Laduni.ID, Jakarta – KH. Said Aqil Siroj dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah dua sosok ulama dan tokoh sentral yang pernah menahkodai Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia yang beraliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kedekatan keduanya sudah terjalin lama sejak Kang Said sapaan akrab KH. Said Aqil Siroj masih mengenyam pendidikan di Saudi Arabia. Awal mula pertemuan keduanya adalah saat Kang Said menjabat sebagai Imam Masjid Al-Faqih di daerah Aziziyah, seorang TKI bernama Abdul Hamid yang berasal dari Kuningan memperkenalkan Kang Said pada kerabatnya, Haji Sulaiman, yang kala itu sedang melakukan ibadah umroh.
Usut punya usut ternyata Haji Sulaiman ini merupakan sahabat Gus Dur, saat sudah kembali ke Indonesia, Haji Sulaiman menceritakan pertemuannya yang memebekas dengan Kang Said kepada Gus Dur.
Mendengar cerita Haji Sulaiman membuat Gus Dur merasa penasaran dengan sosok Kang Said. Gayung bersambut, saat melakukan umroh, Gus Dur berkesempatan untuk berkunjung ke kediaman Kang Said, alih-alih tinggal di hotel, Gus Dur memilih menginap di kediaman Kang Said.
Pembicaraan antara keduanya pun mengalir begitu intens, berbagai topik pembicaraan mulai dari yang berat sampai yang ringan keduanya bahas, tak lupa jokes-jokes segar yang selalu terselip menambah suasana intim antara keduanya, tak jarang tawa keduanya menggelegar dan kemudian senyap kembali karena materi pembicaraan yang telah masuk dalam kategori serius.
Bagi Kang Said memiliki teman diskusi seperti Gus Dur adalah nikmat yang luar biasa, lantaran sosok Gus Dur yang memiliki pemahaman yang mendalam dalam bidang keagamaan, pemikirannya yang jauh melampaui zaman, cakrawala pengetahuan yang luas, ditambah sense of humor yang tinggi menjadikan diskusi dengan Gus Dur adalah saat yang amat membahagiakan bagi Kang Said.
Di sore hari setelah Gus Dur istirahat, cuaca mulai meredup ditinggal terik panas matahari, semilir angin mulai menghembus meskipun masih membawa hawa panas tapi tidak sepanas beberapa jam sebelumnya, selepas shalat Ashar, Gus Dur mengajak Kang Said untuk berziarah ke makam Imam Ali Al-Uraidhi, putra dari Imam Ja’far Shodiq di Madinah Al-Munawwaroh.
Selepas berziarah di makam Imam Ali Al-Uraidhi lalu Gus Dur berdoa dan bermunajat di raudhah, lama Gus Dur bersimpu untuk berdoa, Kang Said tidak tahu menahu apa yang Gus Dur pintakan kepada Allah di tempat yang mulia itu, yang terlihat hanya Gus Dur yang sangat khusyu’ mengangkat kedua tangannya melafalkan doa-doa yang melangit dan tanpa sadar Kang Said dalam hatinya juga mengaminkan setiap doa yang dipanjatkan Gus Dur tanpa tahu isi dari doa itu.
Setelah selesai, Gus Dur beranjak dari tempat duduknya diikuti Kang Said yang mengikuti beliau dari belakang, kemudian masuk ke dalam Masjid Nabawi untuk melaksanakan sholat Maghrib
Mengingat rentang waktu shalat Maghrib dan shalat Isya yang tidak terlalu lama, keduanya memutuskan setelah shalat Maghrib selesai, mereka akan tetap di Masjid Nabawi untuk menanti shalat Isya, baru kemudian setelah shalat Isya keduanya melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya.
Kang Said mengiyakan saja apa yang diinginkan Gus Dur, setelah selesai shalat Isya, keduanya keluar dari Masjid Nabawi, tetiba di tengah perjalanan akan keluar masjid, Gus Dur berkata, “Kang sebentar! Ayok antar saya keliling masjid dulu, saya ingin mencari wali Allah, saya ingin didoakan!” Tutur Gus Dur dengan ekspresi serius.
