri KH. Radhi Shaleh Jakarta),
- Nyai Hj. Khadijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP.as-Sunniyyah Jember, yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH. Sahal).
1.3 Wafat
Kyai Mahfudz wafat di Fort Willem I, Ambarawa, pada tahun 1944 M.
Perlawanan terhadap kolonial, konsep politik kebangsaan dan diplomasi politik Kyai Mahfudz, sejatinya menjadi telaga inspirasi bagi Kyai Sahal. Ide-ide dan prinsip politik kebangsaan Kyai Sahal, dipengaruhi oleh ayahandanya, sang pejuang kemerdekaan, KH. Mahfudz Salam.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
Pada masa kecil, Kyai Mahfudz belajar mengaji kepada ayahandanya, Kyai Salam, yang merupakan ulama terkemuka di kawasan lereng Muria.
Pada waktu itu, pesantren sebagai institusi pendidikan belum didirikan secara formal, hanya Majelis-majelis mengaji di rumah Kyai, Mushala dan Masjid. Masjid Kajen, yang menjadi warisan arkeologis dan situs Islam, peninggalan Syekh Mutamakkin menjadi referensi kegiatan keagamaan di kawasan Kajen. Perguruan Islam Mathali’ul Falah, baru didirikan pada 1912.
Mengiringi beberapa Pesantren tua lainnya, semisal Tebuireng (didirikan Syekh Hasyim Asy’ari pada 1899, di Jombang), Pesantren Lirboyo (oleh Mbah Manaf/KH Abdul Karim, pada 1910 di Kediri), Pesantren Krapyak di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH MunaWwir pada 1910.
Mathali’ul Falah, dengan demikian menjadi titik episentrum pendidikan dan kawah candradimuka santri-santri serta masyarakat Kajen, yang kemudian disusul oleh Pesantren-pesantren lainnya, semisal Salafiyyah yang menandai kawasan Kulon Banon dan Wetan Banon, dalam historiografi keislaman di Kajen. kyai Mahfudz berperan penting dalam proses pendidikan Kyai Sahal, terutama pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan.
2.2 Guru Beliau
Kyai Abdussalam bin Ismail (ayah)
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Strategi Melawan Belanda
Kyai Sahal mengungkapkan, dalam kisah yang dituturkan Neng Tutik Nurul Jannah bahwa ayahandanya, Kyai Mahfudz sebenarnya menjalankan strategi diplomasi politik dengan Belanda. Ketika masih kecil, Kyai Sahal sering melihat tamu-tamu pembesar Belanda datang ke rumah ayahandanya, untuk berdiskusi dan terlibat perbicangan membahas masalah politik maupun keagamaan.
Kyai Mahfudz berbicara dengan tamu Belanda, menggunakan bahasa Melayu—bahasa yang belum banyak dipakai orang pribumi Jawa masa itu. Uniknya, Kyai Mahfudz belajar bahasa Melayu dari para santrinya. Beliau, acapkali mengundang santrinya untuk membaca koran berbahasa Melayu, hingga mengerti maksud dan ungkapan-ungkapannya. Inilah, metode belajar dari Kyai Mahfudz untuk mengakses jendela pengetahuan dan pergerakan nasional masa itu.
“Beberapa kali orang Belanda datang ke rumah, dan diterima dengan baik oleh Bapak,” ungkap Kyai Sahal, sebagaimana dikisahkan oleh Tutik Nurul Jannah. Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi diplomasi politik Kyai Mahfudz dengan mendekati bahkan bekerjasama dengan pembesar Belanda? Tidak lain dan tidak bukan, adalah motivasi politik.
Inilah strategi ala pesantren, yang mampu luwes dalam melihat gelombang politik kolonial, dengan melihat dari dekat kekuatan lawan. Persis, ketika Gus Dur mendekati Benny Moerdani untuk melihat dan memetakan kekuatan politik Orde Baru, strategi intel-militer serta jaringan murid-murid Pater Beek yang bergerak pasca peristiwa 1965.
Kyai Wahab Chasbullah mengingatkan: “kalau ingin keras, harus punya keris”. Maksudnya, strategi politik yang canggih dengan melawan secara frontal atau melawan dengan lembut, harus dimulai dulu dengan mengukur kekuatan diri sendiri sekaligus memetakan kekuatan lawan.
Dengan demikian, Kyai Mahfudz berusaha ‘mendekat’ dengan pejabat Belanda, untuk mengetahui strategi, gerakan hingga kerja-kerja intelijen Belanda (PID, Politie Inlichtingen Dienst dan RID, Regionale Inlichtingen Dienst) yang saat itu bergerak lincah. Selain itu, Kyai Mahfudz juga ingin agar pesantren Mathali’ul Falah, tidak ‘dikubur sebelum berkembang’ oleh rezim kolonial Belanda.
