Daftar Isi:
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
2.2 Guru-guru
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Kembali ke Indonesia
3.2 Diasingkan oleh Belanda
4. Kisah Guru dan Murid
5. Referensi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Syekh Arsyad Thawil lahir di Desa Lempayung, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang Banten pada Zulkaedah 1255 H/Januari 1840 M. Riwayat lain menyebut beliau lahir tahun 1263 H/1847 M. Tidak ada yang tahu persis, namun dibatu nisan tempat wafatnya di Manado tertulis beliau lahir tahun 1851 M.
Ayahnya bernama Imam As’ad bin Mustafa bin As’ad. Ibunya bernama Nyai Ayu Nazham. Syekh Arsyad lahir dengan nama Mas Mohammad Arsyad. Julukan “Mas” adalah singkatan dari Permas, sebuah gelar kebangsawanan Banten yang merupakan keturunan kesultanan.
1.2 Riwayat Keluarga
Syekh Arsyad menikah di tempat pengasingannya di Manado dengan seorang gadis Minahasa yang merupakan anak dari seorang pendeta setempat bernama Magdalena Runtu yang setelah memeluk agama Islam mengubah namanya menjadi Tarhimah Magdalena Runtu.
1.3 Wafat
Syekh Arsyad Thawil, wafat di Manado, Sulawesi Utara, pada hari Senin, 14 Zulhijah 1353 Hijriyah atau bertepatan dengan 19 Maret 1935 Masehi. Beliau dimakamkan di Pemakaman Lawangirung.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
Syekh Arsyad menerima pendidikan agama dasar langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama dan memiliki Pesantren di Tanara. Saat usia 16 tahun, pada tahun 1867 M. Syekh Arsyad melakukan perjalanan menuju Bima di Pulau Sumbawa untuk belajar kepada Syekh Abdul Ghani.
Namun baru sampai di Surabaya, beliau bertemu dengan Syekh Abdul Ghani yang akan melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Selanjutnya beliau menyatakan keinginannya untuk belajar kepadanya, Syekh Abdul Ghani kemudian menerima Syekh Arsyad sebagai murid sekaligus mengajaknya untuk pergi ke Makkah.
Di Masjidil Haram, Syekh Arsyad mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Mufti Mekkah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, terutama mengenai Ilmu nahwu, fikih, dan sirah. Selain belajar kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Arsyad juga belajar kepada beberapa ulama di Makkah, di antaranya Syekh Nawawi Al-Bantani dan Sayyid Abu Bakri Syatha (di bawah bimbingan kedua putranya, Sayyid Umar Syatha dan Sayyid Utsman Syatha).
Syekh Arsyad memperdalam ilmu hadits kepada Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi Al-Makki di bawah bimbingan anaknya, Mufti Al-Muhaddits Al-Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi Al-Makki. Selain itu, Syekh Arsyad juga memperoleh ilmu hadits dari ulama Madinah, Syekh Abdul Ghani bin Abi Sa’id Al-Mujaddidi di bawah bimbingan beberapa muridnya, Sayyid Ali bin Zhahir Al-Watri, Syekh Shalih bin Muhammad Az-Zhahiri, dan Syekh Abdul Jalil Barradah. Sedangkan untuk ilmu fikih, Syekh Arsyad juga memperdalamnya kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki.
2.2 Guru-Guru
- Syekh Imam As’ad bin Mustafa bin As’ad (ayah),
- Syekh Abdul Ghani,
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
- Syekh Nawawi Al-Bantani,
- Sayyid Umar Syatha,
- Sayyid Utsman Syatha,
- Mufti Al-Muhaddits Al-Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi Al-Makki,
- Sayyid Ali bin Zhahir Al-Watri,
- Syekh Shalih bin Muhammad Az-Zhahiri,
- Syekh Abdul Jalil Barradah,
- Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki.
3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Kembali ke Indonesia
Pada tahun 1893 M, Syekh Arsyad kembali ke Banten. Saat itu Banten menghadapi bencana besar. Setelah letusan Gunung Krakatau 1883 M. disusul dengan wabah penyakit hewan pada tahun 1885 M, sampai masyarakat percaya akan tahayul dan perdukunan.
Tidak hanya itu, penjajah Belanda kemudian membuat masyarakat Banten semakin tertekan dengan hukuman yang diberikan kepada masyarakat secara tidak adil. Kemudian para ulama dan petani sepakat untuk melakukan perang total dengan pihak kolonial Belanda yang kemudian disetujui oleh Syekh Nawawi Al-Bantani di Makkah, Syekh Abdul Karim Al-Bantani, dan beberapa ulama lainnya. Bersamaan dengan itu, umat Islam mengangkat senjata untuk berjihad.