Melihat ekspresi Gus Dur, Kang Said sesaat terdiam mengerutkan kening berusaha mencerna ucapan Gus Dur tadi, namun sayang, seberapapun usaha Kang Said, tak ada satupun jawaban yang beliau temukan. Kang Said lagi-lagi hanya bisa mengiyakan saja ajakan Gus Dur, “Nggih Gus, Mangga ….” Jawab Kang Said singkat.
Setelah beberapa meter berjalan, di tengah hiruk pikuk Masjid Nabawi yang selalu ramai dengan lalu lalang orang yang hendak beribadah, Kang Said di tempat nya berdiri dengan Gus Dur melihat dari kejauhan ada seorang berwajah khas Timur Tengah, badannya tinggi besar memakai surban dan gamis berwarna putih yang sedang mengajar sebuah kitab, terlihat gerombolan banyak orang yang duduk mengitarinya mendengarkan pengajian itu dengan khusyu’.
Melihat orang itu, Kang Said beranggapan bahwa memang seperti itulah kriteria wali Allah, lalu Kang Said bertanya pada Gus Dur, “Gus.. apakah syekh di sebelah sana yang sedang mengajar itu, apakah beliau wali?” Tanya Kang Said.
“Bukan!” Jawab Gus Dur spontan setelah sekilas melihat syekh yang ditunjuk oleh Kang Said.
Kemudian keduanya melanjutkan langkah kaki mereka diatas ubin yang dingin itu, melewati tiang-tiang penyanggah masjid yang besar-besar, di sebuah sudut masjid, kembali Kang Said menjumpai seorang laki-laki yang memakai surban putih bersih dengan jidat hitam, orang yang menjumpainya pasti menyangka bahwa orang itu adalah ahli ibadah, sehingga bagian jidatnya menjadi hitam, pikir Kang Said.
Ahirnya Kang Said kembali bertanya, “Apakah yang itu Gus?” Tanya Kang Said tanpa menunjuk dengan tangannya, hanya memberikan Isyarat dengan kepalanya, menunjuk ke arah seorang laki-laki di sudut masjid.
“Yang itu juga bukan” Kata Gus Dur.
Kang Said terheran-heran mendengar jawaban Gus Dur, dalam batinnya bertanya-tanya seperti apakah sebenarnya sosok seorang wali yang dicari Gus Dur, namun pertanyaan itu hanya ditelannya saja tanpa berani menanyakannya kepada Gus Dur.
Setelah berjalan beberapa langkah dari tempat tadi, Gus Dur tiba-tiba menghentikan langkahnya di dekat seorang laki-laki yang mengenakan surban kecil yang sedang duduk di atas sajadahnya.
Kesan pertama Kang Said melihatnya biasa saja seolah tidak ada tanda-tanda tertentu pada laki-laki itu, “Ini dia wali Allah” Kata Gus Dur dengan sumringah menatap Kang Said.
Kang Said mendekat ke tempat duduk laki-laki itu, dengan sopan Kang Said berkata dalam bahasa Arab untuk memperkenalkan Gus Dur kepada laki-laki itu dan menyampaikan tujuan mereka mendatanginya, “Ya syekh, ini, saya perkenalkan di samping saya ini namanya Ustadz Abdurrahman Wahid, beliau adalah ketua organisasi islam terbesar di Indonesia, tujuannya kesini adalah ingin meminta doa dari wali Allah, semoga anda berkenan mendoakannya syekh” tutur Kang Said dengan penuh harap.
syekh itu memandang keduanya dengan pandangan yang sulit Kang Said artikan, tapi tak pelik syekh itu tetap menengadahkan kedua tangannya dan mendoakan Gus Dur sebagaimana yang dikatakan Kang Said kepadanya.
Setelah mendoakan Gus Dur, syekh itu beranajak dari duduknya, kemudian tanpa kata-kata langsung meninggalkan Gus Dur dan Kang Said yang sesaat tadi mengaminkan doa beliau, sambil berjalan menyeret sajadahnya syekh itu menggumam “Dosa apa saya ini, sampai maqom saya diketahui oleh orang lain”. []
Penulis: Ahmad Syahroni
Editor: Hakim