“Motivasi politik yang dimaksudkan di sini adalah kebutuhan Belanda untuk berhubungan baik dengan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh kuat di lingkungannya dengan tujuan meredam dan memata-matai tokoh tersebut agar tidak mematik bergolakan di kalangan republik. Di sisi lain, kedekatan ini cukup menguntungkan, terutama bagi keberlangsungan lembaga pendidikan yang dipimpin oleh Kyai Mahfudz, yakni Perguruan Islam Mathali’ul Falah.
3.2 Perpecahan dengan Belanda
Akan tetapi, hubungan retak terjadi antara Kyai Mahfudz dengan birokrat Belanda, ketika munculnya ‘peristiwa pegadaian’. Peristiwa ini, ditandai dengan kondisi yang tidak kondusif pada masa itu, dengan banyaknya perampokan dan penjarahan terhadap toko serta pasar. Melihat kondisi ini, dengan latar belakang ekonomi warga Muslim di kawasan Pati kelas menengah ke bawah, Kyai Mahfudz menginisiasi dengan memerintahkan santri-santri untuk ikut menjaga pegadaian, agar asetnya tidak dijarah oleh orang-orang yang tidak berhak dan dirusak oleh amuk massa.
‘Peristiwa pegadaian’ terjadi pada kisaran tahun 1940-an. Pada masa itu, politik ekonomi Belanda sedang mengalami pergolakan, terutama menjelang Perang Dunia II. Militer Jepang sedang merangsek untuk memperluas wilayah politik dan keamanan, di kawasan Asia Tenggara. Pondasi ekonomi dan politik kolonial di wilayah Hindia Belanda, terancam dengan ekspansi militer Jepang. Pada masa itu, pegadaian merupakan salah satu kunci ekonomi di daerah Pati, selain pasar tradisional dan toko-toko kelontong milik pengusaha China.
Pegadaian, sebenarnya merupakan aset dari pemerintah Hindia-Belanda, untuk memberi modal cepat bagi petani dan nelayan. Barang-barang milik petani dan warga kecil, banyak yang disimpan di pegadaian, untuk digadaikan agar mendapat pinjaman uang.
Ketika masa panen, biasanya barang di pegadaian diambil kembali oleh pemiliknya para petani kecil. Langkah Kyai Mahfudz, dengan menginstruksikan santri-santri menjaga pegadaian merupakan strategi jitu, agar barang-barang berharga milik warga kecil terlindungi. Lebih jauh, Kyai Mahfudz juga memberi perintah agar barang-barang di pegadaian dikembalikan kepada pemiliknya, yakni warga miskin dan petani-petani kecil di kawasan Pati.
3.3 Perlawanan Tehadap Belanda
Terang saja, langkah ini membuat pejabat Belanda marah, karena aset mereka diambil oleh santri-santri dan dibagikan kepada penduduk. Pemerintah Belanda mengalami kerugian, apalagi pabrik Gula di Pakis dan Trangkil, masa itu tidak bisa diandalkan hasilnya, karena situasi politik yang tidak stabil.
Aksi Kyai Mahfudz semakin membikin marah Belanda, ketika beliau dengan santri-santrinya menyerang Rumah Sakit Kristen (RSK) di Tayu. Rumah Sakit ini, dianggap sebagai pusat konsolidasi politik dan juga basis kristenisasi di lereng Muria.
Dengan menggasak Rumah Sakit Kristen, Kyai Mahfudz setidaknya mendapatkan dua keuntungan, yakni melemahkan basis kekuatan politik Belanda dan mengendurkan moral serdadu Hindia Belanda. Setelah berjuang melawan kolonial, akhirnya Kyai Mahfudz ditangkap oleh militer Belanda. Beliau kemudian dipenjara, dan dipindah ke penjara Ambarawa, hingga kedatangan militer Jepang.
4. Teladan
Ketika mengantar adiknya, Kyai Abdullah Salam mondok mengaji kepada Kyai Said, Pamekasan Madura, Kyai Mahfudz ikut menemani adiknya selama dua minggu. Hal ini dilakukan untuk menghibur dan menjaga adiknya agar kerasan mondok. Selama proses menemani adiknya itu, Kyai Mahfudz sambil menghafal Al-Qur’an dan khatam dalam waktu hanya dua minggu.
5. Referensi
NU Online / jateng.nu.or.id
https://www.laduni.id/post/read/517908/biografi-kh-mahfudz-kyai-pejuang-kemerdekaan.html