Biografi KH. Nur Durya Walangsanga, Waliyullah yang Sederhana

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Karomah
3.1  Melihat Sebelum Terjadi
3.2  Waliyullah yang Sakti

4.   Teladan
4.1  Shalat Berjamaah
4.2  Waliyullah yang Zuhud

5.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga
Memiliki nama lengkap KH. Nur Durya bin Sayyid atau orang biasa memanggilnya Mbah Nur. Kezuhudan dan kesederhanaan beliau tercermin dari tempat tinggal beliau yang sangat sederhana dipinggir sungai.

1.1 Lahir
KH. Nur Durya lahir pada hari Jumat Tahun 1873 M, akrab disebut dengan nama Mbah Nur Walangsanga.

1.2 Wafat
KH. Nur Durya wafat pada 9 Jumadil Awal 1409 Hijriyah atau pada 17 Desember 1988 M, Pada saat itu terjadi cuaca mendung dan hujan deras selama tiga hari berturut-turut disekitar wilayah Moga mengiringi kepergian sang waliyullah, bahkan pohon besar di hutan Cempaka Wulung roboh waktu itu, Wallahu A’lam Bishawab.

Dari semasa hidup beliau hingga setelah wafatnya tempat tinggal yang juga sekarang menjadi makamnya selalu banyak dikunjungi orang-orang yang berziarah ke makam beliau.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
KH. Nur Durya adalah sosok penuh semangat dalam menuntut ilmu, giat beribadah, hidup zuhud dan sederhana. Beliau juga dikenal haus mencari ilmu pada guru-guru yang memiliki ketersambungan sanad keilmuan hingga Rasulullah SAW.
 

2.1 Pendidikan
KH. Nur Durya kecil memiliki semangat menuntut ilmu. Banyak guru dan Kyai didatangi sekadar untuk menimba ilmu. Beberapa guru-gurunya adalah Kyai Muslim (Bendakerep-Cirebon), Kyai Kaukab bin Kyai Muslim (Bendakerep-Cirebon), Kyai Wahmuka, Kyai Jami’ Banyumundang, dan Kyai Dahlan (Purbalingga).

Semangat belajar terus dilakukan. Berguru atau “nyantri”, terus dilakukan KH. Nur meski telah berkeluarga. Berguru kepada Syekh Armia (Cikura-Tegal) dan Kyai Said bin Syekh Armia Giren (Talang-Tegal). Dari ilmu yang didapatkan, bagi Mbah Nur tidak berhenti sebagai ilmu, namun mewujud pada tindakan untuk mengamalkannya.

Seperti dikisahkan, pada akhir tahun 1960-an KH. Anas Noer pernah “matur” kepada ayahnya KH. Nur Fathoni Kersan, untuk pergi ke Pemalang “sowan” kepada KH. Mbah Nur Walangsanga Moga. Saat itu KH. Mbah Nur Walangsanga belum banyak dikenal kalangan masyarakat luas.
KH. Nur Fathoni Kersan mengatakan kepada anaknya, “KH. Mbah Nur Durya iku ijek enom tapi wes dadi wali, omahe nggon tengah sawah, pinggire kali”. (KH. Mbah Nur Durya itu masih muda tetapi sudah jadi waliyullah. Rumahnya di tengah sawah dan pinggir sungai)”.

2.2 Guru-Guru

  1. Kyai Muslim (Bendakerep-Cirebon),
  2. Kyai Kaukab bin Kyai Muslim (Bendakerep-Cirebon),
  3. Kyai Wahmuka,
  4. Kyai Jami’ Banyumundang,
  5. Kyai Dahlan (Purbalingga).
  6. Syekh Armia (Cikura-Tegal),
  7. Kyai Said bin Syekh Armia (Talang-Tegal).

3. Karomah

3.1 Melihat Sebelum Terjadi
Beliau salah satu Kyai yang dianugerahi Allah SWT weruh sadurunge winarah (melihat sebelum terjadi) menjadi bagian dari kemampuannya melihat yang tersurat dari yang tersirat. 

Alkisah, suatu ketika pada sekitar 1974, Haji Samsuddin dan istrinya yang berasal dari daerah Tegal hendak melaksanakan ibadah haji ke baitullah. Semua syarat dan berbagai macamnya sudah terpenuhi, tinggal menunggu keberangkatan.

