Politik Perempuan Minus Politik Kelas Sosial

Kabar tentang keterlibatan aktif Ibu Negara Iriana dalam penggalangan dukungan terhadap anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menarik diamati. Sebagian publik terlihat marah, tetapi kenyataannya Gibran melenggang ke kursi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto untuk pemilihan presiden 2024. 

Dilatarbelakangi skandal etis di Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin oleh Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi atau paman dari Gibran, isu tentang politik dinasti menyembul ke permukaan. Di balik semuanya, sang ayah Presiden Joko Widodo mungkin telah mengatur segala sesuatunya, meski di panggung depan dia tetap memerankan sosok yang mengayomi semua–setidaknya mengajak semua kandidat presiden mendatang makan siang bersama. 

Apa yang dilakukan oleh Ibu Iriana, jika itu benar adanya, membawa ingatan orang pada sosok Ibu Siti Hartinah atau populer dengan sebutan Ibu Tien. Meski selalu tampil anggun keibuan, istri Presiden Soeharto itu dianggap dominan. Sejumlah kebijakan pemerintahan pada masa Orde Baru dikerjakan atas permintaannya, misalnya yang kontroversial adalah pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Tuduhan adanya praktik upeti, “madam ten percent”, juga sering dihubungkan dengan peranannya dalam mengatur patgulipat proyek pembangunan. 

Setidaknya dari dua ilustrasi tersebut, saya berpikir keras ketika Maklumat Politik Perempuan Indonesia yang diselenggarakan oleh jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 20 Nopember 2023 di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat merekomendasikan agar memilih politisi perempuan atau mereka yang mempunyai perspektif perempuan dalam pemilihan umum mendatang. Acara ini sejatinya merespons ancaman politik dinasti seperti diperagakan di Mahkamah Konstitusi, tetapi lalu dalam diskusi muncul isu politik perempuan. Salah satu pembicara, Alissa Wahid, secara tegas mengatakan bahwa yang penting pilihlah politisi perempuan, soal apakah kemampuannya sudah cukup atau belum bisa dikondisikan nanti–misalnya melalui pelatihan tertentu–setelah mereka duduk di kursi parlemen. 

Bagaimana kita mengaitkan anjuran untuk memilih politisi perempuan dan kenyataan mengenai sosok perempuan di panggung politik kita? Lalu apakah politisi perempuan sudah pasti mewakili perspektif perempuan? Bagaimana menanggapi fakta mengenai banyaknya politisi perempuan di parlemen yang populer dan terpilih karena dia adalah bagian dari keluarga elite tertentu? Lebih dalam lagi, apa sesungguhnya politik dan perspektif perempuan itu? 

Isu mengenai politik dan perspektif perempuan adalah bagian dari perjuangan feminisme sejak kelahirannya. Pada awal abad ke-20 mereka berhasil menggolkan tuntutan agar perempuan mendapatkan hak yang sama dalam politik dan memperoleh akses yang setara dalam pendidikan. 

Pada tahun 1960-an mereka bahkan bergerak lebih luas lagi dalam perjuangan keadilan sosial. Sejak tahun 1980-an mereka terlibat aktif dalam gerakan-gerakan pengakuan keberbedaan kultural. Akan tetapi, persis sejak 1980-an itu pula analisis gender yang berkembang di kalangan feminis mengalami reorientasi sedemikian rupa sehingga menempatkan perempuan dalam pengertian yang esensialistik: perempuan sebagai perempuan. 

Reorientasi yang terjadi di kalangan feminis sejak 1980-an itu merupakan bagian dari pergeseran paradigma dalam masyarakat kapitalis. Sejak itu pertanyaan-pertanyaan struktural yang menyangkut kondisi ekonomi-politik tergeser oleh pertanyaan-pertanyaan kultural yang terbatas pada politik identitas. Pengertian tentang perempuan lebih banyak dibingkai oleh kebebasan mengekspresikan tubuh dan orientasi seksual daripada keprihatinan terhadap peningkatan ketimpangan sosial. Ujung-ujungnya, rekomendasinya adalah yang penting perempuan, tanpa terlalu mempedulikan perempuan siapa dan dari kalangan mana mereka berasal. 

Kenyataannya, seperti juga laki-laki, perempuan adalah bagian dari kelas sosial tertentu. Dalam banyak hal, kepentingan kelas dari mana dia berasal lebih menentukan kepentingan gender. 

Dua hal ini, gender dan kelas, adalah dua kategori yang seharusnya dianalisis secara simultan. Ibu Iriana dan Ibu Tien adalah perempuan, tetapi mereka tidak bisa dipahami hanya sebagai perempuan. Keduanya adalah bagian dari keluarga elite paling puncak dalam hierarki sosial di negeri ini. Oleh karena itu, kalau ada hal yang dianggap negatif dari keduanya, kita tidak bisa secara gampangan menuduh karena identitas perempuannya. Siapapun, perempuan atau laki-kai, yang berada dalam posisi mereka mungkin akan melakukan hal yang kurang lebih sama. 

Analisis kelas dan analisis gender telah cukup lama berpisah jalan. Akibatnya fatal. Analisis kelas tanpa analisis gender akan mengabaikan pengalaman kebertubuhan laki-laki dan perempuan, sehingga hasilnya hanya teori-teori perubahan sosial tanpa keterikatan pada pemaknaan yang lebih eksistensial. Sementara itu, analisis gender tanpa analisis kelas rawan sekali dibajak oleh para perempuan elite untuk melegitimasi kepentingannya. Mereka bisa saja mengkampanyekan perspektif perempuan, padahal yang diperjuangan adalah kepentingan kelas sosialnya. 

Kembali ke ilustrasi awal, oleh karena itu permasalahannya bukan Ibu Iriana Joko Widodo dan Ibu Tien Soeharto, tetapi cara pandang mengenai masyarakat kapitalis di mana kita menjadi bagian di dalamnya. Anjuran untuk memilih politisi perempuan dalam pemilihan umum mendatang mungkin baik, tetapi tanpa kesadaran kelas hal itu akan berbuah pengulangan-pengulangan sejarah. 

Yang lebih urgen adalah merefleksikan apakah politik perempuan yang dikampanyekan selama ini telah mewakili kepentingan 99 % perempuan kelas bawah dan menengah yang terus bertahan dalam perjuangan hidup sehari-hari atau sekadar kepentingan 1 % perempuan elite yang ingin tetap mempertahankan keistimewaan ayahnya, suaminya, atau saudara laki-lakinya? 

                                                                                                                                 

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/amin-mudzakkir/politik-perempuan-minus-politik-kelas-sosial-b248620p/