3.2 Diasingkan oleh Belanda
Syekh Arsyad Thawil termasuk tokoh utama dalam Pertempuran Geger Cilegon 1888 M. sehingga termasuk yang paling dicari oleh penjajah. Setelah pemberontakan, Belanda kemudian menangkap Ulama-ulama Banten dan mengasingkan mereka.
Beberapa di antara yang diasingkan antara lain: KH. Abdurrahman dan KH. Akib diasingkan ke Kepulauan Banda, KH. Haris ke Bukittinggi, KH. Arsyad Qashir ke Buton, KH, Ismail ke Flores, Sementara Syekh Arsyad Thawil kemudian dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Selainnya kemudian dibuang ke Tondano, Ternate, Ambon, Kupang, dan kota lainnya. Sebelum dibuang ke Manado, Syekh Arsyad Thawil terlebih dahulu dipenjara di Serang dan Batavia.
Di tanah pengasingan, Syekh Arsyad Thawil aktif mengajar masyarakat bidang ilmu pengetahuan Islam, di antaranya adalah fikih, Nahwu-sharaf, tasawuf, hadits dan lain-lain. Tidak kurang ratusan Ulama dari Manado, Gorontalo, Ambon, Ternate, Kabupaten Poso, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Donggala, dan daerah lainnya belajar kepada Syekh Arsyad. Beliau juga dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam ke wilayah mayoritas Kristen di Indonesia.
Pada tahun 1918, Syekh Arsyad Thawil memperoleh kebebasan untuk kembali ke Banten dan mendapat tawaran menjadi penghulu Serang. Namun, dengan hati yang rendah beliau menolak tawaran tersebut dan memilih menetap di Manado.
4. Kisah Guru dan Murid
Selama lima tahun (dari 1868 – 1873), Syekh Arsyad adalah murid dari ulama Makkah yang juga berasal dari Banten, Syekh Nawawi Al-Bantani.
Suatu hari, Syekh Nawawi mengirimkan karyanya berupa naskah buku (kitab) kepada ulama Mesir, namun karya tersebut ditolak dan dikembalikan dalam bentuk kode. Setelah kode tersebut diterima, Syekh Nawawi kemudian menjawabnya kembali dalam bentuk kode yang sama.
Menerima kiriman kode dari Syekh Nawawi, ulama Mesir pun sangat terkejut karena hanya ulama-ulama berpengetahuan tinggi yang dapat memahami kode tersebut. Untuk mengobati rasa penasaran, para ulama Mesir sepakat mengundang Syekh Nawawi untuk ditanyai. Syekh Nawawi pun memenuhi undangan ulama Mesir dan mengajak Syekh Arsyad sebagai muridnya untuk bersandiwara dan bertukar tempat (Syekh Nawawi menjadi Syekh Arsyad, begitupun sebaliknya).
Kedatangan ulama Banten tersebut disambut baik oleh ulama Mesir meskipun tanpa upacara. Di hadapan ulama Mesir, Syekh Arsyad yang bersandiwara menjadi Syekh Nawawi pun duduk di atas kursi, sedangkan Syekh Nawawi duduk di bawah sebagai pengawalnya. Banyak pertanyaan diajukan oleh ulama Mesir yang tidak mudah untuk dijawab oleh sembarang ulama.
Sebagai Syekh Nawawi, Syekh Arsyad pun mempersilahkan pengawalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Semua masalah dan pertanyaan dijawab dengan memuaskan oleh Syekh Nawawi yang bertindak sebagai pengawal Syekh Arsyad. Para ulama Mesir pun kagum mendengar jawaban memuaskan tersebut, hingga mereka berpikir bahwa pengawalnya saja sudah sedemikian hebat, apalagi yang dikawal, pastinya akan lebih hebat lagi.
Usai undangan itu, ulama dari Nusantara semakin dihormati. Karya Syekh Nawawi yang sempat ditolak penerbit Mesir pun mulai diterbitkan. Hal ini juga berimbas kepada penghormatan yang baik oleh ulama-ulama Mesir terhadap ulama Nusantara kala itu.
4. Referensi
- AIS Banten
- BantenNews.co.id
https://www.laduni.id/post/read/517967/biografi-syekh-mas-mohammad-arsyad-thowil-al-bantani.html