Dalam Muktamar Pemikiran NU, ada 5 bagian yang terdiri di antara beberapa topik. Di antaranya, Membayangkan Masyarakat Masa Depan Sudut Pandang Agama, Ekonomi & Politik, Budaya, Pendidikan, Teknologi dan Media Sosial.
Sesi diskusi paralel 2 tentang budaya, para aktivis pun memberikan beberapa gagasannya.
Maria Fauzi, founder neswa.id, memaparkan bahwa ekspresi keagamaan yang ditayangkan melalui platform digital akan memperkaya dan memperbanyak wacana. Namun disisi lain, menciptakan polarisasi keberagamaan.
Maria memberikan solusi untuk memperbanyak alternatif wacana, “misalnya dari masyarakat NU untuk menormalisasi keberagaman,” ungkap Maria.
Tak jauh berbeda dengan pandangan Maria, Asep Solahuddin yang menyoroti tentang fenomena digital. Faktor yang berpengaruh besar terhadap percepatan migrasi ke dunia digital adalah Covid-19. Dengan demikian, wacana keagamaan juga bertransformasi ke digital.
Virdy Rizki Utama, penulis buku Menjerat Gus Dur ini, melihat NU sebagai organisasi yang bergerak di politik nilai. Anggapan ini berdasarkan riset yang sudah dilakukan kepada anak Jakarta, bahwa NU belum bisa menjadi problem solver bagi masyarakat.
“Hari ini dihadapkan dengan pemilih muda, di mana secara teknologi lebih berkembang. NU memiliki tantangan pada pandangan anak muda, NU dianggap tidak progresif, misalnya dalam satu kasus konflik Wadas, Rempang, menganggap NU tidak bisa diharapkan menyelesaikan masalah yang menjadi concern anak muda,” jelas Virdy.
Cicik Farcha Assegaf, pendiri komunitas Tanoker, melihat dari sudut pandang berbeda berdasarkan kondisi Indonesia yang masuk aging society (masyarakat yang menua). Banyak kelompok masyarakat lansia yang harus diberdayakan. Menurutnya harus ada sesuatu yang dilakukan bersama, NU harus mengambil posisi terdepan untuk meraih isu ini, menjadi leader dan ujung tombak, untuk mengambil perhatian untuk isu tersebut.
Sementara, Kiai M. Jadul Maula melihat berdasarkan perspektif sejarah masa silam, di mana NU dibentuk dari paham ahlus sunnah wal jamaah.
“Saya membaca risalah ahlus sunnah wal jama’ah adalah soal menyelamatkan manusia. Yang mau dimurnikan menyelematkan masyarakat Indonesia, di mana paham agamanya belum tercemar. Politik etis, ideologi yang masuk, teosofi, yang begitu kacau. Dan ahlus sunnah wal jamaah dimurnikah kembali,” jelas Kiai Jadul, sapaan akrabnya.
Sebab itu, menurut Kiai Jadul, penemuan digital hari ini, yang dari segi pengetahuan sudah ada di masa lalu, tinggal dimanfaatkan oleh masyarakat saat ini. Tentunya, untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Baca Juga
https://alif.id/read/redaksi/muktamar-pemikiran-nu-masa-depan-budaya-dalam-ruang-digital-b248666p/