Ijtihad Kabudayan: Mengenang Gus Dur

Tulisan ini disampaikan kepada sahabat-sahabat Rayon Abdurrahman Wahid dan GUSDURian Sukoharjo pada malam ini (05/12/23) yang melakukan kegiatan Gus Dur Month III dalam kegiatan bertajuk Mengenang Gus Dur. Kegiatan ini mengundang dua pemateri satu dari Gus Durian Sukoharjo dan satunya lagi saya. Tentu kegiatan ini dikhususkan mengenang sosok Kiai Abdurrahman Wahid sebagai pendekar kebudayaan dan bapak pluralisme.

Saya mengawali perbincangan dengan pantikan bahwa membicarakan Gus Dur kiai nyentrik itu tidak ada habisnya, terutama dalam segi kebudayaan. Gus Dur dekade 70an mengkader kalangan muda NU dari kalangan pesantren untuk dijadikan sebagai intelektual-organik tradisional, Tujuannya hanya satu, men-universalkan hal-hal yang sifatnya lokalitas. Maka tidak heran pada dekade itu Gus Dur membuat lembaga seperti LKiS dan Lakpesdam NU yang bertujuan untuk membangun diskursus Civil Society.

Dekade 80-an tepatnya 1986 Gus Dur dengan gebrakan intelektualnya dengan kerangka lokalitas ciri khas dari Islam Nusantara membabarkan teori pengetahuan berupa Pribumisasi Islam. Dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Bagi Gus Dur, Arabisasi atau telaah mengidentifikasi diri dengan kebudayaan dari Timur Tengah (Arab) adalah tercerabutnya kita dari akar kebudayaan kita sendiri.

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan mewujud dalam nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan sekat pemisah antara agama dan budaya. Sebenarnya, gagasan Pribumisasi Islam mengambil api semangat apa yang sudah diajarkan oleh Walisongo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara abad ke-15 dan 16. Dalam hal ini Walisongo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokalitas dalam Islam khas, Islam Nusantara.

Corak Pribumisasi Islam yang diinginkan Gus Dur adalah bagaimana Islam dengan kebudayaan saling melengkapi satu sama lain, bukan membawa kebudayaan Timur Tengah yang bukan genuine kebudayaan di Nusantara dipakai dalam kerangka menyebarkan risalah keislaman, tentu hal itu tidak sesuai dengan ruh dan semangat masyarakat di sini. Dengan aspek kebudayaan itu, Islam akan mudah diterima oleh masyarakat yang ada. Secara historis perangkat yang digunakan oleh para Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan menggunakan peranti bayan atau burhan melainkan dengan perangkat irfan (sufisme).

Piranti Kebudayaan

Seperangkat kebudayaan inilah yang dipakai oleh para wali dalam menebarkan risalah keislaman pada fase islamisasi awal yang jejak-jejaknya kita warisi hari ini. Tentu kata “budaya” yang hari ini kita lihat dan pahami warisan dari orang-orang Barat terutama kolonial yang larinya dalam hal-hal yang sifatnya materi. padanan kata Culture (Inggris) dan Cultuur (Belanda), sama sekali terpental jauh dari kata “budaya” yang diwariskan oleh para leluhur kita. kita lihat kata “Budaya” yang berasal dari kata “buddhayah” yang bentuk jamak dari kata “buddhi” yang larinya pada makna “budi” atau “olah budi”.

Kata “budaya” dalam konteks teori yang diwedarkan oleh C.F Winter dan R. Ng Ranggawarsita dalam Kamus Jawa-Kawi kata “budaya” diartikan sebagai budi, pikiran, guna. Melihat pemaknaan demikian yang diguratkan oleh Winter dan Ranggawarsita tentu ini mengindikasikan bawah proses islamisasi yang dilakukan oleh para wali terdahulu adalah “olah budi” atau dalam bahasa Wedhatama disebutkan sebagai Kepati amarsudi. Menangkap yang disebutkan oleh Koenjtraningrat bahwa budaya merupakan olah rasa, karsa dan cipta yang larinya tentu dalam kerangka yang sifatnya material.

