Mengkaji Ulang Pesan Moral Cara Pandang Nabi terhadap Perempuan

Laduni.ID, Jakarta – Pembahasan seputar perempuan selalu menjadi topik yang menarik untuk diulas. Sebab, selama ini dalam pandangan kalangan konservatif, perempuan masih dianggap sebagai makhluk kedua setelah laki-laki.

Dalam kajian-kajian keagamaan, perempuan dinilai lebih rendah dari laki-laki karena ia diciptakan untuk memenuhi kebutuhan Adam yang notabene merupakan makhluk yang ditakdirkan untuk “mengurus” bumi sebagai khalifah.

Anggapan ini kemudian menjadi meluas setelah adanya “kampanye” yang dilandaskan dengan kitab suci. Misalnya, seperti para mufassir klasik Muslim yang memunculkan statemen bahwa perempun adalah sumber fitnah dan merupakan cobaan bagi kalangan Muslim.

Perempuan acapkali ditandai sebagai biang keladi merosotnya keimanan seorang Muslim. Tidak hanya Islam, agama Kristen juga menganggap orang yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya Adam dari surga adalah Hawa. Oleh sebab itu, bagi mereka, perempuan dianggap membahayakan religiusitas.

Berawal dari anggapan sinis inilah, kemudian perempuan harus diletakkan di tempat yang tidak terlalu strategis agar tidak menimbulkan kerusakan. Bahkan kalau perlu mereka cukup tinggal di rumah, tidak perlu keluar, kecuali mendapatkan izin dari orang tua maupun suaminya. Problem ini kemudian diperkuat dengan asumsi agama, yang tentu saja tidak boleh ditentang, melainkan harus diikuti dan diimani. Sebab menentangnya adalah sama halnya dengan menolak ketetapan Tuhan.

Asumsi di atas diperkuat dengan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an yang juga memberikan advokasi dan rekomendasi atas implementasi pengokohan klaim tersebut. Namun seiring berjalannya waktu dan lahirnya problem sosial yang memaksa perempuan keluar rumah, seperti telah usainya perang dunia yang menyebabkan jutaan kaum laki-laki terbunuh, yang kemudian melahirkan kesadaran para perempuan untuk keluar rumah dan bekerja. Sebab satu-satunya cara untuk dapat bertahan hidup setelah ditinggal oleh suami adalah bekerja. Mereka tidak dapat secara terus menurus menerima peraturan agama yang melulu di rumah.

Gerakan tersebut kemudian melebar lebih jauh. Mereka (kaum perempuan) juga mempertanyakan kenapa perempuan selalu di bawah laki-laki, padahal mereka diciptakan dari unsur yang sama, tidak ada beda. Pemahanan gerakan ini juga memberikan pengaruh kepada perempuan-perempuan Muslim yang mempertanyakan kembali penafsiran-penafsiran tersebut apakah sudah selaras dengan ajaran nabi yang mendahulukan pesan moral.

Dalam satu sisi, Al-Qur’an menyatakan perempuan dan laki-laki itu sama, yang membedakan hanyalah takwa. Malah justru tafsir-tafsir yang dihasilkan oleh sebagian besar ulama tidak menjawab hal demikian.

Jika ditelusuri dalam sirah nabi, justru akan didapati fakta bahwa nabi sangat memuliakan kaum perempuan. Hal ini tergambar ketika nabi mengutuk keras tradisi jahiliyah yang terbiasa membunuh bayi perempuan; hak waris yang hanya berhak dimiliki laki-laki; dan beberapa hal lain yang terkesan mengucilkan perempuan, semua itu nabi menolaknya.

Nabi tidak pernah melarang perempuan untuk belajar, yang hal ini terbukti ketika majelis taklim nabi juga banyak dihadiri oleh perempuan, tidak hanya laki-laki. Justru terdapat asumsi bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk kaum perempuan, sebab banyak hal yang kerap menyinggung status perempuan.

Terdapat dua varian dalam gerakan perempuan di dunia ini yang menuntut haknya. Pertama, gerakan yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang menolak pandangan agama sebagai dasar kesetaraan dan berpegang teguh pada perspektif sekuler. Biasanya gerakan ini diwakili oleh gerakan feminis yang berkembang di Barat.

Sedangkan varian yang kedua gerakan yang tidak menolak agama, melainkan hanya mencurigai adanya kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Demikian itu dilihat dari adanya pemahaman mengenai sirah nabi yang kerap mengkampanyekan keadilan bagi perempuan. Golongan ini kemudian dikenal dengan kelompok feminis Islam.

Salah satu ayat yang menjadi sorotan adalah Surat An-Nisa’ ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Ayat di atas kerap dijadikan asumsi dan legalitas tentang “tiranisme” terhadap perempuan oleh laki-laki. Sehingga ayat tersebut mengalami banyak kontroversi dan konfrontasi bagi kalangan mufassir kontemporer, intelektual, dan khususnya kalangan feminis Islam belakangan ini.

Jika ayat tersebut memang membahas perihal kepemimpinan laki-laki, maka sistemnya tentu tidak lebih cenderung pada sikap mendominasi, tapi lebih pada konsep demokrasi, banyak hal harus diselesaikan dengan cara kerjasama dan kesepakatan, tidak memberatkan salah satunya. Hal ini juga dikokohkan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kadir bahwa harusnya dalam hubungan itu ada kesalingan, kerjasama, dan kasih sayang antara keduanya.

Sejatinya, menurut KH. Husein Muhammad perlakuan “tiranisme” terhadap perempuan adalah warisan jahiliyah. Diutusnya nabi menciptakan perubahan yang signifikan dalam tatanan keadilan perempuan. Di sisi lain agar tidak menyinggung laki-laki Arab jahiliyah, maka narasi yang dibangun Al-Qur’an tidak agresif dan provokatif dalam mengakhiri tradisi ini, melainkan dengan akomodatif, kreatif, dan transformasi sosial yang baik.

Kegiatan itu juga dilakukan dengan persuasif dan selalu mencoba mendialogkannya dengan intensif. Tidak semata pada beberapa praktik yang berlaku, melainkan mencakup terhadap seluruh tradisi yang tidak ”memanusiakan” manusia. Sebab idealitas Islam adalah mewujudkan sistem kehidupan yang menjunjung tinggi martabat manusia dan berkeadilan. Terkait hal ini, kita akan menemukan banyak keterangan yang diutarakan oleh beberapa ayat Al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam Surat Al-Isra’ ayat 70-71.

Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْۚ فَمَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ يَقْرَءُوْنَ كِتٰبَهُمْ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

“Sungguh, benar-benar, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (Ingatlah) pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya. Maka, siapa yang diberi catatan amalnya di tangan kanannya, mereka akan membaca catatannya (dengan bahagia) dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun.”

Mengenai ayat di atas, KH. Husein Muhammad melihatnya sebagai bukti bahwa Allah SWT sangat menghormati manusia yang semuanya itu tidak lain adalah ciptaan-Nya sendiri. Bahkan dengan redaksi yang sangat serius, “Sungguh, benar-benar, Kami telah memuliakan anak cucu Adam”.

Maka, dengan demikian, tentu saja kita harus memahami seutuhnya bahwa Islam itu hadir untuk manusia dan demi kemanusiaan. Dan kita tahu, bahwa tugas Nabi Muhammad SAW adalah membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Bukan justru mengekangnya dalam ketidakpedulian yang menyedihkan. Wallahu A’lam. []


Penulis: Kholaf Al-Muntadar

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/517930/mengkaji-ulang-pesan-moral-cara-pandang-nabi-terhadap-perempuan.html