Fahruddin Faiz dan Fenomena Ngaji Filsafat

Hidup di era digital membuat kita kenyang akan informasi. Di satu sisi, kita adalah manusia yang seyogianya harus bersyukur, karena memiliki akses terhadap informasi. Buah dari kemudahan akses tersebut adalah kita menjadi manusia yang kaya akan informasi. Tidak ketinggalan pengetahuan terbaru. Selalu mengikuti isu terkini. Singkatnya, kita menjadi “manusia tercerahkan”.

Namun, di sisi lain, banjirnya informasi membuat kantong pikiran kita meluap. Ia tidak tahan karena terus-menerus digempur oleh informasi. Dampak dari gempuran tersebut adalah melonggarnya kemampuan filter otak kita terhadap informasi yang bertubi-tubi. Kadang informasi tersebut ditelan begitu saja, kadang pula menguap tanpa sebab.

Banjir informasi, dalam satu sisi merupakan anugerah bagi otak, karena ia diberi asupan setiap hari. Namun, dalam sisi lain yang lebih mengerikan, kumpulan informasi itu malah mengecoh, menipu, dan membuat keketatan otak dalam menyaring informasi menjadi renggang. Kemampuan memfilter informasi itu perlu dipertajam dengan suatu alat bantu. Alat bantu tersebut haruslah sesuatu yang bisa membantu mengurai, menganalisis, hingga mengkritisi segala macam informasi.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Ngaji Filsafat

Dalam kehidupan era digital saat ini, alat bantu tersebut hadir dalam wajah yang ramah, setelah sekian lama dianggap menyeramkan. Alat bantu tersebut adalah filsafat, yang kemudian hari ini ditampilkan dengan perangai yang baik, penuh fungsi dan multiguna.

Baca juga:  Ulama Banjar (82): H. Muchyar Usman

Gejala budaya berupa digitalisasi ternyata, dalam satu sisi, benar-benar membuat yang sulit menjadi mudah. Contohnya adalah filsafat. Filsafat yang semula dianggap abstrak dan njelimet, saat ini justru digandrungi dan dicari. Orang-orang yang kelimpungan menelaah informasi mencoba memperbaiki pencernaan pikirannya dengan filsafat.

Syukurnya, fungsi elementer filsafat itu diperkenalkan dengan sangat indah dan mudah oleh seorang tokoh muda bernama Fahruddin Faiz. Berkat adanya digitalisasi, suara beliau dapat tersiar ke mana-mana menggelorakan keindahan filsafat. Beliau seketika menjadi pengajar filsafat yang dikenal karena kelembutannya dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran “berat” para filsuf.

Gaya penyampaian yang lembut itu ternyata justru menjadi ciri khas sekaligus metode yang tepat dalam mengajarkan filsafat. Sehingga pembelajar filsafat diberi ruang untuk berpikir dan mengunyah pembelajaran secara perlahan. Dengan begitu, filsafat tidak berhenti pada teori-teori ndakik, tapi bisa terimplementasi dalam kehidupan. Begitulah tujuan filsafat, kebijaksanaan yang terwujud dalam tindak laku keseharian.

Fahruddin Faiz dengan majelis filsafatnya telah menjelma menjadi untaian ceramah yang asyik untuk dikhidmati. Filsafat yang dahulu memiliki kesan aneh, berat, membingungkan, dan jauh dari realitas ternyata bisa dipelajari dengan perlahan dan menenangkan. Pasalnya Fahruddin Faiz mengemas pembelajaran filsafat dengan konsep mengajar ala pengajian masjid. Ia tidak seperti para ustaz lain yang mengajarkan akidah atau fikih, melainkan mengajarkan filsafat.

Baca juga:  Ulama Banjar (22): KH. Ahmad Mughni

Dengan konsep pengajaran tersebut, membuat filsafat menjadi dekat dengan realitas kehidupan. Filsafat diperbincangkan di masjid, di tempat orang-orang salat dan berdoa tentang segala persoalan hidup. Ketika filsafat menjadi “bahan kajian” di masjid, maka seketika filsafat terasa begitu dekat. Filsafat tidak lagi dirasa terlalu jauh dan mengawang-awang lagi abstrak dan tidak jelas, wong sudah didiskusikan di masjid.

Fahruddin Faiz, di era digital saat ini, berhasil menjadi etalase kajian filsafat yang cukup membuat banyak orang nyaman berlama-lama mendengarkan filsafat. Beliau seperti pemberi air putih segar di tengah lapangan terik. Sesaat membuat keadaan menjadi lebih dingin dan teduh.

Dalam salah satu kajiannya, Fahruddin Faiz pernah berkata, bahwa fungsi filsafat itu ada tiga: pertama, menjelaskan konsep-konsep; kedua, menyusun argumen; dan ketiga, mengkritisi. Ketiga fungsi itu selaras dengan kebutuhan manusia saat ini, di saat banyak manusia yang mabuk informasi. Mari kita preteli dan kontekstualisasikan tiga fungsi filsafat tersebut pada keadaan kini.

Dalam memahami dunia yang sedang tidak baik-baik saja seperti sekarang, perlu kemampuan berpikir yang runut untuk bisa menjelaskan konsep demi konsep. Fenomena Covid-19, misalnya. Dalam memahami kejadian tersebut, tentu tidak bisa kita menyebut bahwa Covid-19 adalah hanya persoalan kesehatan. Untuk menjelaskan Covid-19 secara holistik, maka kita harus paham bahwa Covid-19 tidak hanya menyinggung konsep kesehatan, tapi juga konsep ekonomi, sosial, politik, hingga budaya. Begitulah fungsi filsafat yang pertama bekerja.

Baca juga:  Ulama Banjar (28): KH. Juhri Sulaiman

Ketika terdapat segelintir orang yang menganggap bahwa Covid-19 merupakan konspirasi dan permainan para elite, maka fungsi filsafat yang kedua berperan. Kita harus bisa menyusun argumen secara rasional, agar pendapat yang irasional bisa dilumpuhkan. Kita berargumen bukan dalam rangka berdebat dan memenangkan perdebatan, tapi membela akal sehat dan rasionalitas.

Tatkala ada kebijakan pemerintah ataupun kebiasaan masyarakat yang dirasa tidak tepat, kita bisa mengkritisinya. Mengkritisi tidak berarti bersikap galak dan mencak-mencak, tapi menyampaikan alasan logis mengapa hal tersebut dirasa kurang tepat. Fungsi ketiga filsafat ini tentu sangat relevan dalam menanggapi topik-topik yang berseliweran setiap hari.

Melalui untaian Fahruddin Faiz, filsafat tidak lagi terlalu mengerikan. Bahkan sekarang banyak anak muda yang gemar mendalami filsafat, seolah-olah menjadi filosofis dan merasakan kegenitan filsafati adalah sesuatu yang keren. Hal tersebut merupakan fenomena yang perlu dirawat, agar kehidupan kemasyarakatan selalu waras dan menjungjung akal sehat juga kebijaksanaan.

https://alif.id/read/akbar-malik/fahruddin-faiz-dan-fenomena-ngaji-filsafat-b238516p/