Tetapi, pemaknaan budaya dalam aspek “olah budi” yang menitikberatkan pada pelatihan ruhani (olah budi) dengan kerangka sufisme tidak hanya berhenti dengan tiga aspek yang telah diwedarkan oleh Koetjroningrat. Sekali lagi saya memakai term “budaya” dari Serat Wedhatama bahwa kata Budhi terbagi secara terpilah-pilah dalam kerangka karsa, cipta, jiwa, dan rasa. Jadi mengolah dan mendayakan Budhi (mesiu budi) berati mengolah empat komponen dalam diri berupa karsa, cipta, jiwa, dan rasa, yang secara berimbang sesuai dengan bingkai “laku” atau “laku suluk” berupa syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.

Jejak definisi yang sudah diwedarkan oleh Koetjaraningrat yang tidak ada aspek “jiwa” dan berbeda degan definisi budaya yang dikembangkan oleh para wali terutama dalam Serat Wedhatama hal ini meyakinkan bahwa kata budaya yang diwarisi oleh para wali terdahulu bukanlah berasal dari kata culture (Inggris) dan Cultuur (Belanda) yang larinya dalam kerangka materi. Tetapi, saya meyakini bahwa kata “budaya” yang dipakai oleh para wali ditempatkan pada jantung sufisme berupa ilmu makrifat (ngelmu kasampurnan) yang ditonjolkan oleh para wali dalam menyebarkan gagasan suluk (laku hidup) dan mendidik dan menanamkan Budhi utama menjadi Janma Utama (Insan Kamil).

Menjadi manusia utama (janma utama) harus melalui laku olah budi dengan mengambil adagium yang diwedarkan dalam Wedhatama:

            ilmu iku kelakone kanthi laku// lekase lawan kas// tegese kas nyantosani// setya budya pangekese tur angkara.

jadi menjadi manusia utama (Insan Kamil) harus melalui proses laku suluk, dan laku suluk harus dijalankan dengan kerangka pengetahuan. Wedaran yang pesankan oleh Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatamanya mengisyaratkan bahwa ilmu itu hanya bisa didapatkan hanya melalui olah budi (masu Budhi) dengan kemauan yang kuat dan dilakukan secara terus menerus yang nantinya akan menghancurkan keburukan. Tentu olah budi yang diwedarkan berupa kerangka empat sembah yang sudah diwedarkan di atas.

Berhasilnya salik dalam menjalankan laku suluk melalui kerangka sembah itu akan mewujudkan manusia yang paripurna (Janma Utama) manusia yang tidak lagi memikirkan apa yang melekat di dalam dirinya, tetapi manusia yang harus memayu hawuning bawaana, kemaslahatan bagi alam semesta. Inilah yang diajarkan oleh Gus Dur, sebagai ulama, tokoh bangsa, bapak pluralisme dan sederet gelar kehormatan dari masyarakat yang melekat pada dirinya, Gus Dur sudah selesai dengan itu, Gus Dur tidak lagi mengajar pada kesibukan pujian dan makian tetapi mengajarkan menjadi manusia paripurna yang selesai dengan hal-hal yang sifatnya duniawi.

Perlu diketengahkan juga dengan piranti Pribumisasi Islam, Gus Dur ingin mendengungkan kerangka-kerangka lokalitas dalam ruang ruang universalitas. Baginya, Islam yang ada di Nusantara dengan corak Islam ala Nusantara yang berkebudayaan bisa dikenal oleh seluruh warga muslim dunia tanpa terkecuali umat-umat di luar Islam. Tentu yang harus dilakukan oleh kader muda NU terutama sabahat dan GUSDURian harus bisa mempertahankan apa yang sudah ditorehkan oleh para Wali dahulu dengan jargon Jawa digawa, Arab digarap dan Barat diruwat atau al-muhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/raha/ijtihad-kabudayan-mengenang-gus-dur-b248687p/