Laduni.ID, Jakarta – Sejarah dunia Islam tidak pernah terlepas dari berbagai kisah tragis. Perebutan kekuasaan terjadi di berbagai wilayah. Jika kita menelaah kembali sejarah Islam di Timur Tengah, maka kita akan menemukan kenyataan yang menggambarkan fakta tersebut.
Tercatat dalam sejarah, pada akhir 1925 ketika Laskar Wahabi dan Klan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah, dan membuat Raja Syarif Ali menyerah. Sebelumnya diketahui bahwa Raja Syarif Ali adalah anak sekaligus pengganti Raja Syarif Husain yang sebelumnya memimpin wilayah Hijaz atas dukungan Daulah Turki Utsmaniyyah. Maka tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa’ud dan Wahabi. Kekalahan tersebut disebabkan melemahnya Daulah Utsmaniyyah, sementara Laskar Wahabai dan Klan Ibnu Sa’ud mendapat semakin kuat dengan adanya dukungan persenjataan modern dari Inggris, yang menjadi sekutu mereka.
Laskar Wahabi dan Klan Ibnu Sa’ud yang telah berhasil menguasai Hijaz, menetapkan pemahaman tunggal mengenai keislaman, yang kemudian belakangan masyhur dengan sebutan faham Wahabi. Karena itu, semua faham yang bertentangan dengannya dibersihkan dan dilarang keras untuk dipraktikkan, termasuk faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganut empat mazhab. Selain itu juga dilarang melaksanakan ziarah ke makam-makam pahlawan Islam, dilarang berhaji dengan cara madzhab. Bahkan, yang paling ekstrem adalah bahwa makam Rasulullah SAW, para sahabat dan tempat-tempat bersejarah direncanakan akan digusur karena dianggap sebagai tempatnya kemusyrikan.
Ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz (Makkah dan Madinah), dan membuat kerajaan baru, mereka memaksakan ajaran yang menimbulkan dampak dan gejolak yang luar biasa. Terjadilah agenda persebaran faham Salafi-Wahhabi ke seluruh pelosok dunia.
Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz tersebut, sebab mereka menerapkan dengan paksa ajarah mereka itu.
Tetapi, ternyata gagasan bercorak Wahabisme tersebut disambut dengan baik oleh kalangan Islam modernis Indonesia, namun tidak bagi kalangan Islam tradisionalis. Kalangan Islam tradisionalis meninjau bahwa praktik ibadah haji, tidak semata-mata praktik ibadah layaknya shalat, namun juga untuk menapaktilasi perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Islam sehingga dapat dirasakan di seluruh dunia kedamaian ajaran tersebut bagi semua umat Islam.
Dalam Kongres Al-Islam (IV dan V) di Yogyakarta (21 sampai 25 Agustus 1925), dan di Bandung (5/2-1926), kalangan Islam tradisionalis yang direpresentasikan oleh utusan-utusan yang berasal dari pesantren tradisional diharuskan untuk keluar dari pertemuan tersebut. Hal itu berimplikasi kepada haramnya keikutsertaan kalangan islam tradisionalis dalam Muktamar ‘Alam Islami di Makkah untuk memberikan pendapat dalam tinjauan niat Abdul Azis Ibnu Saud, penguasa Hijaz saat itu.
Pada akhirnya, kalangan Islam tradisionalis terpaksa membuat delegasi independen yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang dengan semangat gigih menyampaikan pesan untuk menciptakan kebebasan bermazhab, keberagaman cara pandang berpraktik keagamaan, dan melestarikan warisan peradaban awal Islam dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, terjadilah protes luar biasa di berbagai wilayah Islam, begitu juga di Indonesia. Ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci tersebut. Dari pertemuan itu lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud dalam rangka menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia.
Ketika itu, karena belum adanya organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia berkumpul dan membentuk organisasi Induk. Organisasi ini kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama), yang selanjutnya disingkat NU, dengan Rois Akbar Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Dalam rangka konsolidasi internal dan penegasan prisip dasar orgasnisasi tersebut, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan Kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian dikodifikasi dalam Khittah Nahdlatul Ulama, yang selanjutnya dijadikan dasar dan rujukan warga Nahdlatul Ulama dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Dari sinilah, kemudian dibentuk delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud, dengan keanggotaan sebagai berikut:
Penasehat: KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem. Ketua: KH. Hasan Gipo, dan Wakil Ketua: H. Shaleh Syamil. Sekretaris: Muhammad Shadiq, dan sebagai pembantu umum adalah KH. Abdul Chalim.
Jadi, berdasarkan keputusan itu, Komite Hijaz dipimpin oleh ulama Nusantara yang bernama KH. Abdul Wahab Hasbullah, sosok ulama yang dikenal sebagai inisiator dan juga sebagai salah satu pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU), sebagaimana dijelaskan di atas. KH. Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Wahab) lahir di Jombang pada tanggal 31 Maret 1888 dan wafat pada tanggal 29 Desember 1971.
Menurut Rijal Mumazziq Z dalam tulisannya yang dimuat di Majalah Aula Edisi Bulan November 2022, tidak bisa memungkiri fakta sejarah bahwa NU selalu bersikap atas problem internasional dan di dunia Islam. Dan kita tahu, melalui Komite Hijaz, KH. A Wahab Chasbullah memulai branding and bargaining level internasional bagi penganut Ahlussunnah wal Jamaah dengan melobi Raja Abdul Aziz Ibnu Sa’ud.
Secara umum ada lima misi yang diemban oleh Komite Hijaz, yakni meminta agar; makam Nabi Muhammad agar tidak dibongkar, adanya jaminan kebebasan bermadzhab, melestarikan tempat bersejarah di zaman Nabi Muhammad SAW, adanya aturan resmi kerajaan berkaitan dengan biaya haji, serta memohon agar semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis dalam bentuk undang-undang.
Dalam catatan Alwi Shahab, ternyata pemberangkatan delegasi Hijaz pertama sempat tertunda karena waktu pelaksanaan ibadah haji saat itu telah berakhir. Tapi di kemudian hari berangkatlah Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Misri, (salah satu tokoh ulama penting dari Timur Tengah yang mendukung NU) ke Makkah untuk menyampaikan keputusan dari rekomendasi rapat Komite Hijaz kepada Raja Ibnu Sa’ud.
Ternyata usulan yang disampaikan cukup berhasil dan diterima penguasa Arab Saudi. Dalam komunikasi yang dibangun, Raja Ibnu Sa’ud bersepakat memberikan jaminan bahwa ia akan berusaha memperbaiki pelayanan ibadah haji sejauh perbaikan itu tidak melanggar aturan Islam.
Secara jelas, andil dari Komite Hijaz sangatlah terasa hingga hari ini. Sampai sekarang di Makkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab yang dianut oleh berbagai umat Islam.
Demikianlah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan, sebuah peran internasional kalangan Islam tradisionalis yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban Islam yang sangat berharga. []
Penulis: Abd. Hakim Abidin
Editor: Kholaf Al-Muntadar