Sambil menunggu keberangkatan, mereka sowan ke kediaman KH. Nur, untuk meminta doa dan berkah agar perjalanan haji mereka dilancarkan. “Mohon doa restu, Kyai. Tahun ini kami insya Allah akan melaksanakan ibadah haji. Doakan kami semoga lancar dan selamat”. kata H. Samsuddin.

“Mau haji? haji Singapura?” ucap sang Kyai tanpa ekspresi sedikit pun.

Singkat cerita H. Samsuddin dan keluarganya pamit pulang, perkataan sang Kyai menjadi teka-teki dibenaknya. 

Suatu hari kemudian teka-teki perkataan KH. Nur terjawab, saat jadwal keberangkatan, H. Samsuddin dan istrinya harus membatalkan rencana pergi haji nya tahun itu, walau pun mereka telah berada di Jakarta. Baru, pada tahun-tahun setelahnya mereka bisa menunaikan ibadah hajinya.

Jawaban “Haji Singapura” dari KH. Nur, terbukti, kalau sang tamu tak bisa menunaikan ibadah haji pada tahun itu, seakan KH. Nur telah mengetahui peristiwa yang sebenarnya belum terjadi, weruh sadurunge winarah tadi.

3.2 Waliyullah yang Sakti
Saat KH. Mbah Nur sudah wafat, seorang santrinya, KH. Abdul Muid pergi berziarah ke makam KH. Mbah Nur.

Saat hendak pulang, mobil yang beliau bawa macet dan tidak bisa jalan hingga pukul 3 Pagi. Karena itulah beliau bersama rombongan memutuskan bermalam di makam KH. Mbah Nur. Setelah itu, tanpa diapa-apakan, mobil bisa nyala dengan sendirinya.

Ketika sampai di Pemalang kota, ternyata baru sadarlah KH. Abdul Muid bahwa jalan yang dilewatinya baru saja diterjang banjir bandang dan menyebabkan salah satu jembatan putus. Setelah peristiwa itu, ia menyimpulkan KH. Mbah Nur tidak ingin santrinya pulang karena bisa terkena musibah saat diperjalanan.

Selain itu, ada pula kisah rumah KH. Mbah Nur yang berada di pinggir sungai. Walaupun berdempetan langsung dengan aliran air sungai, namun saat banjir bandang datang, air sungai tidak pernah sekalipun merendam kediaman KH. Mbah Nur.

Air sungai seakan miring menghindari rumah yang hanya terbuat dari bambu itu. Dari serangkaian peristiwa ini, tak heran ada orang yang menyebutnya sebagai kiai paling sakti di Jawa Tengah.

4. Teladan

4.1 Shalat Bejamaah
Sholat berjamaah selalu dilakukan oleh KH. Mbah Nur semenjak kecil, demikian hal tersebut diajarkan oleh orangtuanya. Bahkan, KH. Mbah Nur kecil saat menggembalakan kerbau milik salah satu warga Desa Walangsanga, bila berkumandang adzan maka beliau bergegas menuju Masjid untuk Shalat berjamaah.

Selain Shalat berjamaah, KH. Mbah Nur juga selalu menjaga wudhunya. Kisah yang beredar di masyarakat, bahwa KH. Mbah Nur selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan menggunakan wudhu shalat Isya’. Hal ini menandakan bahwa setiap malam beliau tidak pernah tidur, namun beliau bermunajat dan mendoakan kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya.

4.2 Waliyullah yang Zuhud
KH. Mbah Nur juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan tidak cinta dunia. dikisahkan ketika hendak mengambil air wudhu, beliau mendapatkan uang dengan jumlah yang cukup banyak yang tergeletak di samping tempat wudhu. Namun uang itu tidak beliau ambil karena bukan haknya.

Setelah tinggal selama 50 tahun di Desa Walangsanga, beliau pergi untuk mengasingkan diri demi bisa mendekatkan diri pada Allah SWT di lereng Gunung Sembung.

5. Referensi

  1. infomoga.com
  2. Mediakita.co

https://www.laduni.id/post/read/517940/biografi-kh-nur-durya-walangsanga-waliyullah-yang-sederhana.html